Narasi Perjuangan -- Prima Christin Natalia Siahaan
- FKUI 2019
- Aug 20, 2019
- 8 min read
Halo! Nama saya Prima Christin Natalia Siahaan, dan saya merupakan salah satu bagian dari keluarga besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia angkatan 2019. Saya berasal dari SMA Negeri 28 Jakarta yang terletak di daerah Jakarta Selatan.
Universitas Indonesia merupakan universitas terbaik di Indonesia. Tidak bisa kita pungkiri akan hal itu. Baik secara subyektif maupun obyektif, baik lewat omongan-omongan masyarakat maupun statistik analisis yang dijalankan institusi rangking universitas di seluruh dunia, hal itu sudah terbukti.
Universitas Indonesia tidak hanya baik di beberapa fakultas saja, melainkan hampir semua fakultas di universitas ini telah berhasil mencetak prestasi yang baik yang bahkan telah mengharumkan nama bangsa. Hal itulah yang membuat setiap orang di lapisan masyarakat tidak lagi meragukan kualitas Universitas Indonesia sebagai salah satu wadah penyalur ilmu pengetahuan dan minat bakat mahasiswa di Indonesia. Salah satu diantara fakultas-fakultas tersebut adalah fakultas kedokterannya.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam pandangan saya merupakan salah satu fakultas di Universitas Indonesia yang paling bergengsi. Mahasiswa yang mengemban ilmu di dalamnya pasti memiliki kebanggaan tersendiri telah berhasil masuk ke dalam sana. Hal ini dikarenakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah terbukti mencetak dokter-dokter berkualitas di seluruh Indonesia, yang memiliki jiwa sosial tinggi serta keinginan mengabdi dan menjadi berguna bagi masyarakat yang tinggi pula.
Hal ini tidak hanya karena berdasarkan nama Universitas Indonesia yang besar di masyarakat. Fakultas kedokteran ini memang sudah membuktikan bahwa Ia memiliki fasilitas yang secara kualitas dapat menjadi wadah bagi orang-orang yang memang berminat dalam bidang kesehatan. Tidak bisa kita bohongi pula bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga sangat berperan dalam kemajuan kesehatan di masyarakat. Selain menciptakan lulusan yang nantinya akan siap melayani masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga giat menjalankan kegiatan-kegiatan yang sekiranya mendukung maksud tersebut.
Dari kecil, saya sebenarnya tidak tahu ingin menjadi apa. Saya tumbuh berpikir bahwa setiap profesi tetap baik adanya dan pasti bermanfaat, karena saya yakin setiap ilmu pengetahuan apabila ditanamkan pada orang-orang yang tepat pasti akan membuahkan buah yang manis. Karena itu saya menjadi sosok yang labil, yang tak menentu tujuan akhir hidupnya menjadi pengemban ilmu yang seperti apa.
Ayah dan kakak perempuan yang memang keduanya merupakan pengemban sarjana dokter saya mungkin menjadi pendorong dan motivator yang paling berpengaruh ke dalam arah perjalanan hidup saya. Tidak bisa saya pungkiri bahwa memang dalam perjalanan saya menentukan masa depan saya, ayah saya ikut mengambil peran di dalamnya. Tidak dapat saya pungkiri pula bahwa saya juga sempat marah, menangis, beragumen, untuk mempertahankan kemauan saya yang pada saat itu tidak sesuai dengan beliau. Namun setelah saya mendinginkan kepala saya dan menurunkan ego saya, keinginan beliau untuk menjadikan saya sebagai dokter tidaklah terdengar seburuk pemikiran saya pada awalnya.
Motivasi saya menjadi dokter mungkin mulai tumbuh saat saya melihat beliau lembur bekerja di klinik tempatnya bekerja, bagaimana Ia tetap menangani setiap keluhan pasien yang datang dengan profesional walaupun jam menunjuk pukul tiga pagi, atau bagaimana Ia sering menghabiskan waktunya di kantor mengurus permasalahan BPJS yang tak kunjung selesai. Diawali keinginan saya ingin meringankan beban pikiran serta kelak pekerjaan beliau, hingga saya sampai di titik dimana saya memang benar-benar ingin mengabdikan diri saya terjun ke masyarakat sebagai tenaga medis.
