NARASI PERJUANGAN -- Aisha Putri Chairani
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 9 min read
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Halo, semua! Perkenalkan, nama saya Aisha Putri Chairani dari SMA negeri 1 Kota Bogor. Alhamdulillah, kini saya telah diterima sebagai mahasiswi baru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di setiap kisah perjuangan, tentu ada banyak sekali lika liku cobaan serta suka duka yang menghampiri. Pada kesempatan kali ini, saya akan menceritakan bagaimana kisah saya untuk dapat mewujudkan mimpi saya sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sejak kelas satu SMP, saya sudah terbiasa melantangkan mimpi saya untuk dapat menjadi dokter lulusan Universitas Indonesia kepada orang-orang yang bertanya. Mimpi besar tersebut saya dapatkan ketika melihat kakak pertama saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur undangan. Tentu setiap keluarga akan merasa sangat bangga dengan apa yang telah diraih oleh kakak saya. Saya, sebagai adik nomor duanya, telah melihat sosok kakak saya sebagai sosok yang menginspirasi sejak kecil. Dengan diterimanya kakak saya di jurusan serta universitas ternama di Indonesia, telah menambahkan daftar mimpi-mimpi saya dan melambungkan kepercayaan diri saya bahwa saya dapat menjadi seperti kakak saya.
Dua tahun kemudian, kabar baik kembali menghampiri keluarga saya. Kakak kedua saya diterima sebagai mahasiswi baru dengan jurusan dan universitas yang sama persis dengan kakak pertama saya lewat jalur simak UI. Bagai api yang disiram minyak, kabar baik tersebut membuat semangat saya untuk dapat mewujudkan mimpi saya semakin besar. Saya semakin dapat menjawab pertanyaan orang-orang dengan mantap bahwa saya akan menjadi seperti kakak-kakak saya.
Akan tetapi, setelah saya memasuki masa SMA, justru keinginan untuk melanjutkan Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia semakin memudar. Ada perasaan ragu dan bimbang jika saya kembali ditanya ingin melanjutkan pendidikan di mana nantinya. Muncul pertanyaan-pertanyaan besar dalam pikiran saya. Apakah ini benar yang mau saya lakukan dan jalani seumur hidup saya? Apakah hanya dengan niat ketika masa SMP saya mampu bertahan di dunia kedokteran yang tentu saja tak akan mudah? Apakah mimpi saya ini hanya sebuah representasi ego saya karena ingin dianggap selayak dan semampu kakak-kakak saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berputar dalam pikiran saya hingga muncul keraguan besar dalam benak saya mengenai mimpi dan cita-cita saya setelah lulus dari SMA.
Setelah muncul keraguan-keraguan yang selalu menhampiri, sebuah rutinitas baru terbentuk. Saya mulai terbiasa berdoa kepada-Nya agar diberikan jawaban akan semua pertanyaan dan keraguan yang ada di benak saya. Saya meminta kepada-Nya agar saya nantinya dapat memiliki rezeki yang berkah dan bermanfaat bukan hanya untuk saya sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitar saya. Saya tak ingin menjadi orang yang tak dapat bertanggung jawab, apalagi terhadap mimpi saya sendiri. Tak dapat dimungkiri, hati kecil saya pun menolak apabila saya menjadi seorang dokter tanpa motivasi dan keinginan yang tulus.
