NARASI PERJUANGAN – BRILLIANT BEAUTY ARTIKA PUTRI
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 8 min read
“When all the medical officers have retired for the night and silence and darkness have settled down upon those miles of prostrate sick, she may be observed alone, with a little lamp in her hand, making her solitary rounds.“ – The Times
Sepuluh tahun yang lalu, sepenggal tulisan itu menginspirasi seorang anak delapan tahun untuk hidup demi menolong orang lain. Siapa sangka tekad kecil yang digumamkannya dapat menjadi sebesar ini, sekarang?
Saya, Brilliant Beauty Artika Putri, dari SMA Negeri 28 Jakarta. Waktu saya masih kecil, saya memiliki banyak cita-cita. Presiden, ilmuwan, power rangers— cita-cita saya selalu saja berubah sesuai dengan apa yang baru saya baca atau tonton. Saya tidak pernah punya sebuah keinginan tetap untuk saya lakoni saat dewasa nanti, sampai saya menginjak bangku ketiga sekolah dasar. Di jam perpustakaan hari itu, saya membaca sebuah komik biografi yang tidak saya duga akan mengubah hidup saya. Sebuah komik tentang seorang malaikat pembawa lentera, Florence Nightingale, beserta dengan kisah hidupnya yang membuat saya memutuskan untuk terjun ke dunia kesehatan.
Memang saat SD dulu, saya senang sekali membaca komik-komik biografi para tokoh-tokoh hebat. Saya sudah membaca puluhan buku seri tokoh dunia terbitan Elex dan selalu meminjam buku itu setiap kali ada pelajaran perpustakaan, pelajaran di mana siswa diwajibkan untuk membaca dan meminjam buku di perpustakaan. Teman-teman saya lebih suka membaca novel fantasi dan sebagainya, seperti lima sekawan atau cerita tentang tikus dan kawannya, tetapi saya lebih senang membaca kisah hidup para ilmuwan serta tokoh-tokoh dunia yang namanya membekas di sejarah. Padahal awalnya saya hanya tidak sengaja mengambil buku biografi itu karena buku komik kartun yang saya ingin baca sudah diambil teman sekelas lain.
Tetap berbekas di ingatan saya, bagaimana saya yang berumur delapan tahun tidak mengenal siapa itu Florence Nightingale. Saya tahu Helen Keller, Marie Curie, Isadora Duncan, tetapi tidak dengan Florence. Ternyata, beliau adalah seorang bangsawan yang rela meninggalkan segala kemewahannya untuk terjun ke medan perang demi merawat para tentara. Lebih mengejutkannya lagi, Florence tidak pernah mendiskriminasi tentara negara mana yang dia tolong. Beliau juga yang mengubah rupa rumah sakit yang kotor dan penuh dengan potongan tubuh manusia menjadi bersih, serta menekankan betapa pentingnya kebersihan untuk menekan angka kematian pasien. Bagian favorit saya adalah di saat beliau dijuluki “The Lady with The Lamp” atau “Malaikat Pembawa Lentera” karena setiap malam Florence selalu berkeliling demi memastikan keadaan para prajurit satu persatu di tengah kegelapan sambil membawa sebuah lentera.
Julukan itulah yang menggugah hati seorang anak kecil untuk bisa menjadi sehebat Florence Nightingale. Semua yang dilakukannya tidak mudah, tetapi bahkan hanya dengan gambar sekalipun, saya yang berumur delapan tahun itu bisa merasakan bagaimana begitu banyak orang merasa terbantu dengan kebaikan Florence Nightingale. Melihat bagaimana orang-orang yang harusnya menderita dan mati bisa hidup dan merasakan harapan lagi, si kecil saya berpikir bahwa saya ingin menjadi sekuat dan sehebat itu.
Sejak saat itu, saya memiliki sebuah cita-cita tunggal. “Aku ingin jadi dokter!” itu yang saya katakan pada semua orang saat ditanya kalau sudah besar ingin jadi apa. Saya mulai ikut kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan, sebut saja dokter kecil dan palang merah, demi mengejar cita-cita saya. Akibat cita-cita itu juga saya jadi mengenal FKUI, fakultas kedokteran ternama dari Universitas Indonesia yang ternama pula, dengan sejarah panjang berawal dari STOVIA. Bagi saya, FKUI adalah sebuah wadah untuk menuntut ilmu kedokteran dan memoles diri agar dapat menjadi seorang dokter yang berkualitas. Meskipun ketika SMA, saya baru menyadari bahwa ternyata saya perlu menghadapi persaingan yang ketat untuk dapat bersekolah di sana.
