Narasi Perjuangan -- Joshua Moses
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 14 min read
Nama saya adalah Joshua Moses, dengan nama panggilan Joo, Chua, ataupun Ulat Kecil oleh para sahabat yang sangat dekat dan mengenal saya dengan baik. Saya adalah warga negara Indonesia yang lahir di Kediri pada tanggal 23 Februari 2001, hidup dan besar di sebuah kota bernama Tulungagung di selatan Jawa Timur, merantau ke kota Malang demi menuntut ilmu pengetahuan, di mana sesungguhnya saya secara resmi merupakan warga kota Surabaya, sehingga pada saat teks ini ditulis, saya sedang berumur 18 tahun sebagai mahasiswa baru dalam Fakultas Kedokteran jurusan Pendidikan Dokter di dalam salah satu institusi pendidikan yang paling besar dan paling tua di negara kepulauan Republik Indonesia yang terletak di Depok, yakni perguruan tinggi negeri Universitas Indonesia. Sebelumnya, saya telah selesai menempuh pendidikan dasar dan menimba ilmu di Sekolah Menengah Atas Swasta Katolik Kolese Santo Yusup Malang, institusi pendidikan bermutu dengan panggilan akrab Hua-Ind ataupun Kosayu, yang bertempat di kota Malang di provinsi Jawa Timur. Di sanalah tempat di mana saya menempa diri demi realisasi ambisi, menumpuk tanah dan mengisi lumbung untuk mempersiapkan peperangan yang tak terelakkan. Dan di sanalah ceritaku yang sesungguhnya dimulai.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suatu kesempatan yang pernah menjadi puncak Everest penuh halangan dan cobaan, serta yang telah menjadi titik awal dari perjalanan baruku yang terhubung dan tak berujung. Banyak dari berbagai rekan seperjuangan saya dari berbagai generasi yang telah lama mengincar posisi emas ini dan bersiap diri sejak dahulu kala dengan mengemban ambisi layaknya api yang membara. Akan tetapi, sejujurnya, dibandingkan segala determinasi dan obsesi yang mereka pegang erat, di sisi lain saya bahkan baru mengetahui tentang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang mahsyur ini pada saat saya menjejaki masa-masa awal Sekolah Menengah Atas saya, dan bahkan saya baru menyadari betapa berat nilai dari nama besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada masa akhir pendidikan saya di jenjang dasar akhir pada tahun ketiga. Saya memang tahu dan mendengar bahwa sebagai seseorang yang memiliki kerinduan untuk menjadi seorang dokter di masa depan, bisa masuk dan menempuh pendidikan serta pelatihan di Universitas Indonesia adalah suatu kesempatan emas dan memiliki suatu kebanggaan tersendiri bagi kaum orang-orang terpilih yang berhasil menerjang segala halang rintangan untuk duduk sebagai calon dokter masa depan di bawah supervisi Universitas Indonesia. Memang bagi saya saat itu kedengarannya menarik dan hebat untuk bisa masuk ke Universitas Indonesia, tetapi saya belum memiliki apa yang diperlukan untuk mencapainya, yakni suatu hasrat dan gairah untuk menggapai tujuan tanpa setitik rona keraguan. Pada awalnya, saya menentukan profesi dokter sebagai rute yang akan saya jejaki karena keinginan orang tua, serta saya merasa tidak memiliki kemampuan lain yang mumpuni untuk membangun kehidupan saya di jalur pekerjaan lain selain menjadi seorang dokter, yang mana sebenarnya saya ingin menjadi seorang peneliti sains seperti misalkan sebagai peneliti riset di bidang virologi, mikrobiologi, dan lain sebagainya, yang mana menurut saya tidak dihargai dan merupakan impian yang terjal dan tidak realistis jika saya hidup di negara berkembang yang bahkan belum bisa menjalin persatuan diri yang hakiki walaupun dengan segala macam nilai-nilai dan ideologi yang konon katanya dijunjung tinggi sebagai identitas bangsa seperti negara Indonesia ini. Sungguh suatu hal yang ironis dan mengecewakan secara pribadi bagi diri saya dan berbagai individu yang menyadari betapa pedihnya memandang bangsa ini di ranah dunia, namun tetap saja saya merasa tidak dapat meninggalkan bangsa ini begitu saja. Ditinggalkan dengan tidak ada pilihan lain, saya pun menjalani saja jalur yang telah ditentukan.
