Narasi Perjuangan - Muhammad Farid Ar--Rizq
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 8 min read
Namaku adalah Muhammad Farid Ar-Rizq, orang-orang terdekat biasa memanggilku Farid. Pada 31 Juli lalu, aku berhasil diterima menjadi seorang mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia setelah sebelumnya bersekolah di SMAN 1 Bekasi. Aku lahir pada 4 April 2002 di Jakarta dan sejak kecil, menjadi seorang dokter telah menjadi mimpi yang aku sangat idamkan.
Semua berawal dari ketertarikanku terhadap buku. Dari bangku sekolah dasar, aku telah mempunyai ketertarikan besar untuk membaca. Dari majalah anak-anak hingga surat kabar, semua aku baca. Oleh karena itu, saat menjadi siswa SD, aku telah mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang ilmuwan.
Perubahan cita-citaku dari seorang ilmuwan dipicu oleh ibuku. Beliau sendiri adalah seorang lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang kemudian menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Sejak aku masih kecil, Ibu seringkali membawaku ke tempat kerjanya untuk melihatnya menangani pasien. Bagi aku kecil, melihat ibu bekerja merupakan hal yang paling keren di dunia. Meskipun belum sepenuhnya mengerti, aku kecil mulai bermimpi untuk menjadi seorang dokter layaknya Ibu.
Seiring dewasanya aku, keinginanku untuk menjadi seorang dokter pun bertambah mantap, meskipun pada awalnya, aku belum sepenuhnya mengerti apa arti sesungguhnya dari menjadi seorang dokter ataupun bagaimana cara meraih impian tersebut. Tetapi, lambat laun, dengan didikan serta nasihat-nasihat dari guru-guru dan kedua orang tuaku yang luar biasa aku perlahan paham makna dari impianku tersebut. Karena itulah, pada masa pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang aku tempuh di SMPI Al-Azhar 31 Summarecon Bekasi, aku mulai aktif mengikuti berbagai lomba-lomba keilmuan seperti debat, cerdas cermat, dan olimpiade sains. Selain itu, pada masa inilah aku mengukuhkan niatku untuk berkuliah di Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Tentu saja, hal ini dipengaruhi tak sedikit oleh ibuku yang notabene juga lulusan FK UI. Tetapi, juga karena Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia merupakan fakultas kedokteran tertua dan terbaik di Indonesia.
Setelah lulus SMP dengan nilai Ujian Nasional yang cukup memuaskan, aku melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kota Bekasi. Sayangnya, selama 3 tahun belajar di sana, aku jarang sekali mengikuti perlombaan baik akademis maupun non-akademis. Saat itu, yang aku prioritaskan hanyalah nilai akademik semata. Untuk beberapa waktu, strategi ini berhasil. Peringkat 1 di kelas berhasil aku raih dari semester pertama hingga ketiga di SMA. Sementara itu, pandanganku terhadap FK UI tak pernah berubah. Di benakku, FK UI selalu menjadi sebuah standar emas dan latar belakang dari seluruh usahaku untuk memeperoleh nilai akademis yang memuaskan.
Tragisnya, pada semester keempat, nilai rata-rata raporku mengalami penurunan. Aku sangat sedih ketika mengetahui hal tersebut sebab aku tahu bahwa nilai rapor yang tinggi dan stabil akan berpengaruh secara signifikan terhadap kesempatanku untuk diterima di FK UI di jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kemerosotan ini memaksaku untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kekurangan-kekuranganku pada semester tersebut. Pada semester kelima, nilaiku kembali naik, meskipun aku belum mampu untuk meraih peringkat pertama layaknya semester-semester sebelumnya.
Beberapa waktu berlalu dan waktu pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri pun semakin dekat. Untuk mempersiapkan murid-muridnya, sekolahku mengadakan pendataan nilai rata-rata rapor untuk memudahkan kami memilih jurusan dan universitas yang tepat dalam SNMPTN. Seperti yang kusangka, nilai rata-rataku sama sekali tak cukup untuk memungkinkan diterimanya aku di FK UI. Tentunya, hal ini membuatku sangat sedih karena ternyata pencapaian akademisku selama ini gagal untuk mengantarkanku masuk ke fakultas serta universitas yang selama ini aku impikan melalui jalur undangan, yang merupakan salah satu jalur yang sering dianggap berprestise tinggi.
Untuk menyiasati kekurangan nilaiku, akupun terpaksa untuk berpikir dengan realistis dalam pemilihan jurusan dan universitas tujuanku di SNMPTN. Setelah berdiskusi dengan guru-guru serta kedua orangtuaku, akupun memilih Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sebagai pilihan pertamaku dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebagai pilihan kedua. Jujur saja, saat itu aku sangat yakin bahwa nilaiku cukup untuk membuatku diterima. Karena itulah, aku tak terlalu ambil pusing ketika ketika memikirkan ujian-ujian lain yang harus aku ikuti terlebih dahulu, seperti Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), toh aku pasti diterima di Unibraw(Universitas Brawijaya), begitu pikirku kala itu. Meskipun begitu, rasa kecewa akan tak dapatnya aku masuk FK UI melalui SNMPTN tetap tertambat di hati.