Beberapa bulan kemudian, alhamdulillah, doa saya dikabulkan oleh-Nya. Muncul puluhan berita dengan berita utama mengenai relawan medis muda bernama Razan Ashraf Najjar yang meninggal dengan peluru menembus punggungnya dan mengenai jantung perempuan muda tersebut. Beliau tertembak ketika berusaha menyelamatkan korban terluka dari demonstrasi di perbatasan Gaza, Palestina. Setelah membaca belasan berita serta beberapa rekaman mengenai perempuan muda asal Palestina tersebut, hati saya tergugah. Saya benar-benar kagum dengan kegigihan dan keberanian Beliau. Dapat terlihat jelas bahwa Beliau tulus menjadi relawan medis, bukan untuk meninggikan diri, bukan pula untuk ikut-ikut seperti relawan medis yang lain. Beliau tulus mengabdikan hidupnya untuk dapat mebantu siapa saja yang membutuhkan, tak peduli seberbahaya apa medan yang dilewatinya. Alasan dan niat itulah yang saya butuhkan untuk dapat dan pantas menjadi seorang dokter, tulus ingin mengabdikan dirinya untuk membantu sesama tak peduli apa yang terjadi.
Setelah melalui pemikiran yang sangat panjang dan beberapa kali melakukan shalat istikharah untuk memantapkan hati, akhirnya saya yakin dengan pilihan saya. Dengan tiap insya Allah yang saya ucapkan ketika ditanya mengenai rencana tiga tahun ke depan serta doa restu dari keluarga, saya mulai serius memulai perjalanan saya untuk menggapai impian. Akan tetapi, hanya memantapkan hati untuk menggapai mimpi saja tentu tak akan cukup. Memantapkan hati baru lah awal dari serangkaian perjalanan panjang saya.
Memasuki kelas dua SMA, saya mulai sibuk dengan segala aktivitas sekolah nonakademis. Kebetulan saya mengikuti beberapa ekstrakulikuler (disingkat ekskul) selama masa SMA, salah satunya Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Saya cukup aktif dalam ekskul tersebut, bisa dibilang termasuk yang paling aktif malah. Meski begitu, saya tetap berusaha untuk menyeimbangkan antara kegiatan akademis dengan nonakademis. Harapan saya masih tinggi agar bisa diterima lewat jalur undangan, maklum, dari kelas satu SMA saya sudah berusaha mempertahankan nilai saya mati-matian.
Sampailah pada saat pembagian rapor semester tiga, hati saya benar-benar tidak tenang, bahkan sejak sehari sebelumnya. Entah kenapa saya merasa tidak percaya diri dengan nilai-nilai yang saya dapat selama semester tiga. Benar saja, peringkat kelas saya turun jauh, apalagi peringkat angkatan. Ketika mendengar hasil nilai semester tiga dari Mama saya, dunia seakan runtuh, sekaligus dengan mimpi saya untuk bisa diterima lewat jalur undangan. Saya yakin, mau tidak mau, saya harus melakukan usaha ekstra untuk dapat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Semenjak pembagian rapor semester tiga, saya semakin serius dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, baik di sekolah maupun di tempat les. Memang tidak mudah, apalagi saat itu saya diberi amanah untuk menjadi salah satu dewan harian di DKM. Meski berusaha untuk ‘mengembalikan’ kembali nilai saya, saya tidak ingin dicap sebagai dewan harian yang tidak bertanggung jawab. Saya tetap harus menjalani semua tugas dengan sebaik-baiknya. Kalau ditanya prioritas, saya sangat berusaha untuk menjadikan semua amanah yang telah diberikan sebagai prioritas. Seratus persen untuk tiap tanggung jawab, tak ada yang lebih tak ada yang kurang. Memang tak semuanya selalu menyenangkan, saya bahkan pernah menangis ketika menyadari betapa banyak tanggung jawab yang saya pikul di bahu saya. Sempat ingin menyerah. Lalu ketika itu terjadi, saya mencoba untuk membuka pandangan lebih luas. Saya tengok sekeliling saya lebih dalam, seketika rasa syukur muncul dalam benak karena mengetahui masih banyak orang-orang yang diciptakan Tuhan tak seberuntung saya. Masih banyak orang-orang di luar sana yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan perutnya perlu bekerja seharian.
