NARASI PERJUANGAN - JESIANA RAYVITA UTAMI
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 8 min read
Nama saya Jesiana Rayvita Utami, mahasiswi baru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2019. . Saya berasal dari SMAN 1 Pandeglang. Saya akrab dipanggil dengan sebutan Jesi atau Jeje. Lahir di Pandeglang, 19 Mei 2001 dan merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara. Ayah saya bernama Suherman dan Ibu saya bernama Endang Wahyuni. Ayah saya baru saja pensiun dari profesinya sebagai ASN di BPN Kabupaten Pandeglang, sedangkan Ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga. Ketiga kakak saya telah menikah, dan adik saya kini duduk di bangku kelas XI, di SMAN 1 Pandeglang. Di Pandeglang, saya tinggal bersama kedua orang tua saya di Kp. Salabentar RT 04 RW 06 Kelurahan Cilaja, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya tinggal di Asrama Mahasiswa UI, Jl. Prof. Dr. Miriam Budiardjo, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagaraksa, Jakarta Selatan.
Sejak kecil, saya ingin sekali menjadi seorang dokter, agar kelak bisa menolong orang yang membutuhkan pertolongan di bidang kesehatan, terutama untuk orang yang tidak mampu. Alasannya mungkin terdengar klise dan mainstream. Namun, bagi saya, itu merupakan hal yang mulia, karena faktanya, hingga saat ini, pelayanan kesehatan yang layak masih sangat dibutuhkan di Indonesia.
Saya memang berasal dari kota kecil. Namun, hal itu tidak menjadi halangan bagi saya bermimpi untuk mendapatkan pendidikan dokter terbaik di FKUI. Bagi saya, FKUI merupakan sarana pendidikan dokter terbaik dan tertua di Indonesia, yang telah mencetak banyak dokter yang kompeten dan berintegritas. Selain itu, menurut saya, biaya pendidikan di FKUI sangat terjangkau, sehingga anak-anak yang lahir dari kondisi ekonomi menengah ke bawah pun bisa mengenyam pendidikan di sini.
Motivasi saya memasuki FKUI adalah, saya ingin mendapatkan pendidikan terbaik agar kelak menjadi dokter yang profesional. Selain itu, saya ingin mengangkat derajat kedua orang tua saya, membahagiakan dan meringankan beban mereka. Saya juga ingin memajukan kesehatan di daerah saya. Maka, untuk mencapai semua itu, saya memilih FKUI sebagai sarana untuk melanjutkan pendidikan. Mencetuskan mimpi dan motivasi rasanya memang mudah. Namun, perjalanan yang mengikutinya begitu berat.
Sejak SD, saya selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Karena saya sadari, menjadi dokter merupakan cita-cita yang besar. Butuh perjuangan dalam mencapainya. Belajar, mempertahankan nilai, mengikuti beberapa perlombaan, telah menjadi makanan selama masa persekolahan. Alhamdulillah, saya bisa lulus dengan hasil yang memuaskan. Ketika memasuki masa SMP, fokus saya mulai terbagi ke ranah organisasi, karena jujur, saya memang senang berorganisasi. Waktu itu, saya mengikuti OSIS, Pramuka, dan Paduan Suara. Namun saya tetap mengusahakan yang terbaik, dengan tetap belajar dan mempertahankan peringkat di kelas. Selain itu saya juga masih mengikuti beberapa perlombaan. Alhamdulillah, saya bisa lulus dengan nilai yang baik. Hanya saja, saya tidak berkesempatan untuk masuk ke sekolah milik Pemerintah Provinsi Banten. Jujur, saya cukup kecewa dengan pencapaian saya sendiri kala itu. Akhirnya, saya pun bergabung di SMAN 1 Pandeglang.
Awal bersekolah di sana, saya merasa biasa saja, bahkan merasa setengah hati menjalaninya, karena bukan itu yang saya mau. Namun, perlahan, saya mulai ikhlas dan mulai bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Saya mulai menerima diri saya sendiri, karena boleh jadi, kala itu usaha saya memang tidak seberapa dibandingkan anak-anak lainnya. Oleh karena itu, saya bertekad pada diri saya sendiri, jangan sampai di masa SMA ini mengulangi kelalaian yang sama, atau kekecewaan yang ditimbulkan, akan lebih besar. Maka, sejak kelas X, saya sudah mulai mempersiapkan diri untuk masuk ke PTN dengan belajar lebih rajin, dan juga mengikuti beberapa perlombaan. Meskipun, saat itu saya masih tertarik dengan dunia organisasi, dan fokus belajar saya masih seringkali terbagi.