Kendati demikian, semua itu berubah di tengah akumulasi perluasan wawasan saya di bangku Sekolah Menengah Atas. Di kala itu, secara pribadi saya mendalami dan merenungi sendiri apakah arti hidup ini, yang sesungguhnya begitu singkat dan dalam sekejap mata dapat berakhir, yang dapat dengan mudahnya ditinggalkan dan dilupakan sembari meredup bagaikan sumbu yang memudar. Saya pun akhirnya sampailah pada suatu kesimpulan bahwa untuk hidup bagi diri kita sendiri adalah suatu kesia-siaan yang nyata, yang hampir sama saja dengan bagaimana jalannya hidup flora dan fauna di Bumi ini. Di saat begitu banyak orang yang mengartikan "Live your live to the fullest" ataupun "Hidup seperti Larry" sebagai bentuk ajakan untuk memenuhi hidup dengan melakukan segala hal yang diingini hati insani agar kita berpuas diri dalam kesenangan duniawi sampai habis waktu kita di dunia ini agar tidak ada penyesalan, saya pun memaknainya sebagai suatu jalan hidup untuk menapaki perjalanan panjang tak berujung untuk mencari makna di kehidupan yang sarat kekosongan ini, untuk menambahkan nilai bagi eksistensi insani lewat jalan menjadikan diri ini dapat berguna bagi orang lain, agar keberadaan ini tidak hilang lenyap dengan percuma, agar waktu kehidupan yang sekilas pandang ini dapat memiliki arti bagi orang lain, tak peduli seberapa kecil dan insignifikannya itu. Semua refleksi diri tersebut hadir sebagai Oleh karena itu, sejak saat itu saya pun mulai memiliki tekad yang sejati untuk benar-benar berjuang menjadi seorang dokter agar dapat menolong sesama. Untuk mencapainya, sudah tentu saya menolehkan pandangan saya pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terkenal itu. Selain itu, sekalipun untuk tujuan yang mulia, saya tidak ingin bermegah di atas pengorbanan orang tua saya setelah semua yang telah saya terima, oleh karena itu saya juga memilih untuk menempuh pendidikan dokter di Universitas Indonesia yang tidak menuntut adanya biaya lebih berupa uang pangkal ratusan juta, serta dengan UKT yang relatif sangat murah jika dibandingkan dengan berbagai perguruan tinggi negeri lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta. Dari semua hal itu tadi, setelah pemikiran yang matang, saya pun membulatkan tekad untuk memulai lika-liku saya mendaki salah satu gunung tertinggi di benua pendidikan Indonesia ini.
Setelah mengukuhkan arah dan tujuan ke mana haluan mengarah, saya pun mulai bertindak sesuai dengan keyakinan yang telah saya putuskan. Saya mulai sedikit lebih giat belajar untuk mata pelajaran tertentu seperti Biologi dan Mandarin, serta terus melanjutkan kegiatanku untuk membantu mengajari teman-teman di kelas saya untuk mata pelajaran seperti matematika, fisika, biologi dan kimia untuk sekaligus menempa dan mengasah pemahaman saya menjadi lebih solid dan lebih mendalam dari sebelumnya, suatu metode yang menjadi jalan pembelajaran utama yang saya gunakan untuk dapat terus belajar dengan semangat tanpa merasa bosan. Walaupun sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti bimbingan belajar bersama yang ada di daerah dekat sekolah, dan bahkan keluar dari asrama siswa di Sekolah Menengah Atas Swasta Katolik Kolese Santo Yusup dan pindah untuk menempati kos di tempat bimbingan belajar itu sendiri, proses kegiatan belajar yang ditujukan untuk mencapai keinginan saya tersebut baru mulai saya jalani pada saat saya sudah mulai memenuhi sepertiga akhir tahun-tahun saya di bangku sekolah menengah atas. Di periode yang mendekati akhir ini pula sekolah baru mulai banyak membuka peluang bagi kami para siswa tahun ke-3 untuk sering mengikuti berbagai macam perlombaan, banyak yang bahkan tidak pernah ditangkap telinga kami dari mulut para guru dan pembimbing kami di sekolah, suatu hal yang sungguh saya sayangkan melihat manfaat yang saya dapatkan dari mengikuti berbagai kegiatan lomba tersebut, pengalaman emas yang saya harapkan dapat saya dapatkan lebih banyak lagi pada waktu yang telah lalu.