Soal dimana saya akan menekuni ilmu kesehatan tersebut sebenarnya saya tidak muluk-muluk. Karena menurut saya semua ilmu sama adanya, semua lulusan dokter di seluruh Indonesia memiliki tuntutan dan standar kompetensi yang sama. Namun, apabila saya diperbolehkan untuk sedikit egois, tentu saya ingin mengemban ilmu di tempat terbaik, yaitu Universitas Indonesia.
Perjuangan saya untuk masuk ke fakultas kedokteran dimulai pada tahun 2018, tepat pada saat kuota SNMPTN diumumkan di sekolah saya. Puji Tuhan pada saat itu, saya termasuk salah satu murid yang berhasil diberikan kesempatan itu. Saya merasa senang, sekaligus bingung. Diberikan kesempatan yang tidak semua orang bisa dapatkan, pilihan terbaik apakah yang akan saya pilih?
Saat itu, saya belum tahu betul apa yang saya inginkan. Dari dulu, saya selalu mendoktrin diri saya sendiri kalau saya tidak ingin mengikuti profesi ayah saya dan lebih ingin untuk banting setir ke teknik. Tapi di lain sisi, saya ingin sekali membahagiakan kedua orang tua saya dengan tidak mengecewakan mereka. Salah satu keinginan terbesar mereka adalah melihat anak bungsunya untuk kembali menjadi dokter seperti kakaknya. Kedua hal yang saling bertabrakan itu menciptakan mungkin salah satu dilema terbesar di kehidupan saya sampai saat ini. Tidak hanya sekali pada saat itu saya berlain argumen dengan ayah dan ibu saya, argumen yang di akhirannya pun akan selalu sama: tidak ada jalan keluar.
Hari menuju SNMPTN semakin dekat, dan saya dengan berat hati memilih untuk mengalah dan mengikuti permintaan kedua orang tua saya. Pilihan pertama fakultas kedokteran, dan kedua fakultas teknik arsitek. Sekarang masalahnya, ke mana saya akan menujukan pilihan saya? Kampus mana yang sekiranya akan menerima saya?
Tentunya, saya realitis dengan nilai saya. Sangat tidak mungkin bagi saya untuk berharap diterima oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nilai yang saya kumpulkan sepanjang sekolah menengah atas saya. Akhirnya saya menaruh pilihan pada fakultas kedokteran di universitas lain di pulau Jawa. Segala dorongan dan dukungan dari orang tua, keluarga, serta kerabat terdekat saya menumbuhkan harapan pada saya. Namun sayang, Tuhan berkata lain.
Tuhan menyuruh saya untuk lebih sabar dengan cara tidak meluluskan saya pada saat itu.
Setelah SNMPTN, tibalah SBMPTN yang datang lebih cepat daripada yang saya harapkan. Persiapan SBMPTN yang kurang matang dan mental yang masih terpukul akan tolakan SNMPTN membuat saya tidak begitu bersemangat dalam menghadapi tes masuk perguruan tinggi tersebut. Dengan pikiran yang tidak begitu matang, saya menaruhkan pilihan pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia—saya tidak menghiraukan nasehat dan saran dari orang-orang di sekitar saya mengenai hal itu.
Tentu saja, Tuhan masih mengajari saya untuk bersabar dengan tidak meluluskan saya saat itu. Saya ingat saat pengumuman saya sedang tidak berada di rumah. Bahkan yang membuka pengumuman bukan saya sendiri, melainkan ayah saya. Rasa sedih dan sesal melanda saya saat itu. Sedih sekali saat saya sadar bahwa ternyata saya masih harus memberatkan pikiran orang tua saya mengenai kemana saya akan melanjutkan sekolah saya.
Ayah saya tidak menyerah sampai di situ. Beliau mendaftarkan saya mengikuti berbagai macam tes mandiri yang diadakan oleh universitas lain. Tolakan demi tolakan terus terjadi, dan semakin hari saya semakin yakin bahwa mungkin memang saya harus gap-year. Mungkin memang ada saatnya kita berhenti melakukan segala usaha dan mundur sejenak untuk merefleksikan apa yang telah terjadi dan memikirkan apa aksi kita selanjutnya. Saya merasa segala usaha telah dilakukan, tapi memang saat itu belum ada hasil yang benar-benar manis bagi saya.