Sudah tahu ketat, saya masih bersikeras untuk mengejar FKUI. Apalagi semenjak saya mengikuti kegiatan Open House FKUI tahun lalu. Berawal dari keisengan teman saya yang mengajak saya untuk menemaninya ikut Open House FKUI, saya jadi dapat melihat gambaran perkuliahan seperti apa yang saya mungkin dapatkan di kedokteran dan senang dengan semua proses itu. Sepulang dari Open House, saya langsung merasa sangat bersemangat. Entah kenapa, saya jadi ingin sekali menuntut ilmu di sana. Menjadi salah satu mahasiswa di fakultas kedokteran tertua dan juga membanggakan keluarga. Kadang saking kerasnya persaingan, saya jadi berpikir untuk menurunkan impian saya. Namun, dukungan kedua orangtua saya selalu membuat saya menyerah untuk putus asa dan saya dapat bangkit lagi mengejar cita.
Penyemangat saya untuk tetap belajar mengejar FKUI adalah mimpi saya juga. Saya ingin bisa terlibat dalam kegiatan palang merah, karena palang merah yang telah membesarkan saya dalam kegiatan berorganisasi semenjak saya SMP. Melihat bagaimana para kakak-kakak palang merah yang selalu siap menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan, melihat bagaimana mereka dapat menangani pasien dengan sangat tenang dan cekatan, menyaksikan bagaimana mereka melakukan itu semua di atas sumpah kemanusiaan, saya jadi ingin terlibat dalam palang merah sebagai tenaga profesional dan ikut andil dalam misi mereka.
Selain itu, kenyataan pahit bahwa saya harus kehilangan kakek saya karena minimnya tenaga medis di pedesaan membuat saya sadar, bahwa bagaimanapun juga saya harus bisa menjadi seorang dokter. Supaya, orang lain tidak lagi harus kehilangan orang yang mereka sayang hanya karena alasan ‘kekurangan tenaga medis’ seperti itu. Dan saya harus bisa masuk FKUI untuk bisa merajut semua mimpi dan cita-cita saya menjadi satu kesatuan yang utuh.
Saya tidak terlahir pintar, butuh banyak kerja keras dan juga pengalaman untuk saya berada di titik ini. Saya menghabiskan masa-masa SMP untuk belajar dan mengasah kemampuan berpikir saya, tidak jarang hanya tidur barang satu atau dua jam untuk memahami sebuah materi. Saat ulangan semester akhir tiba, saya sering nekat tidak tidur satu sampai dua hari untuk membaca dan latihan soal. Memang, tidak akan ada usaha yang mengkhianati hasil. Saya berhasil menaruh nama saya di antara peringkat sepuluh besar angkatan. Kemudian, karena merasa bahwa pola belajar itu dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, saya kembali menerapkan pola itu lagi di SMA hingga tubuh saya tidak bisa menahan dan akhirnya tumbang. Saya sakit dan harus terbaring di kasur dua minggu lamanya, menyadarkan saya bahwa bagaimanapun juga kesehatan harus tetap dijaga.
Setelah disadarkan oleh Tuhan dengan penyakit, saya baru memperbaiki pola belajar dan lebih mengutamakan kesehatan. Namun tetap saja, saya kadang masih suka memaksakan diri dan tidak akan berhenti belajar sampai paham dengan materi yang saya pelajari. Hanya saja, tidak sampai mengorbankan waktu tidur seperti dulu. Saya jadi lebih rajin mencatat dan membuat jadwal belajar yang lebih sistematis, mencicil pelajaran sejak jauh-jauh hari supaya tidak perlu belajar semalaman. Cara itu juga efektif menghasilkan hasil yang memuaskan, tanpa mengorbankan diri sendiri.
Usaha saya yang seperti itu, belum juga bisa menutupi rasa khawatir saya. Saya masih merasa semua usaha tidak cukup untuk saya bisa melanjutkan pendidikan di FKUI. Oleh karena itu, saat saya kelas 12, orangtua saya langsung mendaftarkan saya ke salah satu bimbel ternama dengan biaya yang cukup mahal. Saya terkejut dan tidak tega membebani orangtua saya dengan begitu banyak biaya, tetapi mereka selalu meminta saya untuk tidak memikirkannya dan fokus belajar. Saya paham betul, bahwa yang sedang berjuang kala itu tidak hanya saya sendiri.