Perjuangan studi yang sesungguhnya baru mulai saya rasakan menjelang bulan akhir di tahun ke-3 saya di Kolese Santo Yusup, yakni menjelang bulan Desember tahun 2018. Setelah mayoritas dari para siswa di sekolah saya mulai bersantai dan menikmati masa kebebasan berupa liburan setelah menjalani berbagai pencobaan bagi mereka dalam bentuk ujian akhir semester sekolah, yang bagi saya bagaikan hari gajian karena sekaligus merupakan ajang untuk mendapatkan pizza gratis di tempat bimbingan belajar saya lewat jalan mendapatkan nilai sempurna dalam ujian, saya tidak mengecap manisnya liburan semester dan tetap tinggal di Malang untuk mulai mengikuti bimbingan belajar secara lebih efektif dan intensif. Dengan bebasnya kami dari kekangan rantai kewajiban sekolah, bimbingan belajar kami melaksanakan kegitan belajar mengajar hampir seharian, mulai dari pagi hari, disela istirahat dan makan siang, serta dilanjutkan di sore harinya sampai jam makan malam, kemudian setelah makan malam dilanjutkan lagi sampai dengan malam hari sekitar pukul sembilan sampai sepuluh malam hari. Setelah jam bimbingan belajar itupun, terkadang saya tetap menghabiskan sedikit waktu di kelas untuk belajar sedikit lebih lama lagi, melihat ada begitu banyak soal berbagai macam ujian yang terdapat dalam database yang dimiliki bimbingan belajar yang saya jalani. Semua itu berlanjut sampai mendekati tanggal dua puluh empat, yang mana pada tanggal tersebut sampai dengan tanggal dua puluh tujuh kami diberi kesempatan liburan untuk refreshing dan merayakan ibadah hari raya Natal. Saya pun menggunakan kesempatan tersebut untuk bisa pulang ke Surabaya agar saya dapat berkumpul kembali dengan keluarga saya dalam selang waktu yang terbatas tersebut. Pada saat liburan itu pun, kami diberi pekerjaan rumah ubtuk dikerjakan, berupa suatu buku jilid kumpulan soal yang terdiri dari sekitar lebih dari 3000 soal, dengan 50 halaman untuk masing-masing mata pelajaran biologi, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Semua hal itu saya lakukan demi mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur penerimaan SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri), suatu jalan yang memang kelihatannya sulit, melihat sedikitnya para siswa dari sekolah di Malang yang diterima ke dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tiap tahunnya. Akan tetapi, melihat kakak kelas saya yang bernama Ko Ade bisa masuk dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur SBMPTN tahun lalu, saya jadi termotivasi dan tidak memandang tujuan saya sebagai suatu hal yang mustahil. Memang, ada jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), tetapi saya merasa optimis akan ditolak mendaftar lewat jalur tersebut, melihat bahwa data statistik menunjukkan bahwa tidak ada siswa dari sekolah saya yang pernah masuk ke Kedokteran Universitas Indonesia lewat SNMPTN sebelumnya. Sebenarnya, saya hendak mendaftarkan SNMPTN saya ke Universitas Airlangga Surabaya sebagai jaminan keselamatan, namun tahun ini terjadi pergantian peraturan dalam proses penerimaan perguruan tinggi negeri di mana jika sudah diterima SNMPTN, saya tidak akan diperbolehkan mendaftar lewat SBMPTN, sehingga saya terpaksa mendaftarkan diri di Universitas Indonesia untuk SNMPTN, karena saya merasa bahwa sangat besar kemungkinan saya diterima di Universitas Airlangga. Alhasil, seperti yang saya ramalkan sebelumnya, saya tidak berhasil masuk Universitas Indonesia lewat jalur SNMPTN. Walaupun gagal, saya tidak merasa begitu kecewa karena memang dari awal saya tidak terlalu berharap pada hal tersebut.
