NARASI PERJUANGAN -- FIORIN KUSUMA WARDHANI
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 8 min read
Halo semua! Ada ungkapan yang setiap orang tahu, yaitu kalau tak kenal, maka tak sayang. Oleh karena itu, sebelum saya bercerita, saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Fiorin Kusuma Wardhani dan biasanya dipanggil dengan nama Fiorin. Saya lahir di Jakarta, 21 November 2001. Saya tidak memiliki saudara kandung yang berarti saya merupakan anak tunggal. Selama 17 tahun ini, saya sudah menempuh pendidikan di SDS Tunas Muda IKKT, SMPN 111, SMAN 78, dan sekarang saya lanjut di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dokter merupakan cita-cita saya sejak kecil. Di usia 5 tahun, ketika saya ditanya saat besar ingin jadi apa, saya selalu menjawab ingin menjadi dokter. Saya masih tidak menyangka cita-cita saya itu bisa saya buat jadi kenyataan, bahkan kenyataannya lebih dari yang saya harapkan. Ketika saya masuk SMA, saya mulai bertanya-tanya universitas mana yang akan membantu saya untuk menjadi dokter di masa depan. FKUI tidak pernah terpikirkan oleh saya. Saat tur kampus UI bersama guru dan teman-teman saya, saya tidak bisa membayangkan diri saya berada di kampus yang identik dengan warna kuning itu. Kenapa? Karena saya merasa tidak terlalu pintar untuk bisa masuk ke FKUI yang sangat terkenal dengan mahasiswanya yang sangat pintar. Saya pikir level FKUI terlalu tinggi untuk seseorang seperti saya. Bahkan, banyak yang bilang kalau masuk ke FKUI akan selalu sibuk belajar tidak ada waktu main-main atau mengerjakan hal lain. Pandangan saya terhadap FKUI jadi semakin tinggi dan harapan saya untuk masuk juga semakin jauh. Di mata saya, FKUI adalah tempat yang tidak akan saya dapat karena tingkat persaingannya yang juga sangat ketat.
Sejak awal masuk SMA, saya terus ditanya oleh keluarga dan teman-teman ingin lanjut kuliah kemana dan selalu saya jawab “liat nanti, ikutin alurnya aja”. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tidak pernah terpikirkan masuk FKUI. Selama SMA saya seperti para pelajar yang lain. Belajar, les, main, bahkan mungkin saya kebanyakan main dibanding belajar. “Masa SMA harus dinikmati”, kalimat itu selalu saya pegang, jadi saya santai saja dalam belajar. Nilai bagus alhamdulillah, nilai jelek tinggal remed. Namun, semuanya berubah ketika saya tahu kalau SNMPTN bisa didapat berdasarkan nilai dari kelas 10. Saya yang tadinya tidak terlalu berusaha mendapat nilai bagus, jadi berusaha sekuat tenaga. Saat itu, saya masih tidak tahu ingin masuk kemana. Intinya nilai bagus, dapet kuota SNMPTN, pilih PTN dan fakultas yang saya mau, dan akhirnya berhasil masuk. Banyak teman saya yang sudah bertekad akan masuk ke FKUI, sedangkan tekad saya masih seputar nilai SMA bagus.
Akhirnya di kelas 12, pikiran saya mulai terbuka. Melihat nilai-nilai saya, keraguan mulai muncul dalam diri saya. Nilai saya tidak sebagus nilai kakak kelas saya yang berhasil masuk FKUI jalur SNMPTN. Saya semakin pesimis untuk masuk ke FKUI. Pengumuman kuota SNMPTN keluar dan saya berhasil mendapatkan kuota. Tentu saja saya tidak ingin menyia-nyiakan kuota yang sudah didapat. Banyak orang yang ingin berada di posisi saya. Awalnya, saya mau cari aman. Saya memilih fakultas dan PTN yang kata guru saya sudah pasti berhasil masuk dengan nilai saya. Tentunya bukan FK. Ketika saya bilang ke keluarga saya kalau tidak jadi pilih FK, mereka kecewa. Mereka mencoba membuat saya yakin bahwa saya mampu mendapatkan FK. Saya adalah orang yang takut untuk mengambil risiko dan kuota ini hanya bisa didapat sekali seumur hidup. Memang masih ada UTBK dan jalur mandiri lain, namun saya takut tidak mampu belajar untuk ujian-ujian tersebut. Pada akhirnya, saya mencoba mengambil risiko. Saya mengikuti kemauan orang tua saya untuk memilih FKUI sebagai pilihan pertama dan FK UPNVJ sebagai pilihan kedua.