Ketika memasuki kelas X semester 2, saya bergabung dengan suatu kelompok bimbingan belajar yang unik. Di sana saya bukan hanya sekedar belajar, mempersiapkan diri untuk masuk PTN, tetapi kesadaran saya akan beratnya perjuangan menuju bangku PTN pun dibangun. Terlebih untuk memasuki jurusan kedokteran. Maka, yang semestinya dilakukan saat itu ialah belajar dengan sungguh-sungguh, baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat bimbel. Sayangnya, dulu saya yang merupakan anak organisasi, seringkali lalai. Belajar hanya saat ujian, dan kerap kali ketinggalan jam belajar di tempat bimbel hanya karena rapat organisasi lagi dan lagi. Saya sangat tertampar begitu guru saya mengingatkan bahwa jika saya lalai dan tidak fokus, maka saya tidak akan mendapatkan apa yang saya inginkan, dengan kemampuan saya yang pada saat itu biasa saja.
Setelah selesai satu periode organisasi, saya saat itu benar-benar berhenti total dari semua organisasi yang saya ikuti dan mulai fokus belajar di kelas XI. Selain itu saya juga mulai fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti olimpiade. Bahkan sejak kelas XI semester 2, saya benar-benar mengurangi waktu main, banyak latihan soal di rumah, bimbel setiap hari, memangkas jam tidur, dan stop menonton kartun dan drama Korea. Saya selalu ingat ungkapan yang diberikan oleh guru saya. Ini cukup lucu tapi logis. “Satu episode drama menghabiskan waktu 30 menit. Satu soal limit bisa dikerjakan dalam 3 menit. Jika kita menggunakan waktu 30 menit untuk menonton drama, kita hanya mendapatkan kesenangan sesaat tanpa ada kontribusi untuk kita menghadapi ujian masuk PTN. Tetapi, jika kita mengerjakan soal limit selama 30 menit, kita bisa dapat 10 soal limit. Meski sedikit, tapi itu berguna untuk menopang kemampuan kita menghadapi ujian masuk PTN.”. Rutinitas yang cukup membosankan dan melelahkan itu terus saya jalani hingga di penghujung kelas XII. Terkadang, saya iri dengan teman-teman yang masih menyempatkan diri untuk bermain. Ingin kadang rasanya menjadi mereka, terlepas dari beban moral yang cukup berat ini. Namun, keinginan akan kesenangan semu itu, saya tahan. Saya percaya, hasil yang luar biasa, butuh pengorbanan yang juga luar biasa. Alhamdulillah, di akhir tahun ajaran saya bisa lulus dengan hasil yang baik, dan mendapatkan PTN terbaik di Ibu Pertiwi ini. Universitas Indonesia. Dengan jurusan paling fantastis. Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran.
Perjalanan saya menuju ke FKUI sendiri bukan hanya sekadar masalah belajar. Ada banyak dinamika lainnya. Memasuki masa SMA, idealisme saya untuk menjadi dokter mulai terombang-ambing. Kontra dari keluarga karena anggapan biaya kuliah di FK itu sangat tinggi menjadi alasannya. Hal itu dikarenakan ketika saya akan kuliah, ayah saya telah pensiun sebagai ASN. Sempat saya mengganti impian saya sejak kecil itu, dengan menjadi seorang teknisi atau menjadi seorang ahli keuangan. Namun, saya sendiri merasa berat hati akan pilihan tersebut, karena saya merasa, dunia saya bukan di sana. Ketika saya mendengar kabar bahwa kakak tingkat sekolah saya bisa berkuliah di FK dengan biaya kuliah 0%, saya jadi berani lagi untuk mempertahankan idealisme yang telah saya bangun sejak dulu. Maka dari itu, sejak awal, saya berusaha untuk giat belajar dan mempertahankan nilai-nilai selama ujian. Meski terkadang menemukan kendala belajar, saya tidak menyerah. Saya tidak malu untuk bertanya kepada teman-teman saya yang lebih mengerti. Selain itu, saya juga mengikuti beberapa kompetisi, yang sertifikatnya bisa mendukung untuk SNMPTN. Kala itu, saya juga mengikuti kegiatan bimbel untuk memaksimalkan waktu belajar saya. Dulu, saya sempat berharap untuk dapat diterima melalui SNMPTN. Namun, seiring berjalannya waktu, menyadari betapa ketatnya persaingan yang ada antar pelajar di Indonesia, saya berfikir bahwa kemungkinan untuk diterima menjadi sangat kecil. Sebab itu, menjelang kelas XII, saya lebih memaksimalkan waktu belajar saya untuk menghadapi tes UTBK-SBMPTN. Memasuki kelas XII, rasa bimbang itu mulai muncul lagi. Tawaran-tawaran untuk memasuki jurusan lain kembali muncul. Lagi-lagi, masalahnya ialah finansial. Kala itu, saya belum mengetahui, bahwa ada institusi yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran dengan biaya kuliah yang terjangkau. Selain itu, saya sempat putus harapan melihat progres belajar saya yang dirasa stagnan saja. Rasanya seperti tidak pantas, anak dengan kemampuan biasa seperti saya bisa masuk ke jurusan yang paling diminati seantero Nusantara.
