top of page
Search

Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 22, 2019
  • 10 min read

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara personal kepada kalian semua terkait perjuangan panjang saya agar dapat diterima oleh Universitas Indonesia, khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namun, sebelum memulai cerita panjang saya mengenai perjuangan panjang masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Mucica Safitri biasanya dipanggil Cira. Saya berasal dari SMAN 1 Kendari, Sulawesi Tenggara. Saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur SNMPTN 2019. Awal kisah panjang ini, dimulai sejak saya duduk dibangku kelas 2 atau 3 sd. Ketika itu saya sedang menonton kartun disalah satu saluran televisi. Ketika siaran terjeda oleh iklan, saya melihat dan menyaksikan iklan layanan kesehatan, dimana terdapat seorang wanita yang terlihat sedang mengobati luka seorang wanita lain dan tindakan peduli sesama dengan membantu peningkatan mutu dan kualitas kesehatan. Sejak saat itu, saya mulai tertarik melihat interaksi lebih lanjut antara dokter dan pasien yang baru saya ketahui kala itu. Dari sinilah kecintaan akan ilmu kesehatan juga ilmu alam saya dimulai. Melompat jauh pada masa pendidikan putih biru, saya tumbuh menjadi seorang anak yang terkesan biasa-biasa saja dan cukup santai terhadap masalah pendidikan. Saya juga terkesan sebagai pribadi yang lebih santai dalam belajar dan kebiasaan buruk sebagai seorang deadliner mulai tumbuh akibat dari kondisi pergaulan dilingkungan saya, membuat saya menjadi pribadi yang terlalu santai dan banyak menghabiskan waktu untuk bermain. Namun, meskipun demikian dalam setiap evaluasi akhir semester saya selalu mendapat posisi tiga besar dikelas. Saat menapaki diri dikelas 8, saya mulai sadar dan banyak belajar bahwa tindakan yang saya lakukan selama adalah sia-sia. Berbekal dari kesukaan dan kecintaan terhadap ilmu kesehatan dan ilmu alam saya mulai memacu semangat belajar dan berusaha mengurangi jatah waktu bermain bersama teman-teman sebaya. Secara bertahap, saya mulai rajin dalam membaca berbagai jenis buku. Buku jenis apapun itu, selama masih berhubungan dengan dunia kesehatan pasti akan saya sempatkan untuk membacanya. Dalam tahap ini pula saya mulai merasakan ketertarikan terhadap bidang ilmu yang lain, yaitu sejarah Indonesia. Sejarah banyak mengajarkan kepada saya mengenai pelajaran dan kesalahan masa lalu yang telah banyak diperbuat sehingga berangkat dari kesalahan itu saya bisa belajar agar tidak melakukan kesalahan serupa dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghindarinya. Dari sinilah saya mulai banyak membaca dan mempelajari sejarah Kesehatan di Indonesia yang dipicu oleh kekaguman saya akan sosok pahlawan pejuang kemerdekaan, yaitu dr. Cipto Mangunkusumo. Karena sosok beliaulah yang merupakan panutan saya kala itu dalam mendalami kesehatan berbasis ilmu sejarah. Bagi saya sosok inspirator sangatlah penting sebagai pemicu dan penggerak dalam mencapai tujuan tertentu. Saat itu saya membulatkan tekad agar dapat melanjutkan pendidikan pada bidang kesehatan di Universitas Indonesia. Sebagai seorang pengagum berat para pahlawan yang berkiprah dalam dunia kesehatan, tentunya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menempati urutan pertama sebagai Universitas yang wajib bagi saya pilih. Membayangkan bahwa Universitas ini menyimpan banyak cerita perjuangan dan perjalanan sekolah kesehatan tertua dan pertama di Indonesia membuat saya cukup minder dan merasa ragu jika