NARASI PERJUANGAN -- CORNELIA YASMIN GUNAWAN
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 8 min read
Keringat mengalir menuruni sisi wajahku. Kaki nampak tak kunjung berhenti bergerak ‘menjahit’ seirama dengan detak jantung dalam dadaku. Gelisah. Takut. Cemas.
Kugenggam tetikus dengan tangan kananku dan kuarahkan kursorku ke atas tombol “Cari” pada laman yang sudah dua puluh menit terakhir kutatap dengan kedua mataku.
“Tidak,” kugelengkan kepalaku. ‘Belum siap,’ pikirku dalam hati. Tidak sampai 10 detik setelahnya, kutemukan diriku telah meraih ponselku dan menelpon salah satu teman baikku.
Butuh delapan dering sebelum temanku menerima panggilanku; delapan dering yang saat itu terasa seperti delapan menit. “Kenapa, Min?” tanya temanku tanpa sapaan sama sekali. Sepertinya ia telah terbiasa kuhubungi saat aku merasa gundah sampai-sampai ia hafal. Aku jelaskanlah perasaan yang telah menghantuiku sejak kemarin malam; segala kecemasan dan ketakutan yang membuatku terjaga sampai pukul empat subuh; segala pikiran buruk yang berusaha aku pindahkan ke belakang kepalaku.
Argumen bolak-balik terlontar dari mulut kita berdua. Aku yang enggan untuk menekan satu buah tombol yang menjadi penentu apakah aku akan kuliah tahun ini atau apakah aku akan terpaksa menganggur selama satu tahun; sendirian sementara teman-temanku lanjut menimba ilmu di universitas idaman mereka masing-masing; dan dia yang bersikeras menyuruhku untuk secepatnya mencari tahu hal yang aku takutkan di atas.
Ya, SIMAK KKI adalah jalur terakhir yang menjadi harapan saya untuk dapat menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jujur saja, rasa takut ini berhulu pada ketidakmauan saya melihat raut wajah kedua orangtua saya ketika saya memberitakan bahwa saya tidak lulus tes masuk, baik pada SNMPTN, SBMPTN, maupun SIMAK UI. Jutaan rupiah telah mereka keluarkan demi mempersiapkan diri saya untuk dapat diterima di universitas yang telah saya dambakan sejak saya duduk di kelas 3 SMP. Tidak enak rasanya jika segala uang les dan uang pendaftaran yang telah dikeluarkan berakhir dengan diri saya masuk fakultas kedokteran salah satu universitas swasta yang tentunya membutuhkan pengeluaran yang jauh lebih banyak lagi.
Tahun 2019 bukanlah tahun yang baik bagi saya. Berbagai hal tidak mengenakkan terjadi bahkan sejak awal tahun; di mana salah satunya meninggalkan luka yang sebenarnya sampai sekarang belum seratus persen pulih; luka yang membuat saya tidak mampu untuk belajar dengan fokus sejak kejadian itu terjadi; sejak Desember 2018.
Sangat sulit untuk mengesampingkan kejadian tersebut ke pojok pikiran saya dan menggantinya dengan pelajaran yang akan diujikan; walaupun, saya tahu betul bahwa tanpa belajar, saya tidak akan dapat kuliah tahun ini. Setelah berjuang berbulan-bulan melawan diri sendiri, Juni menjadi bulan pertama di mana saya mulai membuka buku pelajaran kembali. Walau demikian, performa saya sama sekali tidak memuaskan. Saya yang biasanya dapat duduk diam dan fokus memahami materi sampai lima jam tanpa henti hanya dapat melewati lima belas menit tanpa meraih ponsel saya. Suatu kemajuan memang, namun bukan kemajuan yang cukup jika saya memang mau melanjutkan studiku di universitas terbaik di Indonesia.