Dengan segala naik turun semangat yang saya rasakan, tibalah masa kelas tiga SMA yang menurut saya menjadi fase tersulit dalam perjalanan ini. Saya masih menjadi panitia dalam acara keagamaan angkatan, bahkan di awal semester enam. Bisa dibilang nekat, tetapi prinsip yang selalu saya pegang, jangan sia-siakan kesempatan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi. Saya juga sering mendengar nasihat kakak kelas yang selalu mengingatkan bahwa setiap niat baik pasti akan dibalas oleh-Nya dengan sebaik-baiknya balasan dan di waktu yang tidak kita sangka. Oleh sebab itu, dengan nyali besar, saya kembali menerima amanah untuk menjadi panitia dan penanggung jawab kelompok acara keagamaan angkatan tersebut. Tak jarang, saya harus rela ketinggalan kelas les di jam pertama dan mengikuti jam dengan pelajaran yang sama di kelas lain. Tentu tak mudah untuk melakukan hal tersebut, namun lagi-lagi prinsip yang selalu terpatri dalam benak saya menjadi fondasi dalam melakukan segala hal tersebut.
Tibalah waktu pengumuman kuota SNMPTN. Alhamdulillah saya menjadi salah satu dari dua belas orang teman sekelas saya yang mendapat jatah SNMPTN. Saya ingat betul, saat membuka pengumuman kuota SNMPTN, saya sedang berada di Solo untuk mengunjungi rumah kakek saya. Hari masih pagi ketika pengumuman sudah dapat di akses. Saya dan keluarga baru saja makan Soto Segar khas daerah Solo sebagai sarapan. Ketika pengumuman kuota SNMPTN telah muncul, saat itu pula saya dan orang tua saya memutuskan untuk tetap memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai pilihan pertama saya di SNMPTN.
Kalau dibilang saat memasukkan data SNMPTN dan melakukan verifikasi tidak ada hambatan yang menghampiri saya, jelas itu salah. Bahkan, mungkin teman-teman sekelas saya masih ingat ketika saya menangis di kelas saat dipanggil oleh pihak Bimbingan Konseling (BK) sekolah karena saya termasuk dua belas orang yang belum melakukan verifikasi data saat H-1 penutupan pendaftaran SNMPTN dikarenakan laman LTMPT yang selalu down. Saya masih ingat betul guru biologi saya, Pak Anwar, benar-benar kebingungan ketika melihat wajah saya sudah memerah menahan tangis saat saya izin untuk ke ruang BK. Saya juga masih ingat betul, ketika itu ada banyak sekali doa dan dukungan yang saya terima baik dari keluarga dan teman-teman sekelas saya saat mengetahui bahwa saya belum berhasil melakuka verifikasi. Memang bukan kejadian yang menyenangkan tapi dengan mengenang itu, saya akan selalu mengingat bahwa saat SMA saya dikelilingi oleh orang-orang yang luar biasa baik dan saya selalu bersyukur akan hal itu.
Tanggal 22 Maret menjadi hari bersejarah bagi semua anak-anak Indonesia pejuang SNMPTN. Pada hari itu, mereka semua menangis. Ada yang menangis Bahagia karena setiap doanya telah terjawab dan ada pula yang menangis karena menyadari bahwa perjuangan mereka masih panjang. Saya menjadi orang dengan tangisan yang kedua. Jujur saja, ketakutan terbesar saya selama masa SMA adalah ketika menghadapi kenyataan bahwa saya harus mengikuti serangkaian tes-tes untuk dapat masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Saya takut jika saya tak mampu menghadapi itu semua dan malah berujung mengecewakan kedua orang tua saya.