dapat diterima oleh kampus ini, terlebih status saya sebagai anak daerah dengan basik sekolah negeri biasa membuat nyali dan tekad saya sempat ciut. Saya sempat mengubur mimpi dan harapan agar bisa melanjutkan pendidikan di UI selama hampir 1 tahun lamanya, walaupun kenyataannya kadang keinginan itu masih sempat timbul tenggelam. Awal semester akhir di kelas 9, ketika itu ibu saya yang tengah hamil sedang melahirkan. Tentunya saya sangat bahagia dengan kehadiran anggota baru dikeluarga kami. Namun, ketika adik saya menginjak usia 6 bulan, dokter malah memvonisnya mengalami mikrosefalus ( pengecilan/penciutan kepala bayi ). Sebelumnya tidak pernah ada riwayat penyakit bawaan semacam ini dalam keluarga saya, namun jika melihat riwayat kesehatan, kondisi ibu, dan pengetahuan selama masa kehamilan sangat jelas jika penyebabnya berasal dari luar. Sangat tidak adil rasanya mengetahui jika adik yang baru saya jumpai beberapa bulan belakangan harus mengalami kondisi yang sangat mengerikan ini. Akibatnya dia tidak mampu beraktivitas normal seperti anak-anak pada umumnya. Selain itu dia juga mengalami kemunduran fisik, mulai dari otot yang kaku hingga tulang leher yang masih rentan bahkan kini ketika usianya hampir memasuki usia 4 tahun, kondisinya tak ayalkan bagai seorang bayi baru lahir yang tidak dapat melakukan apa-apa selain terlentang seharian ditempat tidur. Sebagai seorang kakak saya merasa tidak dapat melakukan apa-apa, melihat semua orang disekeliling saya merasa sedih dan putus asa akan kondisi adik saya. Saya merasa sangat tidak berguna kala itu, tidak banyak yang bisa saya perbuat selain belajar untuk persiapan ujian akhir dan mengukir janji dalam diri saya sendiri jika kelak saya akan menjadi manusia yang bisa diandalkan, manusia yang berguna apabila dibutuhkan, manusia yang mendatangkan manfaat bagi manusia lain, karena saya yang paling tahu rasa sakit saya melihat kondisi adik saya yang lemah tidak berdaya dan karenanya saya ingin agar tidak ada lagi rasa sedih dan putus asa dari para ibu lainnya seperti yang telah ibu saya rasakan. Saya tidak ingin para anak tertua merasa tidak berguna bagi keluarga layaknya seperti yang telah saya rasakan, cukuplah saya dan hanya saya tidak boleh ada lagi yang berikutnya. Tidak membiarkan diri berlarut-larut, saya mengubur kesedihan dan memupuknya dengan kerja keras yang menghantarkan saya menjadi pemilik nilai UN tertinggi di sekolah. Saya bertekad untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah terbaik di kota saya, SMAN 1 Kendari. Perjuangan terberat saya agar bisa menggapai cita-cita lama saya dimulai. Sejak dinyatakan diterima, saya lantas lebih banyak mengamati dan mempelajari keadaan sekitar, mulai bagaimana cara saya dalam berbicara yang baik, bagaimana progres belajar yang sesuai dengan cara belajar saya, bahkan sampai menirukan gaya dan cara belajar orang serta meniru karakteristik merekapun pernah saya lakukan, secara perlahan tapi pasti saya mulai membenahi diri dan mengejar ketertinggalan dari teman-teman yang lain. Sejak SMA saya hanya mengikuti ekskul yang memiliki koherensi dengan kegiatan akademik saya serta mampu menunjang peningkatan mutu personal, seperti Kelompok Ilmiah Remaja dan Circle English Conversation Club. Sejak masa ini, saya memutuskan agar fokus dalam perbaikan standar akademik dan soft skill diri. Dalam upaya mensejajarkan diri agar tidak tertinggal dari teman-teman yang mengikuti bimbel, setiap pulang sekolah dimalam harinya saya tidak pernah absen untuk belajar mandiri dan evaluasi diri