Narasi Perjuangan - Alfianto Widiono
- FKUI 2019
- Aug 14, 2019
- 9 min read
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) merupakan salah satu dari beberapa fakultas yang ada di Universitas Indonesia. Fakultas ini merupakan fakultas kedokteran tertua di negara kita. Seiring berjalannya waktu, FKUI dengan program studi yang ditawarkannya, yakni Pendidikan Dokter, menjadi fakultas favorit siswa dari berbagai penjuru nusantara. Tiap tahunnya, siswa kelas 3 SMA akan berbondong-bondong mendaftarkan diri ke FKUI dengan harapan dapat diterima sebagai mahasiswa baru di sana. Namun, hanya 200-an siswa saja yang cukup beruntung untuk dapat memanggil FKUI sebagai “rumah” baru mereka. Di balik pencapaian mereka tersebut, tentu ada perjuangan yang panjang, tidak peduli mereka masuk lewat jalur SNMPTN, Talent Scouting, SBMPTN, ataupun Simak. Dalam narasi kali ini, perkenalkanlah saya untuk menceritakan perjuangan saya untuk masuk ke FKUI.
Perkenalkan, nama saya Alfianto Widiono, akrab disapa dengan panggilan Dio. Saya lahir di Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Februari 2001. Saya merupakan alumni dari SMA Negeri 17 Makassar. Pada tahun 2019 ini, atas restu dari Tuhan YME, saya berhasil masuk di FKUI melalui jalur SNMPTN.
Bagi saya, FKUI adalah fakultas kedokteran terbaik di Indonesia. Hal ini tercerminkan dari alumninya yang tidak hanya berkualitas, akan tetapi juga dapat berkontribusi terhadap masyarakat luas, mulai dari sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang ini. Sebut saja Dr Sutomo, Tjipto Mangunkusomo, dan Wahidin Sudirohusodo; mereka adalah alumni FKUI yang pada zamannya ikut berperan dalam mengusahakan merdekanya Indonesia. Adapun pada era sekarang, alumni FKUI yang dapat kita lihat kontribusinya secara nyata adalah Nila Moeloek, Menteri Kesehatan kita. Lebih lanjut, saya juga berpendapat bahwa FKUI adalah fakultas kedokteran yang multikultur dan inovatif. FKUI multikultur karena berbagai suku dan budaya bercampur di dalamnya, sedangkan saya katakan inovatif karena FKUI selalu terdepan dalam riset-riset baru yang selanjutnya ikut memajukan dunia kedokteran.
Walaupun kebanyakan anggota keluarga saya bekerja di bidang teknik, sejak kecil, saya sudah memiliki ketertarikan pada dunia kedokteran. Sekitar umur 5 tahun, saat saya tinggal di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan mengikuti pekerjaan ayah saya, saya pernah sakit dan dibawa lari ke rumah sakit. Saat itu, dokter mendiagnosis saya dengan penyakit tifus. Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, saya pun diperbolehkan keluar. Namun, tak lama kemudian, saya kembali sakit dan ketika diperiksa, diagnosis dokter tetap sama menyebabkan saya kembali dirawat inap. Hal ini kembali berulang untuk ketiga kalinya, hingga akhirnya ibu saya memutuskan untuk kembali membawa saya ke Makassar. Setelah berkonsultasi dengan salah satu dokter anak di Makassar, ternyata saya hanya menderita demam dan penyakit itu pun disembuhkan dengan obat dokter dalam waktu beberapa hari.
Ketika masih kecil, peristiwa itu hanya membuat saya bertanya, “Kenapa bisa?”. Kenapa bisa saya mendapatkan misdiagnosis, lebih tepatnya. Pertanyaan itu, pada saat itu, tak membutuhkan jawaban bagi saya. Toh, peristiwa tersebut juga sudah terjadi. Namun, sekitar kelas 8 SMP, secara tiba-tiba saya mulai menginginkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Saya terus menganalisis peristiwa yang saya alami itu dan menyayangkan fakta bahwa dokter yang seharusnya membantu menyembuhkan penyakit seseorang juga mampu melakukan misdiagnosis yang dapat berakibat fatal pada pasien. Sejak saat itu, saya pun mulai tertarik untuk menjadi seorang dokter, tentunya dokter yang melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati untuk menyembuhkan orang lain. Menurut saya, ketika seorang dokter berhasil menyembuhkan pasien dari penyakitnya dan pasien tersebut mengucapkan terima kasih yang tulus kepada sang dokter, hal itu adalah kebahagiaan yang tak dapat dinilai.