Perjuangan setengah hati tersebut berlanjut sampai tanggal 9 Juli datang. Yak, tanggal pengumuman SBMPTN. Begitu terkejutnya diri saya ketika mendapat kabar bahwa banyak sekali dari siswa sekolah saya yang diterima di universitas dambaan mereka. Ajaib. Angkatan saya, angkatan tahun 2016, mencetak lebih dari enam kali lebih banyak siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri dibandingkan dengan angkatan di atas saya. Saya masih teringat dengan perasaan bangga dan euphoria yang menyelimuti saya ketika mendengar berita tersebut; dan kedua perasaan itulah yang membangkitkan kembali semangat saya yang sempat hilang. Jika saya merasa sesenang ini ketika teman saya berhasil, tak terbayang rasanya ketika saya sendiri yang berhasil; dan sejujurnya, saya penasaran.
Aku tata stabilo-stabiloku dan aku buka bukuku. Aku duduk dan mulai belajar. Begitulah bagaimana aku menghabiskan lima hari ke depannya. Tenang, fokus, dan bahagia; seperti bagaimana aku biasanya merasa ketika aku sedang belajar.
Setelah dua puluh lima menit penuh argumentasi, aku pun menyerah ketika temanku berkata, “Kamu buka pengumuman itu sekarang atau nanti tidak ada bedanya, kamu hanya menunda, Yasmin.” Akhirnya, aku tekanlah tombol yang sudah sekian lama aku hindari.
Dan, tangisan pun datang. Tangisan bercampur tawa lebih tepatnya. Aku teriakkan bahwa aku diterima dan temanku langsung menjerit. Bahagia. Aku benar-benar bahagia. Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, senyumanku tetap tinggal di wajahku sampai aku terlelap.
Ternyata, tidak sia-sia persiapan saya sejak kelas 1 SMA untuk memenuhi kelengkapan yang dibutuhkan menjadi mahasiswa Kelas Khusus Internasional Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya ingat betul semangatku ketika mengetahui bahwa Universitas Indonesia menyediakan program Pendidikan Dokter dengan gelar ganda. Tidak sampai sebulan setelah saya menerima informasi tersebut, saya sudah terduduk di kelas persiapan TOEFL di salah satu bimbingan tes yang berjarak 45 menit dari rumah. Di bulan yang sama pula, saya menyempatkan diri untuk mengikuti tes buta warna. Hal ini saya lakukan jauh-jauh hari agar saya benar-benar yakin bahwa saya dapat mengambil program studi Pendidikan Dokter karena setahun sebelumnya, teman saya yang tiga tahun lebih tua dari saya baru mengetahui bahwa ia menderita buta warna parsial tiga bulan sebelum SBMPTN; dan saya tidak mau hal yang sama terjadi pada saya. Puji Tuhan, kedua mata saya baik-baik saja.
Nama saya Cornelia Yasmin Gunawan dari SMA Tarakanita Gading Serpong dan menjadi dokter memang sesuatu yang sudah saya inginkan sejak saya kecil, namun saya tidak pernah benar-benar serius dalam mewujudkannya sampai sesuatu terjadi di tahun 2016. Pada tahun tersebut, kakek saya datang ke Tangerang, ke tempat tinggal saya, untuk menerima pengobatan untuk benjolan pada lehernya yang saat itu masih sebesar buah anggur. Karena mendapat informasi bahwa benjolan tersebut tidak perlu dikhawatirkan, kakek saya pulang ke Malang dengan obatnya. Enam bulan kemudian, beliau menelpon Ayah, mengeluhkan mengenai leher beliau yang tambah sakit. Ayah saya pun meminta Kakek untuk kembali ke Tangerang, namun kali ini Ayah mencari dokter terbaik dalam bidangnya agar kali ini Kakek bisa mendapatkan diagnosis yang tepat. Karena terkenal hebat, Kakek harus menunggu sekitar tiga bulan sebelum bertemu dengan dokter ini dan dalam tiga bulan ini pula, ditambah dengan enam bulan yang Kakek habiskan di Malang, benjolan sebesar buah anggur itu sudah berubah menjadi sebesar bola tenis.