Setelah mendaftarkan kedua pilihan itu, saya mencoba melupakan semua hal tentang SNMPTN. Saya fokus belajar untuk UN dan USBN yang akan datang. Saya juga belajar UTBK untuk jaga-jaga kalau tidak diterima. Orang-orang sekeliling saya sangat yakin saya diterima nanti di FKUI, tapi diri saya sendiri tidak yakin. Saingan saya banyak dan mereka lebih pintar dari saya. Setiap hari saya berdoa agar muncul keajaiban saya benar-benar diterima. Saat hari pengumuman, saya tidak berniat cek nama saya diterima atau tidak di website SNMPTN. Saya tidak berani melihat realita yang akan saya dapat. Beberapa kali ragu membuka pengumuman, akhirnya saya mengecek dan hasil yg muncul membuat saya membeku. Saya berhasil diterima di FKUI. Air mata saya keluar deras tidak menyangka keajaiban benar-benar muncul. Orang tua saya menangis bersama saya. Anak mereka satu-satunya berhasil diterima di fakultas dan PTN impian banyak orang. Ucapan selamat terus bermunculan di akun media sosial saya. Saking tidak percayanya saya, website pengumuman terus saya refresh untuk memastikan tulisannya tidak berubah. Bahkan, sampai sekarang saya masih merasa kenyataan ini semuanya adalah mimpi dan di saat nanti saya bangun kenyataan sesungguhnya akan muncul.
Masuknya saya di FKUI merupakan tanda bahwa saya sudah selangkah maju mendekati impian saya menjadi dokter. Tidak ada kata mudah dalam perjuangan menjadi seorang dokter. Banyak hal yang harus dikorbankan. Saya yakin setiap mahasiswa ingin lulus cumlaude, begitulah harapan saya. Namun, menjadi seorang dokter yang hebat tidak hanya butuh kemampuan otak yang bagus, berbagai soft skill, kepribadian, dan komunikasi yang baik juga dibutuhkan saat berhubungan dengan pasien. Harapan saya selama menempuh pendidikan di FKUI saya bisa menjadikan FKUI sebagai wadah perkembangan diri saya menjadi pribadi yang baik agar ke depannya saya bisa menjadi seorang dokter yang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia maupun dunia.
Keberhasilan saya masuk ke FKUI tidak lepas dari dukungan keluarga tercinta saya. Semua doa dan dukungan dari mereka menuntun saya menuju tempat saya saat ini. Cerita ini tidak akan selesai jika saya membahas tentang betapa bersyukurnya saya mempunyai keluarga yang selalu mendukung keputusan saya. Keputusan saya untuk masuk ke kedokteran tidak hanya karena ingin menolong masyarakat di bidang kesehatan, tetapi juga untuk membanggakan keluarga. Pekerjaan kedua orang tua saya dan keluarga besar saya mayoritas bergerak di bidang kesehatan, namun di antara mereka tidak ada yang menjadi dokter. Munculnya saya membuat mereka berharap besar. Saya tidak pernah merasa terbebani, semuanya saya jadikan motivasi. Saya selalu berharap bisa menjadi kebanggaan dalam keluarga besar saya, terutama kebanggaan bagi orang tua saya sendiri. Perjuangan yang saya lakukan dari awal menempuh pendidikan di sekolah dasar sampai saat ini semuanya demi keluarga saya dan semua hasil yang saya dapatkan selalu saya dedikasikan pada keluarga.
