top of page
Search

NARASI PERJUANGAN — NOVANZA RAYHAN N

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 21, 2019
  • 9 min read

“Cara terbaik untuk menemukan dirimu, adalah dengan kehilangan dirimu dalam pelayanan bagi orang lain.” Begitu kata Mahatma Ghandi. Seorang tokoh pergerakan Kemerdekaan India dan figur besar di subkontinel itu yang justru hanya menoleh jika disapa abdi, menyapa dengan namanya, tanpa gelar atau jabatan. Katanya, pelayanan dan pengabdian itu bukan soal saya, atau kamu, tapi mereka. Titik dimana kita memilih untuk mengabdi pada sesuatu hal yang lebih besar, itulah momen dimana kita tak lagi membahas soal diri kita sendiri, menyerahkan raga dan jiwa ini sepenuhnya pada orang yang ktia abdikan sebuah pelayanan. Semua berubah dari “apa yang saya mau” menjadi “apa yang mereka mau”. Meskipun kadang terdengar bertolak-belakang, nyatanya kita memang baru bisa menemukan jawaban atas pertanyaan sederhana “siapa kita?” justru ketika kita tak lagi mengingatnya. Ketika pikiran dan benak dipenuhi oleh pengabdian pada orang lain, disaat itu-lah segala bentuk keinginan dan hasrat hilang, disaat itu lah semua bentuk pengandaian akan diri kita hilang bersama perjalanan. Disaat itu lah, pikiran kita pada akhirnya cukup tenang untuk berkaca dan menyapa dirinya sendiri. Semua itu dikenal dengan konsep: altruisme, suatu nilai sosial esensial yang diajarkan Mahatma Ghani kepada saya. Dan ini, ini adalah riwayat perjalanan saya menemukan konsep itu, perjejakan saya hilang di tengah pengabdian pada orang.


Perkenalkan, nama saya Novanza Rayhan Natasaputra, seorang idealis yang kadang radikal dalam menyikapi banyak hal. Seseorang yang menurut tes psikologi saat sekolah menengah dahulu enam puluh persen introvert. Namun pada akhirnya menemukan kenyamanan berada di sekitar orang, bukan hanya diam, tapi bergerak seiring sejalan hajat sekitar.

Bisa dikatakan, internalisasi nilai-nilai ini dimulai ketika berada di sekolah menengah pertama. Dahulu, saya adalah penggiat di bidang ilmu sosial, yang pada akhirnya membawa saya menjadi juara di salah satu perlombaan paling kredibelnya, Olimpiade Sains Nasional, berjuang bersama salah seorang yang kini menjadi teman sejawat saya, Fakhru Adlan Ayub. Semua bermula dari keberanian, ketika pada waktu itu saya bahkan tidak tau ini ilmu apa. Jangankan soal Pithecanthropus erectus atau opportunity cost, soal definisi ilmu sosial saja tidak tahu. Tapi, karena dorongan orang tua yang pada dasarnya hanya memberikan dukungan atas apapun pilihan saya, saya bisa ada di posisi itu dahulu.


Ketika tingkat nasional sedang dijalankan, sebuah tugas yang distingtif diberikan oleh salah satu penilai kami, yaitu menganalisis keadaan pasar dan memberikan asistansi terkait teori ekonomi kepada para pedagang. Ketika itu, saya ditempatkan bersama seorang pedagang daging bernama Pak Alif. Dia tak mengerti apapun soal teori ekonomi, hanya tahu harga-harga daging dan cara memotongnya. Mungkin, kebanyakan dari kita merasa memang itu saja yang dibutuhkan seorang pedagang daging. Tapi nyatanya, ketika itu beliau kebingungan akan managemen ekonomi dan pengelolaan keuangan karena sudah sepuluh tahun, keuntungannya belum juga bertambah dengan signifikan. Genap tiga jam saya berdiskusi dengannya, banyak hal yang saya bisa berikan dan beliau berikan kepada saya. Terjadi satu proses transaksi ilmu disana. Saya dengan ilmu perdagangan, beliau dengan ilmu kehidupan. Setelah waktu selesai, saya keluar dengan senyuman lebar di wajah saya, mengetahui bahwa setidaknya beliau punya dasar ilmunya sekarang. Ketika itu tiba-tiba saya terhenti sejenak, menyadari sesuatu terbersit dalam pikiran: “oh, ini ya rasanya bisa membantu orang lain, nikmat juga”.