Menjelang semester 2 kelas XII, seorang kakak tingkat saya di UI memberitahu bahwa biaya kuliah di UI hanya berkisar 0—7,5 juta per semester untuk semua jurusan, termasuk kedokteran. Sejak itu, saya mulai mempertimbangkan untuk memilih FKUI sebagai destinasi studi saya selanjutnya. Saya juga semakin giat belajar, mengingat waktu ujian masuk universitas semakin dekat. Kala itu, agenda pertama yang harus dilewati sebelum UTBK-SBMPTN, ialah SNMPTN. Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti SNMPTN. Bermodal nilai yang telah didapatkan semasa SMA dan sertifikat lomba tingkat Kabupaten dan Provinsi, saya pun memutuskan untuk memilih FKUI di pilihan pertama, dan FK UNILA di pilihan kedua. Kala itu, keluarga saya sudah mulai menyetujui untuk saya berkuliah di FK. Hal itu karena jujur, ketika Ibu saya memberitahu bahwa saya berniat untuk masuk FK, seseorang malah berkata bahwa mimpi saya itu terlalu muluk. Belum ada putra daerah Pandeglang yang diterima di kedokteran melalui jalur SNMPTN. Tentu menyakitkan ketika seorang ibu mendengar mimpi anaknya dicaci. Sejak saat itu, Ibu selalu mendoakan agar saya bisa diterima di FK. Meskipun dirasa kemungkinan masuknya sangat kecil, karena saya belum memiliki kakak tingkat yang diterima melalui SNMPTN di sana, saya tetap nekat mencobanya, dan Alhamdulillah, keluarga pun mendukung. Dengan harapan, bila saya diterima, saya bisa menggapai cita-cita saya dan setidaknya bisa meringankan beban kedua orang tua saya. Namun, tidak berhenti sampai menunggu pengumuman SNMPTN, saya tetap mendaftarkan diri untuk mengikuti UTBK-SBMPTN.
Pada hari Jum'at, 22 Maret 2019, saya benar-benar tidak menyangka dengan hasil yang saya dapatkan. Rasanya seperti bermimpi ketika mengetahui kabar bahwa saya diterima menjadi bagian dari keluarga besar FKUI 2019. Jujur, kala itu, saya spontan menangis dan memeluk ibu saya. Bahagia rasanya melihatnya, dan juga ayah saya berbahagia kala saya dinyatakan diterima di FKUI. Suatu kebanggaan bagi saya untuk bisa menjadi bagian dari fakultas kedokteran terbaik dan tertua di Indonesia, dan saya sangat bersyukur atas karunia besar yang telah Tuhan saya, Allah SWT berikan kepada saya. Tanpa ridho-Nya, ridho kedua orang tua, guru, dan doa, usaha serta dukungan dari semua orang, saya mungkin tidak akan berada disini.