tentang hasil yang telah saya dapatkan. Belajar tidak pernah absen dan seakan menjadi agenda rutin harian yang telah menjadi wajib untuk dilakukan dalam kondisi apapun bahkan ketika sedang sakit sekalipun. Untuk kehidupan sosial sekolah, jika sebelumnya di SMP saya memiliki anggota kelompok bermain, di SMA saya menjadi pribadi yang lebih terbuka dan berteman dengan semua orang tanpa harus bergabung dengan kubu tertentu. Saya cenderung bersikap individual, egois, dan sangat ambisius. Walaupun sebenarnya sikap ini kurang baik untuk ditiru, namun bagi sikap ambisius adalah sebuah pengecualian. Yah, saya rasa lebih dari 50% alasan saya bisa berada di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah sikap ambisius. Bagi saya untuk menjadi seorang mahasiswa kedokteran, harus memiliki sikap yang tegar, kuat, tegas, rajin, gigih, dan tentunya sikap ambisius. Ambisius yang saya maksud adalah ambisius yang disesuaikan tempat dan porsinya. Misalnya dalam upaya menguasai ilmu biologi, maka sebaiknya jadikan kegiatan membaca buku-buku biologi sebagai prioritas utama yang wajib untuk dipelajari dalam kurun waktu yang telah disepakati oleh diri sendiri dan komitmenlah dengan keputusan tersebut. Sementara jika sedang berada dalam kegiatan akademik berbasis kelompok maka lakukanlah bersama kegiatan yang diperintahkan, jangan jalan sendiri dan membiarkan yang lain tertinggal. Jangan menjadi egois dengan mementingkan kepentingan diri sendiri, apalagi jika sampai merugikan orang lain, karena sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, ada saja kesempatan yang membuat kejadian timbal balik satu sama lain, hingga tidak ada yang merasa jika dirinya tidak dibutuhkan. Oleh karena itu sangat penting untuk menjaga dan membina hubungan baik antarsesama. Merasa kurang dengan capaian prestasi akademik di semester awal kehidupan SMA, saya mulai rutin mengikuti berbagai event lomba-lomba untuk menutupi waktu luang saya agar terisi dengan hal yang berfaedah. Dari sini, saya belajar banyak dan wawasan saya juga jadi lebih terbuka mengenai kemampuan verbal dan pola pikir. Saya menjadi pribadi yang lebih welcome terhadap berbagai macam saran dan kritik membangun dari sekitar. Hal tersebut sebagai evaluasi diri, tentang seberapa efektifkah saya dalam menjani target dan terkait kekurangan dan sifat-sifat buruk yang seharusnya tidak perlu ada dalam diri saya. Intinya saya terus belajar dan belajar dengan giat, hingga tahun pertama dan tahun kedua berlalu dengan pencapaian yang sangat memuaskan bagi saya. Memasuki tahun ketiga, para dewan guru mulai berbondong-bondong memberikan petuah mengenai kehidupan perkuliahan sementara guru bagian pengurusan SNMPTN mulai gencar melakukan aksi persuasi agar para siswa kelas 12 belajar dengan giat dan telah menetapkan tempat selanjutnya dia belajar. Dikala teman-teman yang lain, disibukkan dengan perdebatan SNMPTN, saya lebih memilih belajar mengulas balik materi yang telah saya pelajari dari kelas 10 sebagai bekal persiapan Ujian akhir dan Ujian Nasional. Disaat-saat ini saya sempat down akibat dari banyaknya tugas sekolah dan Ujian sekolah disertai ujian hidup yang datang bertubi-tubi. Wajar, jika ingin mengeluh karena menjadi siswa tingkat akhir memang membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mengurus kegiatan akademik yang sedang padat-padatnya belum lagi dipusingkan oleh SNMPTN yang seakan menghantui setiap saat. Namun setiap hampir menyerah, saya selalu memikirkan banyak hal untuk menjadi pertimbangan, tentang seberapa lelah yang saya