Sejak saat itu, saya terus berusaha untuk membantu dan memberikan kontribusi terbesar saya kepada lingkungan sekitar, baik di sekolah maupun rumah. Saya menjadi aktif dalam mengikuti berbagai macam organisasi kala itu, seperti pramuka hingga mendapatkan anugerah Garuda Nasional, dan PMR yang membawa saya masuk kedalam ranah menyelamatkan nyawa dan kesehatan seseorang, suatu bentuk pengabdian yang paling besar.


Prestasi-prestasi itu membawa saya masuk dan menjadi bagian dari sivitas akademika Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Depok melalui jalur prestasi, salah satu sekolah menengah terbaik se-Indonesia, tidak hanya dalam aspek akademis, tapi juga sosial-budaya dan moral.

Pada awalnya saya ingin memilih jurusan ilmu pengetahuan sosial, namun karena pertimbangan dan gambaran yang coba dinarasikan oleh orang tua saya, hal itu urung saya lakukan. Ayah saya adalah seorang pegiat teknik sipil, beliau mendidik saya menjadi seseorang yang saintifik. Baginya, bidang sosial menjadi ranah yang haram saya masuki. Atas permintaan dan garansi-keberhasilan yang diberikan oleh orang tua saya, akhirnya saya memutuskan untuk memilih jurusan ilmu alam dan matematika.


Ketika pilihan itu pada akhirnya dibubuhkan pada kertas pendaftaran, sempat ada keraguan yang muncul soal “saya mau jadi apa?” dan “setelah ini mau lanjut kemana?”. Namun, ketika saya mencoba untuk kembali membuka arsip pandangan dan intensi di dalam pikiran ini, saya menemukan bahwa ada satu nilai yang sangat universal, sesuatu yang pernah sangat saya gandrungi dahulu, yaitu pengabdian. Berangkat dari nilai itu, saya akhirnya memutuskan untuk memilih profesi lanjutan yang paling mampu mewujudkannya, yaitu ilmu kedokteran.


Disamping proses penentuan itu, saya juga mulai belajar soal sistem penerimaan memasuki universitas yang ternyata sangat beragam. Ada tes tulis, tes mandiri, hingga submisi nilai rapot. Kala itu, salah satu kakak kelas terdekat saya pernah memberikan pengalaman berharganya soal ini. Katanya, kebanyakan orang akan merasa bahwa kelas X merupakan masa bersenang-senang dan dapat dianalogikan sebagai waktu untuk membalas semua waktu yang hilang akibat perjuangan masuk ke sekolah ini. Padahal, kelas X justru waktu yang paling optimal untuk meletakkan garis start dan pijakan kita dalam berkompetisi kedepan. Seseorang dengan nilai dan kuantitas akademis yang lebih tinggi di kelas X tentu memiliki garis start yang berbeda dengan mereka yang harus mengejar semua dari awal.


Bertumpu pada pengalaman dan sarannya, saya memilih untuk fokus pada perburuan mendapatkan nilai baik, di semua mata pelajaran. Dalam proses ini, saya berhasil memetik satu strategi dan pengalaman penting soal bagaimana harusnya kompetisi yang sehat ini dijalankan antar pelajar, yang dalam bahasa penyemangatnya sering disebut pejuang PTN.