Dengan bimbel itu, saya harus rela berangkat jam lima pagi dan pulang jam delapan malam. Tiga kali seminggu, terhitung bulan Juli tahun lalu sampai Januari awal tahun ini. Jadwal bimbel pun semakin parah setelah UTBK mendekat dan saya diwajibkan untuk menjalani bimbel tambahan sampai jam sepuluh malam. Jadi selama tiga hari seminggu, saya berangkat jam lima pagi dan pulang jam sepuluh malam. Dua hari lainnya saya habiskan untuk belajar di bimbel pula sampai jam lima sore. Benar-benar menguras fisik dan pikiran. Meskipun begitu, saya selalu datang dan melakukan semuanya sambil memikirkan kedua orangtua saya yang juga sedang berjuang untuk membiayai saya sampai sejauh itu.
Februari awal, saya mendapat kabar bahwa saya adalah salah satu siswa yang beruntung mendapatkan kesempatan mendaftar undangan. Saya senang, tentu saja, tetapi selalu berusaha mengingatkan diri bahwa SNMPTN seperti permainan gambling yang memiliki presentase 50-50 di setiap kemungkinannya. “Tidak boleh mengharapkan SNMPTN!” saya merapalkan kalimat itu berkali-kali sambil diam-diam mengharapkannya juga. Akhirnya saat pilihan SNMPTN telah dikirim, saya mencoba untuk menabahkan hati dan bersiap untuk kecewa kembali. Kenapa? Karena seumur hidup saya, setiap saya mencoba permainan gambling atau apapun yang membutuhkan keberuntungan, saya tidak pernah memenangkannya. Jadi, sudah pasti kali ini akan berakhir seperti itu juga.
Satu bulan pun saya lewati dengan perasaan kadang cemas, kadang ikhlas. Tibalah hari yang ditunggu, tanggal 22 Maret 2019, semua orang heboh menantikan pengumuman SNMPTN. Saya masih ingat betul, katanya pengumuman baru bisa diakses pukul 13.00, tetapi saat pukul 10.00 teman saya sudah bisa membuka hasil SNMPTN miliknya. Harusnya saya tidak masuk hari ini, pikir saya waktu itu ketika melihat semua orang histeris menanyakan kabar SNMPTN. Saya sudah bertekad untuk membuka milik saya tepat jam 13.00, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, tetapi teman saya membujuk saya untuk membuka sesegera mungkin. “Pasti lulus!” kata teman saya yang sudah lebih dulu mendapatkan layar hijau dengan tulisan teknik kimia terpampang jelas.
“Gak mau, takut!”
“Ya, makanya liat dulu! Sini diketikkin!”
“Dih, gak mau! Nanti aja!”
“Sekarang aja, gak ada bedanya!”
Kemudian saya menyerahkan nomor pendaftaran dan tanggal lahir ke teman saya tersebut. Dia dengan gesit mengetikkan kedua informasi tersebut dan menghitung satu sampai tiga sebelum menekan tombol submit. Saya yang berdiri di sampingnya bisa apa? Menutup mata saya dengan jari-jari tangan yang merenggang, mencoba memberanikan diri menghadapi kenyataan di tengah ketakutan. Sampai layar putih itu berganti…. Menjadi warna hijau.
“Astaga, Tuhan?” ekspresi yang pertama kali muncul di pikiran saya. Tidak bisa berkata-kata, terlalu tidak percaya apa yang saya lihat waktu itu. Saya hanya diam melihat pengumuman itu sambil mendapatkan sorak-sorai dan ucapan selamat dari semua teman sekelas. Bahkan teman-teman saya dari kelas lain juga datang dan mengucapkan selamat, sedangkan saya hanya bisa menangis saking terkejutnya. Gambling pertama saya yang saya menangkan, mungkin akan menjadi gambling terakhir juga. Semua perjuangan dan doa yang saya panjatkan, meskipun saya berusaha untuk tidak memikirkannya, ternyata dijawab oleh Tuhan. Benar-benar lebih dari sekadar senang ketika melihat layar hijau dengan ucapan selamat kala itu.