Hari-hari perjuangan pun kembali berlalu, dengan diumumkannya hasil seleksi SNMPTN, saya pun semakin yakin dan giat belajar mempersiapkan diri untuk menerjang tes tulis berbasis komputer berskala nasional yang dahulu diberi nama UMPTN tersebut. Ditambah lagi, guru bimbingan belajar saya, yang mengira saya rajin, paling rajin di kelas, menyuarakan kepada teman-teman saya yang pesimis dan berputus asa bahwa mereka tidak diperbolehkan menyebut dan menganggap bahwa diri mereka ini tidak mampu dan pasti akan gagal sebelum mereka sudah belajar serajin saya setiap harinya. Alhasil, sebuah beban mental dan tanggung jawab yang begitu besar menimpa saya seketika, belum lagi pernyataan tersebut diserukan tidak hanya sekali, sehingga akhirnya mau tidak mau saya harus belajar lebih rajin lagi, karena saya tidak mau mengecewakan mentor saya dan saya juga tidak ingin menanggung dosa atas kegagalan teman-teman saya karena saya malas.
Akhirnya tibalah hari ujian pertama UTBK. Saya pun mengambil tes pada tanggal 14 April 2019. Memang rasanya mendebarkan, tetapi setidaknya saya tidak terlalu gugup karena sudah biasa mengikuti lomba sebelumnya. Saya pun mengerjakan soal-soal yang ada. Tahun ini adalah kali pertama diterapkannya sistem yang baru. Sekalipun saya sudah banyak mengerjakan soal SBMPTN dari berbagai tahun, soal ujian kali ini memiliki bentuk yang berbeda. Saya pun mengerjakan sebisanya. Awalnya soal TPS yang ada cukup mudah, namun saya agak kaget ketika tiba-tiba melihat soal matematika yang cukup berbeda dari soal-soal SBMPTN tahun-tahun sebelumnya. Setelah mengalami sedikit panik di bagian matematika, saya pun menenangkan diri untuk mengerjakan bagian berikutnya, yakni fisika, kimia, dan juga biologi. Saya pun keluar dengan perasaan yang bercampur aduk dan cukup depresi. Setelah beberapa hari, keluarlah nilai UTBK pertama yang menakutkan itu, dan saya pun kaget bahwa saya tidak kaget. Walaupun nilai saya rata-rata cukup bagus dengan rerata kurang lebih 758, saya mempunyai satu nilai yang di bawah kepala enam, yakni mata pelajaran matematika di mana saya terkejut sampai panik pada saat ujian. Saya tidak kaget, hanya kecewa, karena walaupun saya tahu bahwa nilai saya akan jelek, hati kecil saya masih sedikit berharap ada sepercik keajaiban dalam peluang satu banding lima tersebut. Akan tetapi, apa mau dikata, saya sudah merasa sejak dahulu bahwa jika masalah keberuntungan, saya ini melarat. Rasa kecewa saya pun akhirnya berubah menjadi suatu bentuk kemarahan pada diri saya, karena andaikan saja saya lebih tenang, belum tentu akan jadi seperti ini. Dipenuhi berbagai rasa, saya pun pulang dengan menggenggam ingatan akan semua soal ujian tersebut yang pernah terpantul di mata saya. Akhirnya, saya menambah kegiatan belajar saya, dengan langsung bekerja kembali setelah selesai makan siang, dan belajar setelah bimbingan belajar di malam hari sampai jam 12 setiap harinya. Semua itu saya lakukan dengan ambisi menghabiskan semua soal yang ada pada saya, penuh dengan tekad membalaskan dendam yang belum terbayar.