Kebanyakan orang mungkin berpandangan dan mendeterminasi diri untuk mengejar nilai sempurna pada rapot dengan maksimalisasi ujian harian hingga kenaikan. Sebagian bahkan menganggap bahwa perjuangan dan kompetisi di sekolah terjadi semata-mata hanya di atas kertas lembar jawaban. Padahal, kompetisi dan perjuangan yang sebenarnya berada di luar kertas. Maksud dari anaologi ini adalah: banyak orang yang terlalu preskriptif dalam menyikapi kuantitas nilai sebagai agregat dari akumulasi nilai harian maupun ujian akhir; padahal, Bapak/Ibu Guru yang tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga pendidik; mempunyai fungsi dan peran yang lebih besar. Tak serupa dengan mesin scanner lembar jawaban, bapak/ibu guru juga mempunyai tugas sosial dalam menilai itikad, semangat, determinasi, minat, hingga keaktifan seorang siswa dalam ranah yang lebih besar, tidak hanya selama 20 hingga 30 menit waktu ujian. Karena itu, menjadi aktif dan mampu berkompetisi di ranah “luar kertas” menjadi kemampuan yang esensial.


Melalui prinsip ini, saya juga bisa belajar bagaimana melakukan negosiasi dan diplomasi dengan Bapak/Ibu Guru soal tugas, nilai tambahan, perbaikan, pengayaan, dan lainnya. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang dianggap sebagai pencitraan dan nepotisme. Padahal, ini semua legal. Mereka memberikan suatu tugas atas apa yang saya ajukan, dan mereka akhirnya memberikan saya nilai tambahan atas usaha saya mengerjakan tugas itu, tidak ada manipulasi, apalagi katrolisasi.


Secara harfiah, perjuangan dalam mengejar tujuan pendidikan lanjutan dimulai ketika kelas XII dahulu. Seperti kata orang, manusia umumnya baru menyadari akan suatu hal setelah hal itu mulai mendekati tenggat waktunya. Kita cenderung lebih menghargai dan baru sadar apa yang kita hadapi di depan. Itu juga yang secara tidak langsung saya alami. Selama kelas X dan XI saya begitu yakin untuk memasuki ranah pengabdian sebagai seorang dokter. Namun, nyatanya proses transisi masa depan ini tak semudah berpikir satu dua jam lalu kelar. Ini membahas soal banyak aspek, dan tidak hanya melibatkan diri sendiri. Karena pada waktu itu masih terlalu sederhana dalam menyikapi soal ini, saya merasa bersalah terhadap diri saya sendiri, tidak bisa memaksimalkan waktu yang diberikan untuk mempertimbangkan semua aspek secara gradual, apa yang pada dasarnya saya butuh, bukan saya mau. Saya memilih jalur pendidikan tinggi yang lekat dengan pengabdian dengan cara yang tidak ‘mengabdikan’: Saya hanya menentukannya sendiri tanpa memberikan kesempatan bagi orang-orang yang nantinya saya layani untuk memberikan perpektif mereka. Namun, untungnya waktu belum terlalu terlambat.


Pada pertengahan kelas XII, saya mulai banyak mencari tahu soal universitas, fakultas, hingga prospek kerja dari banyak institusi dan bidang kerja yang saya minati. Layaknya remaja pada umumnya yang masih belum secara utuh memiliki satu prinsip utama, saya juga masih sering trombang-ambing mengikuti arah angin bergerak, menyesuikan diri dengan lingkungan tanpa menyadari apa yang sebenarnya disesuaikan. Bahkan, saya sempat berpikir untuk masuk teknik metalurgi hanya karena kebanyakan teman saya tertarik belajar di dalamnya. Saya juga sempat tertarik untuk lintas jurusan menjadi seorang mahasiswa hubungan internasional karena banyak yang beranggapan bahwa saya memiliki kemampuan lebih disana; dan nyatanya, minat saya dapat dikatakan sangat sosial, sesuai dengan apa yang dilihat banyak orang.


Pada saat pendaftaran SNMPTN mulai memasuki waktu dekat; sebagian besar rekan dan teman seperjuangan mulai merencanakan dengan matang terkait apa yang akan mereka pilih, berkonsultasi dengan bapak/ibu guru, hingga meminta restu orang tua dan sanak saudara. Bahkan, banyak diantara mereka yang seakan kehilangan kenikmatan atas rasa-bebas memilih masa depannya sendiri karena tuntutan bakti kepada orang tua. Banyak diantara mereka yang memilih apa yang orang tuanya pilih, melakukan apa yang orang tuanya lakukan, hingga menjadi apa yang orang tuanya definisikan; tanpa sepenuhnya tahu apa maksud dari semua itu.