Kabar beredar sangat cepat. Hampir semua orang menanyakan bagaimana hasil dari jalur undangan tersebut, bahkan kakak kelas pun dengan gencar bertanya hasil undangan adik-adiknya. Ketika itu, rasanya sangat sulit menghadapi kenyataan bahwa saya tidak diterima. Meskipun sebenarnya, saya sendiri sadar bahwa nilai saya tak cukup untuk diterima lewat jalur undangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampai-sampai saya sempat berpikiran untuk tidak menjawab setiap obrolan yang masuk ke sosial media saya yang menanyakan tentang hasil SNMPTN. Biarlah menggantung begitu saja, pikir saya. Kemudian saya ingat, saya tidak boleh egois. Mereka lah orang-orang yang selalu mendoakan dan mendukung saya, mereka berhak untuk mendapat jawaban akan hasil yang saya dapatkan. Keputusan tersebut tidak salah, ketika saya menjawab setiap pertanyaan mereka, saya mendapat dukungan dan doa yang berkali-kali lipat lebih banyak. Doa dan dukungan tersebut yang membuat saya bangkit dan berpikir bahwa perjalanan saya tentu saja masih sangat panjang. Saya harus menyelesaikan perjalanan saya dengan sebaik-baiknya agar tercipta akhir yang baik pula.
Serangkaian kegiatan belajar untuk mempersiapkan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) saya lewati dengan sungguh-sungguh. Hampir setiap hari saya pergi ke tempat les dari pagi. Akan tetapi, kabar simpang siur tak mengenakkan mulai beredar. Kabar dari teman-teman bahwa soal UTBK 2019 jauh berbeda dari soal SBMPTN tahun-tahun sebelumnya, bahkan dengan sistem yang jauh berbeda pula. Perasaan tak enak dan pemikiran-pemikiran negatif mulai menghampiri saya. Benar saja, ketika hari ujian gelombang pertama saya benar-benar kesulitan untuk mengerjakan soal UTBK. Saya merasa gagal untuk kedua kalinya. Namun, dengan tekad yang kuat dikarenakan masih ada satu kesempatan UTBK lagi, saya terus belajar dengan metode dan jenis soal yang baru dari tempat les.
Ketika proses pembelajaran di tempat les untuk UTBK gelombang kedua, beredar kabar bahwa terjadi kebocoran soal UTBK 2019. Soal-soal UTBK beredar luas dan mudah sekali didapat oleh semua peserta UTBK. Jujur saja, ketika itu hati saya goyah. Apalagi ketika melihat banyak sekali peserta yang dapat dengan mudah mengakses soal bocoran. Hal tersebut membuat rasa takut apabila saya gagal untuk ketiga kalinya menghampiri saya. Namun untungnya, Tuhan kembali meluruskan niat saya. Muncul ketakutan yang lebih besar, takut jika rezeki yang saya dapat nanti akan menjadi rezeki yang tidak berkah apabila saya mendapatkannya dengan cara yang tidak diridhoi-Nya. Kembali lah saya berdoa kepada-Nya agar niat saya selalu diluruskan dan saya dijauhkan dari segala hal yang membuat niat saya goyah.
Tiba kembali saat-saat pengumuman hasil UTBK. Lagi-lagi Dia berkehendak lain. Saya belum mendapat apa yang selama ini saya lantunkan dalam doa saya. Kecewa tentu saja, bahkan lebih kecewa dibandingkan ketika pengumuman SNMPTN yang lalu. Saya benar-benar berharap bahwa UTBK akan menjadi jalan saya untuk mewujudkan mimpi saya selama ini. Saya harus kembali berkutat di depan buku-buku soal, untuk kali ini buku soal simak UI. Soal yang disebut-sebut paling susah dibandingkan soal-soal lain. Dengan segenap doa dan dukungan orang-orang yang selalu ada untuk saya, saya kembali bangkit. Saya ingin selalu berjuang beriringan dengan doa orang-orang yang saya sayangi. Sampai kini, tak ada rasa sesal sedikitpun karena dahulu selalu berjuang bersama doa-doa mereka.