Kemudian, saya pun masuk SMA di tahun 2015. Saya memutuskan untuk masuk di SMA Negeri 17 Makassar, sekolah terfavorit di Sulawesi Selatan. Meskipun letaknya cukup jauh dari rumah saya (sekitar 10 km) dan transportasi umum ke arah sekolah yang terbatas, saya tetap memberanikan diri untuk mendaftar di sana. Motivasi saya saat itu ialah untuk menjadi yang terbaik maka saya harus belajar dengan orang-orang terbaik yang ada di kota saya.
Di SMA Negeri 17 Makassar, saya ditempatkan di kelas IPA 1. Bisa dikatakan bahwa kelas saya merupakan kelas unggulan. Walaupun saya masuk di sekolah ini dengan keinginan untuk menjadi seorang dokter, keinginan tersebut sempat membuat saya ragu untuk waktu yang cukup lama. Bagaimana tidak, hampir 2/3 orang di kelas saya pada saat itu berkeinginan untuk menjadi dokter. Kebanyakan dari mereka ingin melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin (Unhas), universitas kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Ketika itu, saya tidak tahu ingin masuk di universitas mana. Karena mayoritas ingin masuk di Unhas maka saya pun ikut beraspirasi demikian, namun hal itu justru membuat saya ragu dengan banyaknya jumlah orang yang ingin melanjutkan pendidikan dokter di sana. Ketika itu pun saya tidak terpikirkan untuk mendaftar di FKUI karena saya rasa FKUI terlalu jauh untuk digapai. Memang, ranking 1 paralel di sekolah saya biasanya diterima di FKUI melalui jalur masuk SNMPTN. Namun, karena sekolah saya tidak pernah mengumumkan ranking maka sulit bagi saya untuk menentukan bagaimana performa saya dan apakah saya bisa mendaftar di sana.
Saya pun mulai berpikiran untuk mencari jurusan alternatif untuk dapat saya pelajari saat kuliah. Beberapa alternatif yang muncul di benak saya, yaitu Hubungan Internasional (HI), Hukum, dan Psikologi. Kebetulan, di awal tahun 2016, saya berkesempatan mengikuti lomba ALSA E-Comp yang diselenggarakan oleh ALSA UI. Ini merupakan interaksi pertama saya dengan UI. Ketika berkompetisi di ajang tersebut, saya mulai tertarik dengan suasana pembelajaran di UI, khususnya di FHUI. Saya pun bertanya pada diri sendiri, apakah saya masih ingin melanjutkan cita-cita saya menjadi seorang dokter, ataukah saya harus berpindah ke ranah hukum. Di antara kedua pilihan tersebut, saya tidak dapat mengambil keputusan.
Di lain sisi, saya juga mendaftarkan diri saya untuk mengikuti program pertukaran pelajar. Memang awalnya saya tidak berniat untuk mengikuti program tersebut, namun ketika saya dilantik sebagai anggota OSIS sekolah saya, saya ditugaskan di bidang Bahasa Inggris dan dipertemukan dengan koordinator bidang OSIS dan MPK yang mengikuti program tersebut. Kedua orang tersebut sangat menginspirasi saya dengan cara mereka berpikir dan berkomunikasi. Akhirnya, saya memutuskan untuk ikut seleksi program tersebut. Setelah melalui beberapa tahap seleksi, saya dinyatakan lolos dan berhak ikut pertukaran pelajar ke Hungaria.
Pertukaran pelajaran tersebut berarti saya harus mengambil cuti selama setahun dari sekolah. Hal itu tidak saya permasalahkan karena jujur saja, saya masih mencoba mencari jati diri saya dan menentukan jalan yang ingin saya tempuh. Di Hungaria sendiri, saya sempat mengalami keretakan tulang saat bermain ice skating. Karena tangan saya sulit digerakkan, saya pun dibawa ke dokter. Meskipun dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, dokter saya saat itu tetap mengobati saya dengan sebaik yang dia bisa. Inilah yang meyakinkan saya untuk memilih menjadi seorang dokter ke depannya.
Di sana pula saya mendapatkan berbagai pengalaman yang memperluas horizon pengetahuan saya. Tinggal di negara orang selama hampir setahun, tanpa mengenal siapapun, membuat saya sadar bahwa sebagai seorang manusia, kita tidak dapat hidup sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, artinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan bantuan manusia lainnya. Esensi dari manusia sebagai makhluk sosial saya rasa sangat dipancarkan oleh seorang dokter, di mana seorang dokter akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan orang lain, berupa kebutuhan untuk sembuh dari suatu penyakit dan menjadi sehat kembali.