Di saat itu, saya kecewa sekaligus marah. Saya tidak mengerti mengapa hanya ada segelintir dokter yang benar-benar berkualitas dan untuk dapat membuat janji dengan dokter-dokter tersebut, butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya dapat bertemu. Saya marah, tapi saya tidak tahu kepada siapa; dan di saat itu pun, saya memutuskan untuk menjadikan diri saya sendiri salah satu dari segelintir dokter berkualitas tersebut. Kemudian saya berpikir, di mana lagi tempat yang lebih baik untuk mengasah diri menjadi dokter yang berkualitas daripada di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia?
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia terkenal sebagai fakultas kedokteran terbaik di Indonesia yang melahirkan alumni-alumni yang berkualitas. Dan bagi saya, keberadaan Kelas Khusus Internasional Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia merupakan sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Buat apa tanggung-tanggung ketika sudah memutuskan untuk belajar di Universitas Indonesia? Satu tahun yang akan dihabiskan di negeri orang tentunya akan menambah pengalaman serta wawasan bagi para mahasiswanya; dan saya yakin, enam setengah tahun yang akan saya hadapi ini akan mengasah saya menjadi dokter yang berguna bagi masyarakat; dokter yang hebat; dokter yang berkualitas, persis seperti yang saya inginkan.
Saya ingin sekali FKUI angkatan 2019 menjadi angkatan yang mengejutkan orang banyak, sebagaimana angkatan 2016 sekolah saya mengejutkan para guru kami dengan jumlah siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri. Saya ingin selama enam setengah tahun yang akan kita habiskan bersama menjadi enam setengah tahun terbaik dari hidup kami, di mana kami saling mendekatkan diri satu sama lain membentuk suatu persekutuan yang solid. Saya ingin FKUI angkatan 2019 menjadi dokter-dokter yang berintegritas; yang jujur, berkomitmen, dan beramanah; dan saya tahu, bahwa untuk mencapai integritas satu angkatan, saya harus memulai dengan diri saya sendiri.
Saya harap asumsi saya bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah tempat terbaik untuk mengasah diri menjadi dokter benar buktinya. Saya sadar bahwa bahkan di tahun 2019 ini, masih banyak orang yang sebenarnya membutuhkan dan mendambakan kesehatan namun tidak memiliki kesempatan untuk mendaptkannya. Saya harap, dengan bimbingan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya dapat sukses menyumbangkan dua tangan dan satu hati untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan mendambakan kesehatan ini.
Sebagian besar anggota dalam keluarga besar saya memilih untuk berkarir di bidang ekonomi dan hukum. Walaupun begitu, ada beberapa dari kami, termasuk ibu saya, yang sebenarnya ingin berkarir di bidang medis namun tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, mereka sangat senang, bangga, dan antusias ketika mengetahui bahwa saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; ketika mengetahui bahwa akhirnya ada anggota dari keluarga besar kami yang berkarir menjadi dokter. Saya sangat berharap rasa bangga yang mereka rasakan tidak berhenti sampai di sini saja. Saya harap ke depannya, saya mampu untuk meraih banyak prestasi dalam bidang medis yang akan mencatat sejarah keluarga kami. Dan saya harap pula, saya adalah awal dari garis keluarga yang melahirkan dokter-dokter yang dapat menanggulangi masalah kesehatan yang ada dalam masyarakat di Indonesia, atau mungkin jika Tuhan berkenan, di dunia.
Untuk mencapai harapan-harapan yang saya tuturkan di atas, tentu diperlukan rencana yang konkret. Oleh karena itu, saya sudah menyusun rencana untuk satu tahun, tiga tahun, sepuluh tahun, dan dua puluh tahun ke depan.
