Narasi perjuangan- Aurelia Demtari T
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 8 min read
Halo semuanya! Perkenalkan, nama saya Aurelia Demtari T, biasa dipanggil Aurel. Puji Tuhan saya diterima di fakultas kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur SBMPTN. Saya berasal dari SMA Negeri 5 Surabaya. Disini saya akan menceritakan kisah perjuangan saya masuk FKUI. Saya seorang anak tunggal. Yang merasakan menjadi anak tunggal tentu berpikiran sama dengan saya. Anak tunggal memiliki tantangan tersendiri. Semua impian dan cita-cita orang tua terbeban pada kami seorang. Pandangan orang lain tentang orang tua kami juga mempengaruhi pandangan terhadap kami. Sejak SMP dulu, mama sudah menginginkan saya menjadi dokter. Kenapa dokter? Karena dokter itu pekerjaan mulia. Allah sudah memilih orang-orang tertentu, salah satunya dokter untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya membantu orang-orang yang butuh pertolongan. Sejak kecil pun saya tidak punya cita-cita lain selain dokter. Sementara papa saya menyerahkan semua pilihan kepada saya. “Kamu beneran mau FK? Kalau mau FK, di Unair aja nanti satu almamater sama Mama”. Kira-kira begitu kata mama saya dulu. Di bangku SMA, saya mendapat tantangan baru, menjalani hari-hari tanpa orang tua. Mama saya bertugas ke luar kota, lebih tepatnya keluar pulau. Sementara papa saya memang sudah dari dulu bekerja di luar kota. Saya yang dulunya apa-apa mesti kesana kemari bersama mama kini semuanya serba harus mandiri. Untung saja ada sepupu saya yang menemani. Orang tua saya juga menyempatkan berkunjung paling tidak sebulan sekali. Sejak kelas 10 yang tertanam di pikiran saya “saya harus berjuang untuk FK Unair”, tidak sempat terlintas di benak saya sedikitpun tentang UI. Mungkin karena saya sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan Unair. Bukan sekali dua kali saya masuk dan melihat bangunan unair, dulu saya sering ikut mama saya berkeliling di area kampus unair. Bangunan yang paling saya ingat betul adalah LPT atau yang lebih dikenal ITD Unair. Sembari berkeliling mama saya pernah mengatakan “Semoga ini calon kampusmu nanti, nak” . Saya hanya mengiyakan sambil terus berusaha belajar keras untuk impian itu. Suatu ketika di kelas 11 semester 2 diadakan try out SBMPTN, saya dan beberapa teman kelas saya ingin mengikuti try out tersebut untuk melihat model soal SBMPTN nantinya. Mungkin terkesan terlalu ‘ngambis’ karena saat itu posisi kami juga baru kelas 11. Akan tetapi, kami memberanikan diri mendaftar try out tersebut. Saat itu, ada teman saya yang mendaftarkan kami semua. Saya ingat betul sebagai salah satu syarat pendaftaran kami diminta memasukkan 3 jurusan beserta universitas impian kami. Saya ingin mengisi pilihan 1 FK Unair, pilihan 2 FKG Unair. Akan tetapi, teman-teman saya yang lain mengisi 3 pilihan beserta universitas yang diinginkan. Saya berpikir keras harus mengisi apa lagi untuk pilihan ke-3. Saya tidak ada pikiran sama sekali untuk jurusan lain selain FK. Tiba-tiba saya terpikir untuk mengisi FK UI yang saat itu hanya sebatas angan-angan belaka yang sama sekali tidak pernah terbayangkan bagi saya untuk benar-benar menjadi pilihan di SBM nantinya. “Ya sudahlah, kalau begitu pilihan 1 FK UI, pilihan 2 FK Unair, pilihan 3 FKG Unair”, begitu kata saya pada teman saya yang mendaftarkan kami. Seminggu setelah try out tersebut, hasilnya keluar dan sangat mengecewakan bagi saya. Bahkan, FKG Unair pun saya tidak lolos. Untuk menghibur diri, saya berkata pada diri sendiri, “Namanya juga try out, kan sebagai percobaan. Setidaknya aku tahu posisiku dimana dan masih ada waktu yang panjang buat mempersiapkan diri tahun depan”. Rupanya try out ini tidak hanya sebatas try out biasa, melainkan sebuah turning point