Jika ada yang bertanya kepada saya, “kenapa ingin menjadi dokter?” Saya akan menjawab, “saya ingin menolong orang”. Jawaban yang biasa tapi berarti tidak biasa bagi diri saya. Pada zaman modern ini, banyak orang mulai tidak peduli terhadap orang lain. Mereka hanya memedulikan diri sendiri. Seorang dokter sejati tidak bisa seperti itu. Seorang dokter mengorbankan waktu dan kehidupannya untuk menyelamatkan kehidupan orang lain. Di saat seseorang berada di ambang kematian, dokter akan mencurahkan semua tenaga dan waktunya untuk menyelamatkan satu nyawa. Ada banyak kisah dibalik kata menolong. Di masa depan, dunia akan semakin maju termasuk dalam bidang kesehatan. Penyakit yang tidak ada obatnya sekarang mungkin saja di masa depan akan ada obatnya. Masyarakat dari berbagai penjuru akan mudah mendapat akses kesehatan. Sebagai dokter di masa depan, saya berharap bisa menjadi bagian dari pergerakan kesehatan di masa yang akan datang. Bagi masyarakat Indonesia maupun dunia, saya berharap segala hal dalam bidang kesehatan akan menjadi lebih maju dan mudah untuk akses dan seluruh dokter di dunia terus berkontribusi untuk masyarakat.
Tidak terhitung banyaknya orang yang bermimpi menjadi dokter, sayangnya hanya orang-orang terpilih saja yang bisa menjadi dokter pada akhirnya. Sama halnya dengan FKUI, hanya segelintir orang yang bisa berhasil masuk. Angkatan FKUI 2019 merupakan tempat saya bertemu teman-teman seperjuangan. Teman-teman yang akan saling membantu agar bisa lulus menjadi dokter terbaik di Indonesia. Ke depannya mungkin tidak ada kata teman lagi di antara kami, melainkan kata keluarga tersemat dalam diri masing-masing. Sebuah keluarga yang terus menopang satu sama lain, membantu keluar dari masalah yang ada, dan terus setia kepada satu sama lain. Saya berharap semua semangat yang ada dari awal kami bertemu sampai nanti saat kami berhasil menjadi dokter akan terus berada di dada kami.
Selama kita hidup ada banyak rencana yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, namun tidak ada salahnya bagi kita untuk memiliki rencana sendiri. Rencana untuk tahun depan, 5 tahun berikutnya, 10 tahun berikutnya, bahkan 20 tahun berikutnya harus selalu kita pikirkan dan targetkan. Saat pengumuman menyatakan saya berhasil diterima, saya langsung berandai-andai menggambarkan kehidupan saya nanti selama kuliah sampai sudah berhasil menjadi dokter. Sekarang saya memang masih maba (mahasiswa baru), tapi saya sudah menetapkan target dan rencana untuk tingkat dua tahun depan. Menjadi mahasiswa yang aktif berpretasi dan berorganisasi adalah target yang saya tetapkan untuk diri saya tahun depan. Saya merupakan orang yang sangat pasif, maka dari itu saya ingin menjadikan FKUI sebagai wadah perubahan saya.
Saya suka sekali bermimpi dan berandai-andai. Saat SMP saya sudah membayangkan diri saya menjadi dokter dan menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk lulus sarjana kedokteran. Setelah mendengar kalau banyak yang lulus sarjana kedokteran dalam 3,5 tahun, itu menjadi rencana saya. Untuk 3 tahun ke depan, saya berharap sudah berhasil lulus sarjana kedokteran cumlaude dan sedang melaksanakan koas. Rencana saya itu mungkin akan sangat berat perjuangannya bagi sebagian orang apalagi ditambah dengan berbagai aktivitas di luar kuliah, tapi saya yakin selama saya percaya diri dan semangat bisa melakukannya, maka rencana itu akan terwujudkan dengan mudah.