Hari yang ditunggu pun tiba, saya merasa siap untuk menerjang pertandingan ulang dengan layar komputer yang pernah memukul saya jatuh. Kali ini, saya merasa jauh lebih siap setelah berhasil menorehkan sosok lawan misterius tersebut ke dalam benak saya. Namun, sekali lagi, sepertinya nasib tidak menjadi wasit yang adil. Kali ini, saya mendapatkan tempat ujian di keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya kedinginan dan menahan vesica urinaria saya, sekarang ruangan saya relatif panas. Dan yang menjadi momok utama adalah, selama berada di dalam ruangan, saya diserbu dengan berbagai macam gangguan yang seakan diatur dalam formasi khusus untuk mengikis konsentrasi saya. Di belakang saya ada yang bermain kursi besi yang berdecit memekakkan telinga tanpa henti. Di samping saya terdapat peserta yang terus tidur-tiduran sambil bergoyang, entah sudah pasrah atau terlalu jenius. Di depan saya terdapat peserta yang terus memainkan pulpen yang bisa ditekan. Perlu diperhatikan bahwa saya ini orang yang sensitif terhadap suara-suara yang menurut telinga saya "menyebalkan". Saya pun berusaha bekerja sambil menutup telinga saya. Akan tetapi, seakan belum cukup derita, peserta di arah barat laut saya tak henti-hentinya mengetuk-ketuk meja, yang alhasil berhasil sampai ke membran tympani saya lewat getaran karena meja kami semua terhubung langsung. Dan yang lebih menyebalkan lagi adalah, di saat semua itu terjadi, pengawas yang hanya berjarak dua meter dari saya sama sekali mengambil tindakan, jiwanya seakan telah tersedot masuk ke dalam handphone yang dipegangnya. Tak mau kalah, saya terus saya mengerjakan dengan fokus semampu saya. Akan tetapi, cobaan belum selesai. Walaupun sudah menguasai konsep dari soal-soal hitungan yang disediakan, paket ujian saya kali ini seakan sengaja membalik komposisi soal saya untuk mata pelajaran kimia, di mana hanya sedikit soal hitungan dan soal teori acak menjadi mayoritas. Saya merasa depresi ketika muncul pertanyaan, jika saya hendak membuat agar-agar nanas, apakah saya harus memakai nanas segar, dikukus, atau keduanya, atau bahkan gagal semua. Akhirnya pun saya pulang dengan beban mental yang lebih berat dari sebelumnya, dan saya mencoba untuk menhapus semuanya dari ingatan saya. Hari demi hari, saya menghabiskan waktu dengan bermain, mencoba menghibur diri.
Lalu, keluarlah nilai ujian kedua. Walaupun saya lebih menguasai materi, tetapi nilai saya justru malah lebih rendah dari sebelumnya. Pada saat pendaftaran SBMPTN, saya pun merasa bingung, karena saya tidak tahu nilai saya ini tergolong tinggi atau rendah tanpa acuan yang jelas. Akhirnya, setelah dianjurkan demikian, saya dengan berat hati memilih UNAIR dan Udayana untuk pilihan SBMPTN saya, dan mengejar FK UI lewat jalur SIMAK. Dengan semangat yang telah terkikis, saya kembali melanjutkan belajar saya.
Waktu pun terus berlalu, mentari terbit dan terbenam, menandai perjalanan sang kala. Akhirnya tibalah hari pengumuman SBMPTN. Sore hari itu nampak redup, sama seperti suasana hatiku. Saya pun turun saat mendengar sorakan teman-temanku yang lolos. Saya turut senang untuk mereka, tetapi sekalipun saat mereka mengatakan bahwa saya diterima UNAIR, senyum pun tetap dipaksakan. Namun, runtuhlah langit dalam batin saya, saat mendengar bahwa teman saya yang nilainya lebih rendah dari saya, diterima masuk UI. Seakan belum cukup terluka, ada berita bahwa nilai terendah di FK UI cukup rendah, bahkan nilai saya masih berada di atas nilai rata-rata yang diterima, berita yang menjadi pukulan telak bagi saya. Saya pun sempat menangis di kamar, bukan karena senang atau sedih, tetapi meratapi kebodohan saya. Saya sering berdoa bahwa saya tahu dengan kemampuan saya akan sulit masuk FK UI, dan bahwa hanya dengan kemurahan dan kehendak-Nya saya dapat diterima. Meski demikian, dengan bodohnya saya lebih mendengarkan manusia, dan melupakan iman dan harapan saya. Pada momen itulah saya ada pada keadaan paling bijak dalam hidup saya, dengan menyadari betapa bodohnya saya lebih dari sebelumnya.
Setelah hari yang menyayat kalbu tersebut, saya pun dengan sedih kembali melanjutkan hari-hari perjuangan saya yang meredup. Sekalipun ini adalah kesempatan terakhir saya, tetapi dengan kepergian rekan-rekan seperjuangan saya yang telah merdeka, tersisalah saya dengan segelintir orang, di mana semua orang di sekitar saya sudah tidak memiliki niat untuk kegiatan belajar, secara efektif melarutkan motivasi saya sampai ke tingkat baru yang menyedihkan. Saya pun tenggelam dalam rasa putus asa, ditambah dengan tuntutan yang mendesak dari pendaftaran ulang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, saya pun pasrah saja seadanya.