Akhirnya, hari saat ujian simak pun datang. Rasa berdebar saya sudah berkurang, berbeda sekali ketika dulu UTBK. Mungkin saat simak saya sudah dapat menjalankan semua prosesnya dengan ikhlas dan berkhusnudzon kepada-Nya. Setelah tes simak berlangsung, tak ada rasa takabur ataupun rasa tak ikhlas dalam benak saya, yang ada hanya rasa lega karena setidaknya kalaupun gagal, saya masih punya cerita mengenai pengalaman saya mengikuti UTBK dan simak UI 2019. Saya menunggu pengumuman dengan menghabiskan waktu bersama mama dan kakak saya di rumah. Saya benar-benar telah menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Saya selalu berpikir jika memang itu rezeki saya, maka itu akan tetap menjadi rezeki saya sampai kapanpun.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, jam dua siang laman penerimaan UI baru dapat diakses. Saat itu saya hanya berzikir menunggu pengumuman. Tepat pukul dua siang, saya membuka laman penerimaan UI, baru pukul dua lebih sedikit akhirnya laman tersebut terbuka dan menunjukkan hasil ujian. Saya baca dengan saksama, kata demi kata. Seketika tangan saya bergetar, mata saya berkaca-kaca hingga penglihatan saya buram. Segera saya bangkit dan menghampiri kamar mama saya. Saya segera memeluk mama saya sangat erat, enggan melepaskan. Setelah beberapa menit berpelukan, mama saya meminta saya agar segera mengabarkan orang-orang terdekat bahwa doa mereka dikabulkan oleh-Nya. Bahwa saya diterima sebagai mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur simak.
Setelah saya diterima sebagai mahasiswi baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya harap saya dapat menjadi seseorang yang lebih baik dan peduli lagi kepada orang-orang di sekitar saya. Semoga juga saya dapat mengabdikan diri saya dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat sekitar. Rencana untuk satu dan tiga tahun ke depan, saya ingin dapat beradaptasi dengan baik sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sedangkan rencana untuk sepuluh dan dua puluh tahun ke depan, saya ingin menjadi dokter yang benar-benar mengabdikan dirinya kepada masyarakat di luar sana serta dapat berguna bagi nusa, bangsa, dan negara.
Pesan saya kepada adik-adik yang sedang berada di masa pencarian, teruslah mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di dalam benak kalian. Jangan ragu untuk bertanya kepada yang lain dan jangan ragu pula untuk meminta kepada-Nya. Apapun yang terjadi tetaplah mencari ridho-Nya di jalan yang benar. Mungkin sulit untuk selalu berpegang teguh dalam prinsip. Akan tetapi, percayalah bahwa semua doa kalian akan Dia balas dengan sebaik-baiknya balasan dan sebaik-baiknya jawaban. Percayalah, tidak ada yang bisa menghalangi kalian dari rezeki yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Saya selalu teringat kata-kata mama ketika saya berada di titik terendah dalam hidup saya. Ketika saya bahkan tak percaya lagi dengan diri saya sendiri. Mama berkata, setiap orang berjuang di medan tempurnya masing-masing. Kalau dulu, saya tentu hanya akan menganggap ucapan mama sebagai angin penyejuk singkat saja. Namun setelah dipikir-pikir, memang benar bahwa semua orang selalu berjuang dalam hidupnya. Baik anak TK yang berjuang agar bisa membaca dan menulis, anak SD yang berjuang masuk SMP favorit, ibu yang berjuang melahirkan anaknya dan mendidiknya agar kelak menjadi orang yang berguna, bahkan nenek atau kakek kita pun berjuang di hari tuanya agar dapat meninggalkan dunia ini dengan keadaan yang baik dan dikenang sebagai orang yang baik pula. Jadi pesan saya, ketika kamu telah lelah untuk berjuang, tengoklah kanan kirimu dan ingatlah bahwa orang-orang di sampingmu juga sedang berjuang di medannya masing-masing. Teruslah berjuang hingga garis akhir terlihat dan akhiri perjuanganmu dengan senyuman, kemudian bersiaplah untuk kembali menyambut awal perjuangan yang baru.
Comments