Para calon dokter pasti sudah memikirkan kelanjutan dari profesi mereka. Apakah akan tetap menjadi dokter umum atau mengambil spesialis di bidang masing-masing. Di waktu 10 tahun yang akan datang, teman-teman FKUI 2019 dan juga saya mungkin sudah berbeda arah jalannya, namun kami sama-sama masih berjuang di bidang kesehatan. Rencana yang saya miliki adalah menjadi seorang dokter anestesi atau forensik yang baik sekaligus terus berperan dalam memajukan kesehatan di Indonesia. Saya berencana mengabdikan hidup saya untuk masyarakat di seluruh pelosok tanah air, terus membantu mereka agar selalu hidup sehat.
Bagaimana dengan 20 tahun berikutnya? Usia saya berarti sudah berada di kepala tiga. Hal ini berarti seharusnya saya sudah dewasa dan matang dalam hal pikiran juga perilaku. Pengabdian saya sebagai dokter sudah berjalan panjang, tetapi saya tidak akan berhenti. Entah 20 tahun berikutnya atau 40 tahun berikutnya, selama saya hidup saya berencana akan terus bergerak di bidang kesehatan, selalu membantu yang membutuhkan, memajukan kesehatan di Indonesia ataupun dunia. Hal-hal tersebut mungkin sulit untuk dilakukan, sayangnya memang tidak ada yang mudah dalam perjuangan menjadi dokter. Bahkan, setelah menjadi dokter masih banyak rintangan yang harus dihadapi. Akan tetapi, selama saya yakin bisa mewujudkan semua rencana saya pasti di masa yang akan datang semua benar-benar akan terwujud.
Sepanjang saya menuliskan kisah saya, saya selalu mengatakan FKUI itu berat dan hanya orang-orang terpilih saja bisa masuk ke FKUI. Selain itu, saya juga berkata kalau proses menjadi dokter itu sulit, butuh kesabaran dan semangat yang tinggi untuk bisa lulus dari proses yang ada. Semuanya butuh perjuangan. Bukan hanya FKUI, setiap fakultas di universitas negeri terbaik memiliki level kesulitannya masing-masing. Tiada hasil yang indah tanpa usaha yang keras. Setelah saya berhasil masuk FKUI melalui jalur SNMPTN, saya sadar kalau masuk FKUI bukan hal yang mustahil. Banyak jalan menuju FKUI selain SNMPTN, ada Talent Scouting, SBMPTN, dan SIMAK UI. Bagi kalian yang ingin melanjutkan pendidikan di FKUI terus semangat. Mungkin kalian akan pusing selama belajar untuk ujian karena memang tidak mudah, tapi kalau usaha keras kalian membuahkan hasil tidak ada salahnya untuk sakit dulu kemudian senang nantinya. Jika tidak berhasil masuk FKUI, jangan berkecil hati. Jangan merasa kalian bodoh karena gagal masuk ke fakultas ini. Peluang kalian untuk menjadi dokter yang hebat mungkin bukan di Universitas Indonesia, masih banyak universitas lain yang bersedia menampung kalian, menempa kalian agar kalian bisa sampai ke impian yang sudah ada di pikiran sejak lama. Kalian masih bisa mencoba tahun depan untuk kuliah di Universitas Indonesia. Bagi saya, kampus hanya bertugas mengajarkan kita para mahasiswa tentang materi-materi yang belum kita ketahui sebelumnya. Akan tetapi, kalau kita sendiri malas dan tidak semangat mempelajarinya, kampus terbaik saya rasa tidak ada gunanya lagi. Jadi, selain berusaha untuk masuk ke FKUI, yakinkan diri sendiri kalau mampu menghadapi perjuangan berat di kampus, pastikan kalau mampu menghadapi jalan yang tidak akan pernah lurus, siapkan mental dan pikiran kalian yang akan terus ditempa dengan keras tanpa mengenal waktu. Saya yakin kalian yang berkeinginan besar masuk FKUI bisa melakukannya. Saya yakin bisa bertemu kalian, para pejuang kesehatan sama seperti saya.
Semangat dan tersenyum. Dua kata itu selalu tertanam dalam diri saya. Jika ada kesulitan, tetap semangat dan selalu tersenyum. Tidak ada pelangi tanpa hujan. Seperti kata pepatah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Semangat para pejuang FKUI dan calon dokter seluruh Indonesia! See you on top!
Comments