lalui belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lelah ayah saya yang bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berlima termasuk adik saya yang berkebutuhan khusus, atau bagaimana wajah senang dan bangga ibu saya setiap mendengar prestasi yang saya bawa pulang sebagai oleh-oleh dari sekolah, atau betapa susah dan menyedihkannya para anak jalanan yang juga ingin merasakan yang namanya pendidikan. Semua hal itu menjadi pembangkit gairah dalam diri saya, ketika saya berpikir untuk menyerah. Saya sering memikirkan alasan terbaik untuk menyerah, dan saya tidak pernah menemukannya. Kemudian saya kembali berpikir jika yang menempuh pendidikan bukan hanya saya seorang dan yang merasa kesulitan dan keputusasaan juga bukan hanya saya. Telah banyak orang yang baik saat ini maupun terdahulu telah menempati posisi saya, bahkan mungkin lelah yang saya alami tidak separah mereka, tetapi banyak dari mereka membuktikan diri bahwa mereka bisa melakukan apa yang mereka mau, lantas mengapa saya tidak ?. Terlebih dialog antar diri sendiri yang biasa saya lakukan, nyatanya membawa keuntungan tersendiri bagi terapi stress dan merangsang daya kritis serta kemampuan verbal saya pribadi. Selain mudah untuk dilakukan, saya juga bisa melakukannya dimanapun dan kapanpun. Tetapi hal ini tidak saya anjurkan, karena dalam beberapa kondisi, saya justru dianggap sebagai pengidap skizofrenia. Kira-kira seperti itulah kisah penuh drama kelas 12 semester awal yang saya lalui, hingga pada puncaknya semester kedua dimulai. Kebimbangan kembali melanda, saya sempat lupa jika biaya sekolah kedokteran itu tidaklah murah, sementara saya berasal dari keluarga ekonomi kebawah. Jangankan untuk membayar uang kuliah untuk makan sehari-hari saja sudah sulit ditambah lsgi dengan kondisi adik bungsu saya sungguh rasanya tidak ada harapan untuk menghampiri kampus kuning impian saya. Saya sempat berpikir ingin mengambil jurusan kuliah yang cepat mendapatkan pekerjaan di Universitas yang uang kuliahnya cukup terjangkau oleh ekonomi orang tua saya. Jadilah saya ingin mengambil manajemen atau sekolah kedinasan, akan tetapi kehadiran salah satu guru saya yang selalu memberikan motivasinya kepada kami semua termasuk saya agar tidak menyerah pada kondisi finansial kembali mengobarkan semangat saya. Saya bertanya mengenai pengalaman para kakak kelas kurang mampu yang telah berkiprah jauh sebelum dan telah berhasil masuk ke kampus idamannya. Dan ketika saya menjelaskan keinginan saya melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, beliau menyarankan dan memotivasi saya serta memberi pengertian terkait biaya pendidikan yang sudah tidak ada lagi kendala bagi mereka yang kondisi keuangannya tidak memungkinkan. Jadilah saat hari dimana pengisian SNMPTN saya memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai opsi pertama namun bukan satu-satunya. Hal ini karena saya yang sempat jatuh cinta terhadap fisika, sehingga memasukkan Fisika Universitas Indonesia sebagai opsi kedua. Setelah mengisi, penantian panjangpun dimulai. Saya memang tidak terlalu percaya diri dan tidak ingin menggantungkan harapan pada hasil SNMPTN, sehingga sejak semester awal kelas 12 saya telah melakukan persiapan SBMPTN secara autodidak, karena saya tidak mampu menyewa tempat bimbel. Selama penantian selama kurang lebih sebulan, pengumuman pun keluar. Saat jumat pagi, ternyata situs pengumuman SNMPTN sempat dibuka sehingga guru saya dapat mengaksesnya dan memberitahu hasil SNMPTN kepada beberapa anak dikelas saya. Melihat isi grup