Sampai akhirnya ada satu universitas yang meloloskan saya sebagai calon mahasiswa kedokteran melalui jalur mandiri. Saat itu, orang tua saya benar-benar merasa senang. Mereka puas dengan pencapaian saya hari itu. Tapi saya tidak puas. Saya merasa saya layak mendapatkan jalan yang lebih baik yang dapat meringankan beban kedua orang tua saya.
Namun pada akhirnya, saya tetap disekolahkan di sana. Saya menjalani perkuliahan di universitas tersebut selama setahun. Setiap pelajarannya saya ikuti dengan baik, setiap kegiatannya juga saya ikuti. Saya memiliki teman-teman yang baik dan lingkungan yang baik. Nilai saya di sana pun baik. Semua terasa baik.
Tapi saya merasa saya akan menyesal apabila tidak mencoba lagi. Dari semester satu perkuliahan, memang sudah ada niatan di benak saya untuk kembali mencoba SBMPTN 2019.
Awalnya, saya berniat untuk serius dan memprioritaskan tes itu dibandingkan dengan perkuliahan saya yang sedang berjalan saat itu. Namun, ketika saya memberitahukan maksud saya ini kepada kedua orang tua saya, mereka merasa sedikit skeptis dan malah menyuruh saya untuk lebih fokus pada perkuliahan saya. Akhirnya, saya pun berbuat demikian. Karena setelah saya pikir matang-matang, kecil kemungkinan saya dapat lulus SBMPTN 2019. Ditemani dengan jadwal kuliah yang padat serta materi kuliah yang tidak bisa dikesampingkan, mana mungkin saya bisa menyelipkan kesempatan untuk belajar SBMPTN dengan baik? Tahun 2018 saja saya tidak diluluskan, bagaimana dengan 2019 yang notabenenya fokus saya sudah bukan lagi di situ?
Tapi saya tetap menjalani semuanya. Saya berkuliah. Saat pendaftaran SBMPTN dibuka saya mendaftar. Mendekati hari ujian saya belajar apa yang sempat saya pelajari. Ujiannya pun saya ikuti dengan baik. Tidak ada keluhan, tidak ada permintaan. Tidak ada ekspektasi manusiawi yang saat itu terlintas di pikiran saya.
Saya berpikir, sudah sangat tidak mungkin saya diluluskan. Hal itu benar-benar terasa nyata saat soal SBMPTN itu dihadapkan di depan saya. Tentu, saya tidak mengerti sebagian besar dari soal itu. Saya hanya menjawab apa yang dapat saya jawab, sisanya hanya diisi sebagai formalitas agar tidak ada yang kosong. Selesai ujian pun, saya pulang tanpa beban.
Saat hari pendaftaran nilai tiba, saya tidak pikir panjang. Saya mendaftarkan nilai saya untuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tanpa ekspektasi, tanpa beban. Ketika saya submit, tidak ada penyesalan.
Pengumuman tiba saat saya sedang berpulang ke Jakarta. Ayah saya dari pagi sudah gelisah, melihat dan mengecek setiap berita secara online untuk melihat perkembangannya. Berbeda dengan beliau, saya sama sekali tidak ingin tahu.
Waktu pengumuman semakin dekat, dan saya berusaha untuk tidak merasakan apa-apa. Semua ekspektasi dan harapan saya buang jauh-jauh; saya tidak ingin sakit untuk kesekian kalinya karena tolakan universitas semenjak setahun yang lalu. Saya berpikir, apapun hasil akhirnya, saya hanya akan mempelajari hikmahnya. Semua petualangan yang saya lewati sampai saat itu saya nikmati dan saya tuai pelajarannya. Tidak ada sama sekali bayangan saya menyandang jaket kuning. Tidak ada sama sekali pikiran saya akan berangkat ke daerah Salemba untuk menimba ilmu. Tidak ada sama sekali pikiran saya menjadi dokter cetakan Universitas Indonesia.
Sampai akhirnya, pengumuman itu tiba. Sejenak, saya berpikir, bagaimana ya respon saya nanti?
Bagaimanakah respon saya akan tolakan lagi? Apakah saya akan menangis? Atau biasa saja karena saya sudah pernah mengalaminya?
Lalu, bagaimana respon saya akan penerimaan? Apakah saya akan menangis bahagia? Atau mungkin berteriak kegirangan?
Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saya saat saya akhirnya memberanikan diri untuk membuka pengumuman itu. Background putih berisikan kalimat hitam yang menghiasi layar handphone saya membalas tatap kedua mata saya. Beberapa saat, saya merasa buta—antara pandangan yang merabun atau kemampuan melihat dan membaca saya yang mungkin untuk sesaat diambil Tuhan.
Kalimat itu terpapar dengan jelas:
“Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN LTMPT 2019 di PTN:
321 – Universitas Indonesia
3211015 – Pendidikan Dokter”
Pikiran saya tak berdaya untuk memproses kalimat itu. Semua terasa tidak nyata. Dengan sigap, saya langsung mengakses situs tersebut; menginput nomor peserta serta tanggal lahir begitu cepat saya rasakan. Saya takut, ini semua tidak nyata. Saya takut, apabila saya mengakses itu kembali, nama saya akan hilang.
Tapi tidak. Dia tetap di sana.
Ekspektasi saya salah: saya tidak menangis, saya tidak menjerit. Hanya diam dalam ketidakpercayaan.
Selama ini saya selalu dihadapkan akan kenyataan yang tidak berpihak pada saya. Saya selalu tahu bagaimana cara menghadapi itu. Tapi dengan kenyataan yang begitu indah sampai tak bisa dipercaya? Otak saya terasa terlalu dangkal untuk menghadapi itu.
Rasa senang dan bangga menghujani saya saat pikiran saya kembali dingin dan dapat memproses segala hal yang baru saja terjadi kepada saya. Di rumah, pelukan hangat dan cium tangis bahagia menyambut saya. Setiap keresahan terdahulu yang saya rasakan seakan tidak pernah ada. Semua kerja keras saya seakan terbayar saat itu juga.
Memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memang bukan suatu hal yang mudah bagi saya. Tapi penerimaan yang datang setelah perjuangan itu memang terasa begitu manis.
Harapan saya untuk diri saya sendiri adalah agar saya dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari saat ini. Perjalan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tidaklah mudah, dan dengan segala tantangan yang akan saya hadapi, saya berharap semua itu dapat mengukir saya dan mendewasakan saya sehingga pribadi saya akan datang akan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar saya. Saya berharap keluarga saya akan tetap ada di sana untuk mendoakan dan mendukung setiap langkah saya ke depannya. Saya juga berharap masyarakat di sekitar saya dapat menerima saya dengan baik dan membantu saya dalam mengembangkan diri saya menjadi pribadi yang lebih baik. Dan harapan saya untuk sejawat-sejawat saya di FKUI 2019... adalah agar tetap solid sampai akhir. Agar tidak pernah meninggalkan satu dengan lainnya di tengah jalan apapun yang terjadi. Saya ingin FKUI 2019 menjadi keluarga yang dekat di hati saya sampai kapan pun itu.
Harapan saya untuk satu tahun ke depan adalah menekuni ilmu yang sudah dianugerahi kepada saya dengan baik. Saya tidak hanya ingin sekedar mengumpulkan nilai dan mendapatkan nilai yang baik. Akan tetapi saya berniat untuk benar-benar mendalami dan menjalani setiap pengetahuan yang saya dapat sebaik-baiknya. Untuk dua tahun setelahnya, saya ingin lulus tepat waktu. Untuk 10 tahun mendatang, saya mungkin sedang menjalani pendidikan spesialis saya menjadi seorang dokter obstetri dan ginekologi. Dan 20 tahun yang mendatang saya dapat melihat diri saya menjalani pendidikan saya pendidikan magister saya untuk mendapatkan gelar MARS.
Pesan saya untuk teman-teman kami yang berkeinginan namun belum diberikan kesempatan untuk bergabung bersama kami adalah agar tetap teguh dan percaya pada Tuhan. Karena saya percaya, setiap kejadian di kehidupan kita merupakan rencana baik yang telah dirancang oleh Tuhan. Tuhan sudah merancangkan saya untuk kuliah di tempat lain agar mungkin dapat mempersiapkan diri saya untuk menghadapi tahun-tahun berikutnya di Universitas Indonesia. Tetaplah berusaha, namun jangan lupa pada-Nya, karena hidupmu adalah rancangan terbaik-Nya.
“Do the best, and let God do the rest.”
Selamat Prima. Teruslah berjuang menjadi dokter sebagai pemimpin masyarakat. Gantungkan cita-cita mu setinggi langit, tetaplah rendah hati dan gigih dalam belajar serta bersosialisasi