Dengan pengumuman waktu itu, saya jadi mulai membayangkan banyak hal. Mungkin, masih akan ada banyak hal berat dan perjuangan lain yang menanti saya, tetapi saya berharap dapat menyelesaikan mereka semua dengan segenap usaha saya dan penyertaan Tuhan. Saya berharap, dengan menjadi mahasiswa FKUI, saya bisa menuntut ilmu kedokteran dan menjadi dokter yang saya idam-idamkan. Saya ingin menggenapi cita-cita saya, menjadi penolong seperti Florence Nightingale dengan cara saya sendiri. Saya juga berharap agar FKUI 2019 bisa menjadi sebuah keluarga yang utuh, karena pada akhirnya kita semua akan bahu membahu untuk menyelesaikan misi kemanusiaan ini!
Jika sudah berharap, sekarang saatnya merencanakan. Satu tahun ke depan, saya akan mencoba untuk keluar dari zona nyaman saya dan lebih aktif lagi dalam berorganisasi, kalau bisa dalam skala yang lebih besar daripada yang saya alami saat SMA. Saya juga akan berusaha untuk meningkatkan kemampuan public speaking dan kembali memupuk rasa percaya diri untuk berbicara di depan banyak orang setelah trauma. Saya juga ingin tahun depan sudah bisa mengoperasikan aplikasi desain yang telah saya tekuni beberapa waktu ini dengan lebih baik. Kemudian, tiga tahun ke depan.. Saya harusnya sudah mulai memikirkan judul skripsi. Saya juga ingin ikut dan aktif dalam beberapa acara kemanusiaan dan saya ingin bisa menyelesaikan skripsi dan kuliah saya dengan baik bila waktunya tiba!
Sepuluh tahun ke depan? Saya sudah berumur 28 tahun. Entahlah sudah menikah atau belum, tapi saya berencana untuk memiliki anjing sendiri. Saya ingin di umur saya yang cukup matang itu, saya ingin sudah termasuk dalam anggota palang merah atau organisasi kemanusiaan lainnya. Saya mungkin juga telah menempuh pendidikan spelialis, entah apa yang saya ambil, saya masih bimbang dalam menentukan pilihan. Namun saya harap, keberadaan saya saat itu sudah bisa membantu banyak orang. Lalu, melompat untuk 20 tahun ke depan… 38 tahun? Saya sudah memiliki keluarga kecil. Saya sudah pernah ikut palang merah ke daerah bencana atau bahkan medan perang. Saya berencana memiliki rumah sakit atau klinik yang sudah bisa saya tinggal pengelolaannya, sehingga saya kerap kali berkeliling Indonesia untuk mengobati masyarakat. Saya berencana untuk mengabdi pada bangsa, setelah anak-anak saya dewasa dan dapat saya tinggal.
Sekarang, untuk siapapun yang berniat masuk ke FKUI, ketahuilah bahwa perjalanan yang akan ditempuh tidaklah mudah. Untuk masuk FKUI saja merupakan hal yang sulit, apalagi jika sudah berada di dalam dan suatu saat berada di luarnya. Namun, sulit bukan berarti mustahil. Jadi, jangan mudah menyerah dan teruslah berusaha untuk mencapai apa yang kalian cita-citakan. Toh, semua hal yang kalian miliki saat ini bermula dari mimpi? Jangan takut untuk berusaha, jangan takut untuk mencoba, dan jangan takut untuk gagal! Jangan memaksakan diri terlalu jauh juga, istirahat dan kadang memang letih kita hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan. Tetap berusaha dan berdoa, jangan tinggalkan ibadah.
Banyak sekali kutipan yang saya ingin sampaikan, sebenarnya, tetapi mari membuatnya menjadi lebih singkat. Pertama, usaha keras itu tak akan mengkhianati. Jadi percayalah bahwa apapun yang kamu lakukan sekarang, akan berdampak suatu hari nanti. Lalu yang kedua, Tuhan mengetahui apa yang terbaik buat kamu. Jadi, meskipun kadang rencana manusia tidak sesuai dengan rencana-Nya, yakinlah bahwa rencana-Nya akan jauh lebih indah. Lantas, kutipan yang terakhir akan menjadi…
“Live life when you have it. Life is a splendid gift – there is nothing small about it.”
- Florence Nightingale.
Comments