Saya menjadi bagian dari mereka yang bersyukur tidak seperti itu. Kedua orang tua saya, baik Ayah ataupun Ibu, sangat suportif dan kolaboratif dalam memastikan saya mendapatkan apa yang saya butuh, bukan yang saya mau. Mereka memberikan sebuah pandangan dan prinsip yang begitu fundamental: jika kita memilih hanya karena kita mau, kemauan itu sifatnya dinamis, kapan waktu bisa hilang dan berganti sesuai pendewasaan diri. Ketika kemauan itu hilang berganti, tidak ada lagi pijakan dasar yang bisa membawa kita kembali pada keadaan optimal disaat jenuh atau bahkan merasa bahwa ini semua bukan untuk kita. Tapi jika didasari hanya oleh apa yang kita bisa, mungkin akan ada banyak hambatan dan resistensi dari hati; tapi apapun yang terjadi, kita tetap mempunyai kemampuan melakukannya, semua sesuai dengan kapabilitas kita. Tidak perlu ada ketakutan akan kegagalan dan ketidakmampuan untuk berjalan beriringan dengan teman seperjuangan di universitas tujuan.


Pada hari penentuan, tanggal 23 April 2019, saya membuka pengumuman seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri di gawai saya sendiri, dengan kepercayaan diri dan kepanikan di saat yang bersamaan, saya membuka laman tersebut dan terpantul refleksi warna hijau pada layar gawai saya. Seketika itu juga, perasaan dan pikiran layaknya dipenuhi oleh banjiran hormon kesenangan, kesedihan, kebingungan hingga ketakutan disaat yang bersamaan. Jika ada yang menanyakan kepada saya apa yang saya rasakan kala itu, saya secara sederhana menjawab: banyak. Perasaan dan sensasi yang saya rasakan sepertinya tidak sesederhana itu untuk bisa dideskripsikan. Semua jenis perasaan dan sensasi ragawi saya rasaan bersamaan. Namun, setelah menarik napas panjang untuk memproses semua ini, saya menyadari satu perasaan yang dominan dibandingkan yang lain: lega.

Saya mereka lega atas perjuangan yang saya lakukan secara maksimal, lega atas hasil dari pengorbanan menjadi ‘laskar pulang malam’ dan golongan pantang tidur dibawah jam dua belas malam hanya untuk menunaikan seluruh tugas dan amanah yang diberikan baik akademik maupun non-akademik; lega atas perjuangan mencari definisi diri dan tujuan hidup yang rasanya sangat menguras pikiran; lega karena berhasil memenuhi ekspektasi banyak orang terhadap diri saya, anggapan bahwa saya pasti akan lulus, saya akan ini, itu, dan banyak ekspektasi lainnya; lega atas kebebasan saya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari untuk beberapa bulan kedepan tanpa perlu berkutat pada ujian tulis, yang jujur saja, sama sekali belum saya persiapkan dengan maksimal. Mungkin karena terlena akan ‘garansi’ yang secara kolektif disusupi kedalam pikiran saya oleh banyak orang. Terakhir, lega atas perasaan ‘sah’ menjadi bagian dari sesuatu yang beragam namun tunggal, sivitas akademika Universitas Indonesia.