Hari demi hari saya isi dengan bermain diselingi belajar, hingga tibalah hari ujian SIMAK yang berlokasi di Surabaya. Saya pun datang ke lokasi ujian di sebuah SMA di Surabaya. Di sana saya bertemu beberapa teman saya yang juga ikut ujian. Sekalipun nanti saya tidak berhasil diterima lewat SIMAK, setidaknya di sini saya dapat menyemangati dan menghibur teman-teman saya, terutama seorang teman saya yang disayangi oleh teman saya Christofer yang ada di Universitas Indonesia ini. Saya pun masuk tanpa ada perasaan yang mendebarkan, memastikan dalam hati bahwa mungkin sudah takdir saya untuk masuk ke Universitas Airlangga, dan mengerjakan soal sebisa saya. Memang layak untuk menerima predikat sebagai soal ujian tersulit di jenjang SMA di Indonesia, soal yang ada mengandung level bahaya yang jauh di atas soal UTBK, terutama soal Fisika dan Biologi. Dalam bagian esai, saya pun meluapkan isi hati lewat tulisan indah sampai habis waktunya. Pulanglah saya dan pergi ke bioskop dengan perasaan yang tidak terbeban, tanpa terkekang oleh harapan yang bisa mengkhianati.
Melompat-lompat di ranjang penuh pekikan. Itulah yang saya lakukan ketika bayangan kata "diterima" diteruskan ke retina saya, seketika bangun dari bermalas-malasan di depan televisi di kamar. Saya sungguh tidak percaya bahwa orang seperti saya ini bisa masuk ke dalam Fakultas Kedokteran terbesar di Indonesia. Tidak pernah terbayang akan menjadi seperti ini di akhir paragraf kisah hidup saya. Saya pun langsung meninggalkan semua tugas Amerta saya di Universitas Airlangga dengan penuh keceriaan dan kebanggaan, beralih mempersiapkan apa yang dituntut Universitas Indonesia sebagai ganti Jaket Kuningnya kelak.
Sekarang, saat esai ini ditulis, saya sudah menjadi peserta orientasi kampus di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memang begitu banyak tugas menumpuk saat ini, untuk pertama kalinya dalam hidup saya diperhadapkan dengan piring yang sepenuh ini. Setumpuk esai yang mencapai ribuan kata, beragam foto dan video sarat cerita, serta berbagai macam pernak -pernik penuh rasa dan warna, disertai euforia dan insomnia. Semua ini merupakan sebuah peluang untuk mencicipi sedikit dari kerja keras dan perjuangan dalam masa-masa kuliah di bangku Universitas Indonesia. Semoga dengan berbagai rupa pencobaan ini, saya dapat semakin bertumbuh dan berkembang, baik secara jasmani maupun dalam karakter, terutama untuk menjadi lebih mandiri, tanggap, berkompeten, serta mampu mengambil keputusan dengan sigap dan bertanggung jawab, sehingga saya diperlengkapi dan menjadi siap untuk menyongsong masa depan menapaki jalan saya sebagai seorang calon dokter yang dapat mengemban makna dalam eksistensi saya, tidak peduli seberapa kecil dan tidak berartinya usaha saya di mata semesta. Saya tidak menyatakan bahwa saya tidak akan goyah dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan yang disajikan profesi mulia ini bagi saya, tetapi saya dapat pastikan bahwa berapa kalipun saya jatuh, saya akan terus bangkit, berdiri, dan berjuang, karena saya tidak mengemban sekadar hasrat pribadi saya, tetapi saya juga memikul harapan, dukungan, dan ekspektasi dari keluarga saya yang paling dekat di hati saya, teman-teman seperjuangan yang telah jatuh dalam ajang perebutan takdir dan yang senantiasa menyokong bahu saya, serta masyarakat di luar sana yang menanti pengabdian dan dedikasi yang akan saya nyatakan. Semuanya itu, akan menjadi sebuah rantai batu yang akan mengekang dan menjadi beban berat di atas punggung saya, tetapi juga akan menjadi tali kehidupan yang akan memegang erat saya apabila saya akan terjatuh dalam jurang lara. Juga bagi rekan-rekan saya di dalam medan pertumpuran yang masih menjadi bayang-bayang dalam memori saya, saya menantikan suatu pertunjukan yang menggetarkan jiwa, di mana kita semua akan menaklukan segala halang rintangan bersama-sama, tampil sebagai angkatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan jiwa yang solid dan penuh integritas, bermegah dalam aksi membangun jalan menuju masa depan yang gemilang bagi bangsa menanti perubahan ini, bangsa yang pada saat esai ini ditulis tepat sedang memperingati hari jadinya yang ke-74. Negeri yang bagaimana parah pun keadaannya tidak tega saya tinggalkan.