bagi saya. Saya mulai membayangkan bagaimana jika saya betul-betul masuk FKUI, bagaimana kehidupan sebagai mahasiswa di UI yang terkenal sebagai universitas terbaik di Indonesia. Beberapa minggu setelah itu, tepatnya awal kelas 12, saya mulai bercerita pada kedua orang tua saya, dimulai dari mama saya terlebih dahulu tentang try out ini hingga berujung pada rasa penasaran saya tentang bagaimana berkuliah di UI. Di kala itu, saya ingin orang tua saya juga membayangkan bagaimana kalau saya bisa berkuliah di FKUI. Mama saya terdiam untuk beberapa saat, kemudian menghela napas panjang dan mulai mengatakan pada saya “Nak, mama nggak mau kamu kecewa. Fokus saja pada hal yang sdh kamu impikan dari dulu, yang kita impikan dari dulu”. Satu kalimat yang membuat saya tidak bisa berkata-kata lagi. Demikian pula ketika saya bercerita kepada papa. Respon papa saya tidak jauh berbeda, bahkan lebih keras menolak. “Jangan lupakan tujuanmu apa, Unair aja sudah bagus kok. Mama sama Papa cuman punya kamu, siapa lagi yang bisa kami percayakan kalau bukan kamu.” Saya termenung, kemudian berpikir lagi. Memang sepertinya UI itu bukan impian saya selama ini, tapi hanya keinginan sesaat saja untuk pembuktian diri kalau saya mampu meraih UI. Setelah peristiwa itu, saya mulai fokus mempersiapkan kelas 12. Apapun universitasnya, masuk fakultas kedokteran manapun tetap tidak gampang. Saya daftar bimbel SBMPTN, belajar dari pagi sampai malam, weekend saya dihabiskan untuk mengerjakan tugas-tugas dan belajar, jam kosong saya gunakan untuk latihan soal. Jika ditanya apakah saya lelah? Jujur kadang saya merasa lelah, tapi saya tidak mau berhenti sampai di sini. Semester 2 kelas 12, saya ingin belajar lebih keras lagi. Setiap pagi, saya bangun jam 2 atau 2.30 untuk belajar. Seusai sekolah, saya masih ada bimbel sampai jam 8 malam. Itupun saya baru bisa benar-benar tidur jam 10.00 atau 10.30 setelah memastikan semua tugas terselesaikan dan saya sudah siap jika ada ulangan keesokan harinya. Tidak jarang, saya tertidur di kelas karena mengantuk. Saya berkali-kali ditegur guru karena kedapatan tidur di kelas saat jam pelajaran, khususnya PKN dan prakarya. Waktu berlalu hingga masa pendaftaran SNMPTN. Saya bersyukur sekali di sekolah saya terlebih dahulu didata untuk jurusan dan universitas yang diinginkan, baru kemudian diurutkan berdasarkan jumlah nilai kumulatif semester 1-5. Dengan demikian, siswa-siswanya dapat melihat posisi mereka untuk bersaing dengan teman-teman satu sekolah di jurusan dan universitas yang sama. Posisi saya di SNMPTN sangat tidak menguntungkan, untuk FK Unair, 10 besar ranking angkatan di sekolah saya kebanyakan memilih FK Unair sebagai pilihan pertama. Apalagi FK UI, standarnya pasti lebih tinggi. Saya sadar posisi saya saat itu tidak terlalu bagus. Apalagi posisi saya dari 40% siswa yang lolos SNM berada di urutan agak akhir. Namun ego saya tetap tidak mau memilih FKG. Saya pikir kalau SNM tidak memungkinkan, masih ada SBM. Daripada nanti saya lolos di jurusan dan kampus yang tidak saya inginkan, saya lebih baik berjuang lagi untuk apa yang benar-benar saya impikan dari dulu. Akhirnya SNMPTN saya nekat mengambil FK Unair sebagai pilihan pertama dan pilihan satu-satunya berdasarkan keinginan kedua orang tua saya, saya mengubur keinginan mendaftar UI yang sempat terlintas di benak saya. Dari awal saya sudah mempunyai firasat bahwa kemungkinan saya untuk lolos SNMPTN ini sangat kecil, jadi tidak usah terlalu berharap. Saya kemudian mendaftar UTBK gelombang pertama dan latihan soal-soal SBM setiap hari seperti biasanya. Hati kecil saya tetap ingin berkuliah di UI. Dalam masa penantian ini, papa saya mengatakan hal yang sama sekali tidak terduga, beliau ingin saya mengikuti jejaknya mengambil jurusan ilmu