Setelah dinyatakan diterima, tentu perjuangan belum berakhir. Ini merupakan permulaan dari mimpi besar di dunia yang lebih besar lagi. Harapan saya, semoga setelah ini, saya mampu menjalankan amanah yang telah Allah SWT berikan. Saya harus belajar lebih giat dan terus berdoa agar impian saya menjadi dokter yang kompeten dan berintegritas terwujud, dan mampu memperbaiki kualitas kesehatan Indonesia. Selain itu, saya berharap bisa membahagiakan keluarga saya dan mengangkat derajat kedua orang tua saya dengan menjadi seorang dokter. Bukan hanya soal diri sendiri dan keluarga, saya juga berharap, keluarga besar FKUI 2019 bisa semakin solid, dan jumlahnya bertahan hingga waktunya sumpah dokter nanti. Saya juga berharap, keluarga besar FKUI 2019 mampu menjalankan pendidikan dengan baik, menjadi dokter yang juga kompeten dan berintegritas, dan mampu mengabdikan diri bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
Kelak, setelah menyelesaikan studi dan dilantik menjadi seorang dokter, saya berencana untuk melanjutkan pendidikan dokter spesialis bedah thorax dan kardiovaskuler (Sp. BTKV). Saya juga berencana mengabdi di daerah saya sendiri, Kabupaten Pandeglang, Banten. Saya ingin sekali membangun klinik di sana, baik klinik umum, maupun khusus jantung. Namun, saya tidak akan mematok biaya yang tinggi, terutama untuk pasien yang dari keluarga kurang mampu. Selain itu, saya berencana untuk berusaha bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk membangun rumah sakit cabang di daerah selatan Pandeglang. Hal itu bertujuan, agar tidak ada lagi kasus pasien tidak tertolong sebab fasilitas kesehatan terlalu jauh untuk dijangkau.
Untuk mewujudkan hal tersebut, semasa perkuliahan, saya akan belajar dengan giat. Setiap semester, saya akan berupaya untuk mencapai target nilai cumlaude dan terus bertahan untuk tetap cumlaude hingga akhir semester 7 nanti. Tidak hanya itu, saya berencana mengikuti beberapa unit kemahasiswaan, seperti mengikuti BEM IKM FKUI, AMSA UI, dan organisasi kerohanian Islam. Saya juga Insya Allah akan turut aktif dalam organisasi paguyuban daerah Banten. Hal tersebut bertujuan agar kemampuan manajemen waktu dan kepemimpinan saya serta jiwa kepedulian lingkungan saya lebih terbentuk. Sehingga kelak, saya bukan hanya menjadi dokter yang mampu mengobati pasien, tapi mampu menjadi dokter yang juga empati, berkepemimpinan dan berjiwa islami.
Teruntuk adik-adik yang membaca narasi ini, yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama untuk menjadi seorang dokter, yang juga ingin memasuki kampus perjuangan ini, semangat. Perjuangan untuk memasuki institusi yang luar biasa ini bukan perkara yang mudah. Akan ada banyak tantangan yang menghadang, bahkan mampu menggoyahkan. Namun, jika kita memiliki tekad yang kuat dan pantang menyerah untuk terus berjuang, mau berusaha dan berdoa, serta percaya kepada Kuasa Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin. Meski berat hadapi dengan senyuman dan semangat. Percayalah, setelah kesulitan itu, pasti ada kemudahan. Tuhan tidak akan pernah membebani seorang hamba diluar kemampuan hamba-Nya tersebut. Tetaplah berusaha dan jangan putus asa. Sertakan selalu Tuhan dalam setiap langkahmu. Meskipun pada akhirnya Tuhan yang menentukan takdir pada masing-masing dari kita, namun tetap, tugas kita sebagai seorang hamba, hanya berusaha. Sisanya, serahkan kepada Tuhan, dalam hal ini tawakal. Ingat selalu, Tuhan tidak akan pernah ingkar pada hamba-Nya yang mau berusaha, dan Tuhan selalu tahu, mana yang terbaik untuk hidup hamba-Nya.
“Sejatinya, menjadi seorang dokter bukan hanya soal menjadi seorang yang pintar. Diperlukan fisik dan mental yang kuat, sebab tugas yang akan kita emban begitu berat. Kita diberikan amanah oleh Tuhan untuk jadi perantara dalam usaha mempertahan kehidupan manusia. Menjadi seorang dokter juga bukan hanya soal mengobati pasien lalu sembuh. Diperlukan karakter yang baik agar dapat memahami keadaan pasien dan mampu berempati padanya.”
Kenapa aku nangis ya pas selesai bacanya :'( huhu