Demi memenuhi semua harapan dan impian tersebut, saya perlu merencanakan semuanya dengan matang dan melangkah dengan mantap. Dalam tahun-tahun saya mendatang selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saya berencana akan belajar lebih giat lagi, sambil terus mengasah keahlian motorik, soft skill, filosofi serta kompas moral dalam insani. Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk menelan semua kesempatan yang tersaji selama bermukim di kampus ini, dan melompat demi menggapai peluang untuk lulus dengan predikat summa cum laude. Dalam 10 tahun saya akan memulai perjalanan saya yang sesungguhnya, melangkah ke atas lantai rumah sakit yang dingin, tidak mengindahkan bagaimana pun beratnya langkah pertama keluar dari sarang, melahap segala pengalaman yang bisa saya raup. Dan setelah 20 tahun di masa mendatang, saya akan mengerahkan segala sumber daya dan pengalaman yang telah saya timbun dalam lumbung persenjataan saya untuk lebih lagi mengulurkan tangan saya kepada mereka yang tidak tertangkap mata batin, memenuhi panggilan hati saya yang membisu. Ketika semua ini selesai pada akhirnya, walau saya tidak tahu apa yang menanti saya di ujung cahaya itu, saya dapat menutup mata dengan senyuman yang tidak pernah saya miliki sebelumnya.
Di akhir kata, saya hendak meninggalkan sepatah dua patah kata bagi insan-insan yang hendak menapaki jalan yang sama dengan yang saya ambil. Sekalipun saya juga masih seperti anak ayam yang baru belajar terbang dari sarangnya, setidaknya saya sudah berada satu langkah lebih dahulu di depan. Lalat terbang. Kucing melompat. Ikan teri berenang. Kecoa merayap. Intinya, semua bisa bergerak sekalipun dalam metode dan habitat yang berbeda-beda. Tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama dengan cara yang sama di bidang yang sama dengan hasil yang sama. Teruslah berusaha dengan cara kalian sendiri, dengan keyakinan kalian sendiri, namun tidak untuk diri kalian sendiri, tetapi untuk mereka yang kalian cintai, untuk mereka yang dapat memberi arti bagi eksistensi kalian. Seorang dokter memang harus selalu berpikir sebelum bertindak, menimbang beban dan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil, tetapi ada saatnya kalian perlu berhenti memikirkan segala kemungkinan yang ada dan memberikan segala yang kalian miliki untuk menggapai pintu yang berdiri di depan kalian. Berbagai pemikiran memang dapat merancangkan sebuah tindakan yang sempurna, tetapi sebuah tindakan dapat mengubah berbagai pemikiran. Ingat, kalian masih belum menjadi seorang calon dokter, jangankan menyandang jubah putih perlambang medis. Kalian masih mempunyai waktu untuk bertindak sebelum berpikir, melakukan berbagai macam hal yang akan menjadi pijakan kalian. Jatuhlah, tetapi kalian harus bangkit, dan menimbun kerikil kesalahan kalian untuk menjadi gunung fondasi kalian di hari depan. Semuanya baru akan dimulai, hanya ketika kalian telah memikirkan sendiri ke mana mata kalian memandang, oleh diri sendiri, dan untuk orang lain. Hanya ketika kalian telah mengangkat kaki kalian, untuk mengambil langkah pertama di jalan yang kalian tentukan dalam hati kecil kalian.
"Wisdom is not acquired; it comes from within"
Comments