Sekembalinya saya ke Indonesia, saya pun harus kembali menyesuaikan diri. Karena Hungaria menggunakan kurikulum yang berbeda maka saya harus kembali mengulang pelajaran yang telah saya pelajari di kelas 2 agar dapat mengikuti pelajaran di kelas 3. Di kelas 3 sendiri, saya ditempatkan di kelas IPA 4. Selain belajar di kelas, saya pun mengikuti bimbel untuk membantu saya dalam memahami pelajaran baru yang saya dapatkan di sekolah. Tidak hanya pelajaran di sekolah, saya juga mempersiapkan diri untuk mengikuti UTBK. Berbagai try out model UTBK pun saya ikuti. Saya selalu bersyukur atas nilai yang saya dapatkan pada try out, entah nilai itu naik atau turun. Saya senantiasa menjadikan nilai itu sebagai pemacu saya untuk belajar dengan lebih giat lagi. Berkat try out yang diadakan oleh bimbel pula lah saya lebih menguasai materi yang diajarkan di sekolah. Atas kuasa Tuhan YME, saya berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan di kelas 3 semester 1 dan setelah nilai siswa kelas 3 dirata-ratakan, saya masuk dalam 5 besar ranking paralel.
Tiba bulan Februari 2019. Saatnya pendaftaran SNMPTN. Setelah sempat ragu untuk memilih FKUI atau FK Unhas, akhirnya saya memilih untuk mendaftar di FKUI dengan persetujuan orang tua. Karena pengumuman SNMPTN ada di bulan Maret maka dalam kurun waktu tersebut saya berusaha untuk melupakan pendaftaran SNMPTN agar tidak merasa terbebani. Saya juga memutuskan fokus dalam pembelajaran UTBK serta UN. Pada saat itu, saya rasa bahwa berharap pada SNMPTN itu boleh, namun jangan juga terlalu berharap bahwa kita akan lulus yang justru membuat kita menjadi individu yang tidak produktif.
Hingga akhirnya 23 Maret 2019. Pengumuman SNMPTN direncanakan pukul 16.00 WITA. Malam sebelumnya, saya memutuskan untuk tidur lebih cepat agar tidak mengkhawatirkan hasilnya. Namun, setelah salat subuh, ketika mengecek HP, saya dikejutkan dengan pesan dari teman saya bahwa hasil SNMPTN sudah bisa dibuka sejak tadi malam. Saya pun langsung mengambil laptop dan mengecek hasilnya. Apapun hasilnya, saya pasrah. Saya mengatakan pada diri saya bahwa saya akan menerima apapun hasil yang muncul dan saya langsung memberanikan diri untuk membuka pengumuman. Ternyata, yang muncul adalah kotak berwarna hijau. Saya begitu bersyukur atas hal tersebut. Saya pun memberitahukan berita tersebut kepada beberapa sahabat saya. Mereka mengirimkan ucapan selamat, bahkan ada beberapa di antara mereka yang menelepon saya dan mengucapkan selamat secara langsung, meskipun waktu itu jam masih menunjukkan pukul 06.00 WITA. Saya memang sengaja hanya mengumumkan hal tersebut kepada teman dekat saya karena saya tahu bahwa pengumuman yang saya lihat tersebut belum resmi sehingga saya menunggu pengumuman yang sebenarnya pada pukul 15.00 WIB. Bahkan, saya saat itu juga belum memberi tahu orang tua saya. Namun, ternyata salah seorang sahabat saya mem-posting screenshoot kelulusan saya di insta story-nya. Ucapan selamat membanjiri media sosial saya. Karena masih tidak percaya bahwa saya lulus di FKUI, saya mematikan HP saya hingga waktu pengumuman. Ternyata, setelah membuka pengumuman, apa yang saya lihat di pagi hari adalah benar. Saya pun mengabari kedua orang tua saya bahwa saya lulus di FKUI dan juga membalas ucapan selamat yang saya dapatkan satu per satu.