dipenuhi okeh rasa syukur disertai screenshot berwarna hijau membuat saya menjadi pesimis, bisakah saya mendapatkan hijau seindah itu juga ? Ataukah justru saya menjadi pengotor isi grup yang didominasi oleh anak-anak SNMPTN yang lulus. Hingga akhirnya, tiba waktu pengumuman saya yang dishare ke grup kelas. Deg Deg Sempat speechless, barulah sepersekian detik baru bisa mencerna keadaan. Tapi rasanya tidak mungkin jika saya diterima semudah ini. Saya sempat mengira ini hanya sebuah permainan dari bapak guru saya agar kami tidak terlalu menjadikan SNMPTN sebagai beban. Saya kemudian memutuskan menunggu hingga siang hari. Siangnya, saya kembali melihat dan benar saja yang pertama kali yang terlihat oleh saya adalah kata selamat diikuti warna hijau yang menghiasi layar dengan indahnya. Saya masih juga belum percaya, masalahnya ini terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan tapi sulit untuk menerimanya. Setelah meyakinkan diri dibantu oleh dukungan teman-teman yang lain saya mencoba menerima kenyataan bahwa benar adanya jika kampus luar biasa di Indonesia menerima saya sebagai salah satu bagiannya. Segala perasaan bercampur aduk antar sedih, gembira, heran, dan terharu. Tidak ada kata sempurna untuk menggambarkan perasaan saya yang sangat abstrak didominasi oleh rasa syukur. Rasanya terlalu sempurna dan terlalu mudah jalan yang tuhan berikan kepada saya. Untuk itu, saya berjanji dengan segenap jiwa untuk mengabdikan seluruh hidup saya pada kemanusiaan, membantu sesama, tanpa memandang status. Melalui tulisan ini pula saya sampaikan kepada diri sendiri betapa beratnya perjuangan untuk berada dititik tempat saya berpijak sekarang. Oleh karenanya, perjuangan berat saya tidak akan pernah selesai sebelum saya mendapatkan gelar spesialis dan menciptakan rumah sakit dan komunitas kesehatan milik saya sendiri. Saya ingin menjadi orang besar, dalam artian saya bisa menjadi tempat para rakyat-rakyat kecil mengadu, berbagi keluh kesal, tempat para anak jalanan dan para lansia terlantar berlindung. Saya ingin menjadi rumah yang besar dan nyaman agar saya bisa menampung saudara-saudara saya yang memiliki nasib kurang beruntung. Kesulitan dan beban hidup mengajarkan saya menjadi pribadi yang tegar dan mandiri dalam menentukan sikap dalam kiprah saya kedepannya sebagai seorang dokter penggerak perubahan dan pembela kesejajaran dan kesetaraan. Selain itu semua tentunya saya juga memiliki tujuan untuk memberikan persembahan terbaik yang pernah saya berikan seumur hidup saya kepada seluruh keluarga besar yang telah mendukung pendidikan saya hingga saat ini, khususnya bagi kedua orang tua saya. Saya ingin mengatakan, saya mencintai mereka dan seumur hidup saya hanya akan mempersembahkan rasa bangga dan hormat pada kedua orang tua saya. Doa dan juga finansial merupakan bagiannya. Pada intinya seluruh hidup saya milik rakyat Indonesia dan Allah SWT. Akhir kata penutup, sebuah pesan dari saya adalah beranilah. Lakukan hal yang kamu mau bukan apa yang kamu bisa. Karena jika hanya sekedar bisa, ikan di laut BISA berenang lebih hebat darimu, cheetah di darat BISA berlari lebih kencang daripadamu, dan burung yang BISA terbang jauh lebih hebat darimu karena dia BISA terbang tanpa BISA kau susul. Tapi jika kau MAU maka, kau pasti BISA. Kalau kau MAU kau BISA ikut terbang mengejar burung, atau malah sebaliknya. Kemauan membuat seseorang mengerahkan upaya yang lebih besar, meskipun kesuksesan tergantung bagaimana perspektifmu diarahkan.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page