Maya Angelou pernah mengatakan bahwa orang-orang melupakan apa yang kamu katakan, melupakan apa yang kamu lakukan, tapi tak pernah melupakan bagaimana kamu membuat mereka merasakan. Pandangan ini menyadarkan saya akan satu tujuan penting saya berada di Fakultas Kedokteran UI dan menjadi seorang dokter nantinya; bahwa saya punya tugas untuk bisa melibatkan orang-orang di sekitar saya secara personal, mengajak mereka secara proaktif untuk bisa menjaga kesehatannya sendiri, tidak hanya bernarasi dan berceramah soal ilmu yang saya kuasai. Selain itu, saya juga merasa bahwa pelayanan kesehatan yang baik di Indonesia masih dianggap sebagai keistimewaan bagi mereka yang berkantung tebal atau pengguna asuransi kesehatan; padahal, pelayanan kesahatan yang baik adalah hak dasar setiap orang. Oleh karena itu, saya punya sebuah idealisme dan mimpi besar untuk bisa berkontribusi aktif dalam membangun sektor ini, sektor pelayanan kesehatan kebangsaan. Mengapa saya sebut kebangsaan? Karena ini bukan soal uang, jabatan, kedudukan atau status, tapi semata-mata didasari rasa kesamaan identitas sebagai sebuah bangsa. Bahwa sakit yang dialami oleh saudara kita sesama warga bangsa harusnya menjadi derita bersama. Atas dasar itu, pelayanan kesehatan yang tanpa tedeng-aling-aling hanya bertujuan menyehatkan (tanpa turunan apapun) perlu dikembangkan secara massif.

Dalam ranah non-akademik, saya memiliki harapan untuk bisa aktif dalam badan atau organisasi kemahasiswaan. Sebagaimana telah saya jelaskan diatas, organisasi akan saya gunakan sebagai tempat pengabdian pada sesuatu yang lebih besar.


Ketika saya melaksanakan Orientasi Belajar Mahasiawa UI pada tanggal 20 Juni lalu, mentor saya yang juga mahasiswa UI dari Fakultas Ilmu Budaya sempat menyampaikan sesuatu secara implisit bahwa sivitas akademika UI masih belum banyak merasakan manfaat dari kehadiran Fakultas Kedokteran. Sivitas UI belum bisa merasakan manfaat dari promosi dan prevensi kesehatan yang pada harusnya menjadi kewajiban setiap peserta didik di lingkup FKUI. Selain itu, teman saya juga pernah bercerita bahwa kakaknya, mahasiswa kedokteran gigi Universitas Indonesia, pernah menyampaikan sebuah lelucon satir bahwa UI pada dasarnya hanya mempunya dua fakultas, kedokteran, dan non-kedokteran. Bagi saya, pandangan-pandangan itu tentu berdasar akan sesuatu yang nyata, walaupun kadang mungkin berlebihan. Bagi saya ini seakan menajdi sebuah ironi, bahwa fakultas yang harusnya jadi paling melayani, malah absen dari lingkungan terdekatnya sekarang.


Berdasarkan beberapa pengalaman itu, mungkin sudah bisa disimpulkan bahwa tujuan utama saya sederhana: membangun inklusivitas dan merubuhkan tembok imaginer yang memisahkan fakultas ini dengan sivitas akademika lainnya di Universitas Indonesia. Dengan begitu, setiap individu di dalam Fakultas Kedokteran bisa secara utuh menjalankan pengabdian yang tersebar dan menyebar pada setiap lini dan lingkup sosial di sekitarnya.

Dalam beberapa tahun kedepan, saya berharap mimpi jangka pendek dan menengah tersebut bisa setidaknya dimulai, tidak perlu harus besar, atau bahkan tuntas; cukup dimulai. Karena bagi saya, keberhasilan seseorang bukan dinilai dari seberapa besar perubahan yang ia ciptakan, tapi seberapa besar usaha yang ia berikan untuk menghasilkan perubahan, sekecil apapun. Pencapaian itu akan saya jalankan seiring sejalan perjalanan dan pilihan saya menjadi seorang dokter spesialis forensik nantinya.

 
 
 

Recent Posts

See All
Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara...

 
 
 

1 Comment


Budi Wiweko
Budi Wiweko
Aug 21, 2019

Sukses selalu Novanza.....jadi lah dokter sebagai community leader yang terus memimpin perubahan di tengah masyarakat. Dokter adalah agent of change yang dengan berbagai inovasi akan merubah tatanan hidup bermasyarakat menuju bahagia dan sejahtera. Indonesia membutuhkan anda sebagai generasi penerus dan pemimpin bangsa

Like

© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page