Lalu, bagaimana cara belajar saya selama di sekolah? Jujur, saya bukan orang yang suka belajar tiap hari. Apabila ada ulangan, lebih optimal bagi saya untuk belajar 2/3 hari sebelum ulangan tersebut dibanding belajar H-1 minggu ataupun H-1 ulangan tersebut. Saya juga tipe yang tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Jika ada guru yang memberikan PR maka sebisa mungkin dijadikan PS (Pekerjaan Sekolah). Maksudnya, PR tersebut dikerjakan saat jam istirahat, jam kosong, ataupun jam pergantian guru agar tidak menumpuk di rumah. Hal ini bertujuan agar waktu di rumah dapat dimanfaatkan untuk mempelajari materi lain ataupun untuk memulihkan tenaga dengan beristirahat.
Menjadi mahasiswa FKUI bagi saya merupakan sebuah kebahagiaan dan kebanggaan. Akan tetapi, kesempatan untuk masuk di FKUI harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas pribadi, tanpa melupakan adanya tanggung jawab diri kita untuk menjaga nama baik universitas dan menjadi sivitas akademika yang dapat berkontribusi kepada masyarakat banyak.
Dengan masuknya saya ke FKUI, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada sejumlah pihak yang berkontribusi dalam berhasilnya saya menjadi mahasiswa baru FKUI. Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, khususnya ibu saya. Terima kasih telah menanamkan nilai-nilai moral yang saya pegang dengan teguh hingga saat ini. Terima kasih telah mendidik, mengerti, dan mengasihi saya. Kedua, saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman saya, baik teman-teman dari kelas IPA 1 maupun IPA 4. Untuk teman-teman kelas IPA 1, terima kasih telah menjadi bagian dari hidup saya selama 2 tahun. Dari kelas inilah saya mengenal sahabat-sahabat saya yang sampai sekarang kami masih sering berbagi tawa dan cita. Untuk teman-teman kelas IPA 4, terima kasih pula karena telah menerima saya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Terima kasih telah membuka diri dan memperbolehkan saya menjadi bagian dari kelas selain. Tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada guru-guru maupun tentor-tentor yang telah mendidik saya, khususnya guru-guru di SMA Negeri 17 Makassar juga tentor-tentor di tempat bimbel saya. Terima kasih telah membagikan ilmu kalian kepada saya dan membuat saya menjadi pribadi yang lebih teredukasi seperti saat ini.
Adapun dalam perjalanannya, menjadi mahasiswa FKUI tidaklah mudah. Akan ada banyak rintangan yang dihadapi sepanjang perjalanan. Harapan saya untuk 1 tahun ke depan adalah dapat bertransisi dari seorang siswa menjadi mahasiswa dengan sukses. Terkait dengan hal tersebut, saya berharap untuk memiliki banyak relasi dan juga dapat bergabung dengan organisasi yang sesuai dengan minat dan bakat saya. 3 tahun ke depan, saya berharap untuk dapat memperoleh IPK yang baik sehingga dapat lulus sebagai cumlaude. Saya juga berharap untuk telah mendapatkan beasiswa dan dapat merancang karya ilmiah yang inovatif sebagai syarat kelulusan. 5 tahun yang akan datang, harapan saya adalah dapat memperoleh banyak ilmu lewat kegiatan co-ass yang akan saya lakukan sehingga dapat memudahkan saya dalam menjalani UKMPPD dan mendapatkan izin untuk membuka praktek. Akhirnya, 10 tahun nanti, saya berharap agar saya sedang berproses menjadi seorang spesialis bedah, bahkan subspesialis toraks dan kardiovaskular. Tentunya, tujuan akhir saya, kurang lebih 20 tahun dari sekarang adalah menjadi seorang dokter yang mengabdi kepada masyarakat, khususnya mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan dalam bidang medis, seperti halnya mereka yang berada di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Selain itu, saya juga bertujuan untuk memajukan dunia medis melalui riset untuk menemukan obat bagi penyakit kronis yang belum ada obatnya.
Pesan saya bagi kalian yang ingin masuk FKUI adalah ketahui apa motivasi kalian ingin masuk di sini. Dengan demikian, apabila kalian kehilangan semangat atau merasa lelah, kalian akan teringat dan terpacu untuk meraih mimpi kalian berdasarkan motivasi tersebut. Tentunya, kalian tidak boleh lupa belajar dan yang terpenting, senantiasa berdosa kepada Tuhan YME dan mintalah restu dari orang tua kalian.
Akhir kata, saya akan memberikan sebuah kutipan yang senantiasa menginspirasi saya untuk mengejar cita-cita saya menjadi seorang dokter dan mengubah dunia medis menjadi lebih maju:
“Be the change that you wish to see in the world”
- Gandhi
Comments