Dalam satu tahun ini, saya berencana untuk memperluas pergaulan saya. Saya bukanlah orang yang sangat mudah bergaul; yang banyak omong. Tetapi, saya sadar bahwa untuk menjadi dokter yang baik, dibutuhkan koneksi yang luas. Di samping itu, saya juga berencana untuk memulai kehidupan perkuliahan saya dengan mendapatkan nilai yang baik, yang saya yakin nantinya akan memotivasi saya untuk memperoleh nilai yang lebih baik lagi. Saya tidak ingin sudah berkecil hati di depan karena ketika saya kehilangan kepercayaan terhadap diri saya sendiri, performa saya cenderung menurun; dan tentunya awal yang buruk akan berdampak buruk bagi kehidupan perkuliahan saya ke depannya.
Tiga tahun yang akan datang, saya berharap nilai yang telah saya capai cukup untuk menjadikan saya salah satu dari sepuluh mahasiswa Kelas Khusus Internasional Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Newcastle pada tahun ke-4 dan langsung memperoleh gelar master. Namun, apabila ternyata nilai saya tidak mencukupi, saya harap saya di tiga tahun yang akan datang sudah cukup dewasa untuk dapat menerima kabar tersebut dengan lapang dada dan tetap percaya akan diri saya sendiri dan kemampuan saya; bukan malah menyalahkan diri saya dan bersedih.
Untuk sepuluh tahun yang akan datang, harapannya saya sudah menyelesaikan studi spesialis saya. Untuk saat ini, saya belum benar-benar yakin spesialisasi apa yang hendak saya ambil, tetapi ada satu spesialisasi yang menarik perhatian saya, yaitu Spesialis Kulit dan Kelamin.
Sejak kecil, saya sudah bermasalah dengan kulit saya sendiri. Dua hal yang sempat mengganggu saya adalah jerawat dan eksim. Pada saat saya berusia delapan tahun, saat saya duduk di kelas 4 SD, saya pertama kali menstruasi; dan di saat itu pula, tiba-tiba, wajah saya dipenuhi dengan jerawat. Cystic acne memenuhi kedua pipi serta dahi saya dan menjadi orang pertama yang mengalami hal tersebut di kelas bukanlah hal yang mudah. Teman-teman menjadikan jerawat saya bahan candaan dan kepercayaan diri saya menurun drastis.
Melihat ke belakang, hal tersebut bukanlah hal yang besar maupun berarti. Akan tetapi, untuk seseorang yang berumur delapan tahun, omongan orang-orang sangatlah berpengaruh terhadap karisma dan tumbuh kembang mental saya. Menurut saya, perihal kulit sangat berpengaruh terhadap kepercayaan diri dan kesehatan mental seseorang karena ketika seseorang mempresentasikan diri dia di depan umum, kulit sebagai organ terluar manusialah yang pertama kali dilihat oleh orang lain.
Untuk dua puluh tahun yang akan datang, harapannya saya sudah sukses menjadi dokter SpKK dan mampu mengembalikan kesehatan serta rasa percaya diri pasien saya. Saya harap pula, dua puluh tahun yang akan datang, saya sudah mampu memberikan masa tua yang indah kepada kedua orangtua saya; menjauhkan mereka dari masalah finansial tanpa mengurangi banyaknya waktu yang saya habiskan bersama mereka berdua dan kedua saudara saya.
Bagi kalian yang berkeinginan melanjutkan studi di Universitas Indonesia, langkah pertama yang ingin kalian lakukan adalah untuk tetap yakin bahwa kalian mampu masuk dan menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Tentunya, keyakinan ini harus disertai dengan tekad dan semangat yang tinggi. Ketahuilah bahwa masuk Universitas Indonesia bukanlah hal yang mudah dan butuh kerja keras. Jadi, persiapkanlah pikiran kalian untuk belajar dengan intensif dan fisik kalian agar tidak sakit menjelang atau bahkan bertepatan dengan hari seleksi.
Satu hal yang saya amati banyak terjadi terhadap teman-teman saya adalah mereka sudah takut sebelum mencoba untuk masuk Universitas Indonesia. Padahal, sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang mumpuni. Lebih baik kalian menyesal karena telah melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak melakukan sesuatu.
Nama saya Cornelia Yasmin Gunawan; dan saya siap menghabiskan sisa hidup saya dengan belajar.
Comments