hukum, di Unair dan menjadi notaris. Saya bersikeras mengatakan bahwa sudah terlambat untuk pindah jurusan soshum, UTBK tinggal menghitung hari lagi. Dari hasil psikotes, baik di sekolah maupun di bimbel juga mengatakan saya lebih cenderung mempunyai minat di bidang medis. Selain itu, saya tidak mempunyai bayangan sama sekali untuk berkuliah di jurusan hukum. Untungnya, papa saya mengerti dan beliau mendukung saya untuk masuk fakultas kedokteran, namun masih belum setuju untuk di UI. Hari pengumuman SNMPTN, saat itu saya sudah bisa melihat hasil SNM di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Tepat sesuai dugaan, saya gagal SNMPTN 2019. Hal itu tidak membuat saya sedih, tetapi membuat saya semakin bersemangat untuk UTBK. Masa-masa persiapan UTBK, saya kembali berdialog dengan orang tua saya tentang pilihan SBMPTN nantinya, akan tetapi tetap tidak menemukan suatu kesepakatan. Orang tua saya hanya mengatakan bahwa saya harus meraih nilai terbaik, setelah itu baru tentukan universitas apa berdasarkan nilai saya. UTBK gelombang I dan II pun saya lewati. Dengan hasil yang saya peroleh, saya merasa nilai saya terkesan ‘nanggung’. Tidak aman, tapi masih dikategorikan ada peluang untuk FK UI, untuk FK Unair, peluangnya lebih terbuka dan lebih aman. Saya sempat terpikir, apa harus mencoba FK Unpad. Orang tua saya juga tampaknya mulai melunak tapi belum mengatakan secara gamblang persetujuan mereka. H-1 pendaftaran SBMPTN, mama saya hanya mengatakan dokter itu tidak pernah ditanya oleh pasiennya “Anda lulusan mana?”, tapi saya mengatakan pada mama saya “Pasien tidak perlu tahu dokter itu lulusan mana, yang pasien tahu kualitas dokter itu, hal Itu yang membuat pasien mau datang kembali ke dokter tersebut. Dan kualitas seorang dokter ditentukan oleh almamater dokter itu Ma, aku yakin dokter lulusan UI punya sesuatu ‘kualitas lebih’ dibanding lulusan lain” Seketika mama saya terdiam. Akhir kata mama dan papa saya mengatakan “pilihlah apa yang kamu mau, nak. Ambil sesuai cita-citamu”. Berbekal dari obrolan malam itu, saya memantapkan hati untuk memilih FK UI sebagai pilihan 1 dan FK UB sebagai pilihan 2. Saya tidak mau mengambil risiko dengan mengambil FK Unair sebagai pilihan 2, sesuai saran tentor bimbel saya. Tetapi, saya tetap mengambil mandiri FK Unair untuk cadangan. Saya berharap cemas, hari penantian merupakan hari-hari paling menegangkan. Saya berdoa dan meminta jawaban kepada Tuhan, tapi disisi lain saya berserah. Dalam hati saya, apabila Tuhan memang mengizinkan saya di UI, saya pasti bisa masuk UI, meskipun tampaknya peluangnya kecil. Sampai tiba saat pengumuman SBMPTN tanggal 9 Juli 2019 jam 3 sore. Saya memberanikan diri untuk membuka hasil SBMPTN saya sendiri. Saya sempat takut karena tidak melihat warna hijau ataupun merah. Hasilnya rupanya berwarna putih, “Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN LTMPT 2019 di Univeristas Indonesia prodi pendidikan dokter”. Puji Tuhan, makara hijau! Saya memberitahukan kedua orang tua saya yang kebetulan saat itu sedang bekerja. Mereka terharu, dan saya tahu pasti mereka senang dan bangga mendengar anaknya lulus fakultas kedokteran UI. Belakangan saya tahu, bahwa alasan mama saya terdiam saat saya mengatakan lulusan UI berbeda, lantaran di rumah sakit tempat mama saya bekerja, dulu ada dokter lulusan UI yang sedang internship, dan memang ia ‘berbeda’ dari dokter-dokter magang lulusan universitas lain. Mungkin itu yang menjadi salah satu alasan mama saya melunak. Universitas Indonesia selalu mencetak lulusan-lulusan yang kompeten dan mampu berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Harapan saya kedepannya, UI senantiasa mencetak lulusan putra-putri terbaik bangsa yang mampu bersaing dan mengabdi kepada masyarakat.
Perjuangan saya masuk Universitas Indonesia ini masih awal dari perjuangan panjang saya ke depan. Masih banyak tantangan-tantangan yang harus saya jalani. Target saya setahun ke depan, saya harus sudah beradaptasi dengan lingkungan UI, menemukan sahabat-sahabat di FKUI, mencoba ikut aktif dalam organisasi-organisasi yang ada, menggali potensi dan passion saya, serta mendapat IP yang bagus agar adik kelas saya bisa dipermudah untuk lolos SNMPTN di FKUI. Untuk tiga tahun ke depan, saya berada tingkat yang lebih tinggi, memfokuskan diri pada tugas akhir yang mendekati masa-masa meraih gelar S.Ked, mencari banyak sumber referensi untuk tugas akhir saya, mulai mempersiapkan diri memasuki tahap koass, saya juga ingin lulus cumlaude. Setelah itu, saya berharap dapat menjalankan masa internship di rumah sakit dan puskesmas dan menyalurkan ilmu yang saya pelajari. Sepuluh tahun kedepan, saya ingin kembali mengambil spesialis. saya tertarik untuk mengambil spesialis anak yang membantu pengobatan anak-anak di Indonesia. Saya ingin melayani pasien dengan baik dan dapat melaksanakan tanggung jawab penuh sebagai seorang dokter. Saya akan mengabdi pada masyarakat. Saya ingin menolong masyarakat yang membutuhkan bantuan, terutama yang kesulitan dalam hal biaya pengobatan. Saya ingin menjadi seperti tokoh yang saya idolakan selama ini, yang mau mengorbankan kenyamanan demi panggilan Tuhan untuk melayani, mama saya. Dua puluh tahun kedepan, saya ingin mengembangkan diri saya sebagai seorang dokter spesialis anak, saya ingin aktif menulis publikasi internasional, dan saya ingin memberikan pengobatan kepada anak-anak yang membutuhkan secara maksimal.
Pesan saya, semua orang tentu punya mimpi, atau bahkan angan-angan yang meskipun rasanya mustahil sekali. Saya pernah membaca suatu cerita, seorang malaikat bertanya pada Tuhan “Tuhan, siapa Panglima perang terbaik di masa ini?” kemudian Tuhan menunjuk seorang pemburu kijang dan berkata “Dialah orangnya”, malaikat itu terheran-heran lalu berkata “Mana mungkin, dia hanya seorang pemburu”. Kemudian Tuhan menjawab “ Dia bisa jadi panglima terhebat jika dia mau, sayangnya dia tidak memilih demikian”. Semua pilihan terletak pada kita, apakah kita memilih mengambil risiko dan mau berjuang lebih keras untuk mencapai impian kita atau tetap pada zona nyaman dan hanya berpangku tangan. Take the risk or lose the chance. Dan ingatlah bahwa hasil tidak akan membohongi usaha, namun usaha tanpa doa adalah sia-sia. Jadi usaha dan doa pada hakikatnya harus seimbang. Salam FKUI 2019!
Comments