Tak terasa, pengumuman SNMPTN semakin dekat. Optimismeku yang tadinya kuat perlahan goyah seiring berlalunya hari. Di dalam hatiku, keyakinan berubah menjadi harap-harap cemas. Tetapi, karena dukungan dari orangtua dan teman-teman, aku mengabaikan kecemasan tersebut. ‘Udah tenang aja, kamu pasti diterima, kok.’ Itulah ucapan yang kerap terlontar dari mulut orang-orang terdekatku ketika aku mencurahkan kecemasanku kepada mereka. Akupun memilih untuk memercayai mereka. Hingga akhirnya, hari pengumuman pun tiba.
Hari itu, 23 Maret 2019, masih terbesit jelas di ingatanku. Di pagi hari pengumuman, aku masih harus mengikuti Ujian Sekolah Berbasis Nasional terlebih dahulu, sehingga selama durasi ujian tersebut aku sulit sekali untuk fokus, karena yang terpikirkan olehku hanyalah hasil pengumuman Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional yang akan diumumkan pada siang harinya. Setelah aku dan teman-teman selesai ujian, kami memutuskan untuk membuka hasil pengumuman bersama-sama sembari membeli makan siang di salah satu restoran cepat saji dekat rumahku.
Aku masih ingat bagaimana kerasnya jantungku berdebar ketika jempolku akan memencet tombol ‘Cek Hasil Seleksi’. Aku juga ingat betapa dunia terasa berputar ketika laman penerimaan kemudian menunjukkan warna merah yang disertai kata-kata ‘Mohon maaf, anda tidak lulus’. Singkat cerita, aku gagal di Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Kegagalan yang aku alami itu membuatku sempat terpuruk secara emosional selama beberapa waktu. Rasa sedih dan kecewa semakin terasa olehku ketika melihat banyaknya temanku yang diterima. Bahkan, ada salah seorang murid sekolahku yang diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, jurusan yang dengan bodohnya aku tempatkan di pillihan kedua. Namun, pada akhirnya aku memaksa diriku untuk bangkit dan mencoba untuk berfokus ke jalur yang selanjutnya dapat aku tempuh untuk masuk ke FK UI, yaitu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN).
Berbagai hal aku lakukan untuk mempersiapkan diri mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang menjadi langkah awal dari SBMPTN, mulai dari membeli berbagai buku-buku soal, belajar bersama teman-teman yang akan mengikuti UTBK lainnya, hingga mengerjakan latihan-latihan di tempat les hingga larut malam. Hal-hal tersebut aku lakukan dengan rutin selama berminggu-minggu untuk memastikan bahwa aku telah berusaha secara maksimal untuk menghadapi SBMPTN.
Dalam menghadapi rasa kecewa dari kegagalanku di SNMPTN, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu merupakan tanda Tuhan yang Maha Kuasa tidak menginginkanku lalu di kedua jurusan dan universitas tersebut serta bahwa Ia memberikanku kesempatan untuk mengejar mimpi yang sesungguhnya aku inginkan, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memang awalnya terasa sangat sulit, tapi keyakinan inilah yang menarikku kembali dari keterpurukan emosional yang aku alami.
Tanggal 27 April 2019 merupakan hari Ujian Tulis Berbasis Komputer pertamaku dan aku mendapatkan lokasi ujian di Gedung Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia di Depok. Karena sebelumnya aku telah melakukan persiapan belajar yang menurutku cukup matang, hari itu aku merasa cukup yakin akan dapat mengerjakan soal yang diujikan. Nyatanya, ketika mengerjakan, banyak sekali soal yang aku tak dapat selesaikan dan bahkan tak tahu cara penyelsaiannya. Hal ini tentu saja membuatku sangat kecewa terhadap diriku sendiri. Aku pun sempat merasa down kembali selama beberapa hari kedepan, sama halnya seperti ketika SNMPTN. Layaknya SNMPTN pula, aku tak mau menyerah dan justru memanfaatkan ketidakmampuanku mengerjakan soal UTBK sebagai momen sumber motivasi untuk memacu diriku lebih kuat lagi.
Jarak satu bulan antara UTBK pertama dan kedua aku coba manfaatkan semaksimal mungkin. Ribuan soal aku kerjakan dan waktu berjam-jam aku habiskan di tempat les untuk belajar bersama pembimbingku di luar jam les biasa. Bahkan, aku selalu membawa buku kumpulan rumus-rumus ke manapun aku pergi, baik dari kamar mandi hingga mall. Semua itu aku lakukan demi mencapai nilai UTBK kedua yang lebih memuaskan dan cukup untuk membuatku pantas diterima FK UI.
Satu bulan berlalu dengan tak terasa dan hari UTBK 2 pun tiba. Hari itu tanggal 26 Mei 2019, kali ini aku mendapat lokasi ujian di sekolahku sendiri, yakni SMAN 1 Bekasi. Lingkungan sekolah yang telah familiar membuatku merasa lebih tenang dari UTBK sebelumnya, sehingga aku lagi-lagi yakin, bahwa kali ini, aku pasti bisa. Ketika ujian berlangsung, aku juga merasa bahwa performaku kala itu lebih baik dari pada yang sebelumnya. Karena itulah, saat hasil ujian diumumkan sebulan kemudian dan ternyata aku mendapatkan hasil yang lagi-lagi tidak memuaskan, duniaku serasa hancur.
Ketika hari untuk menentukan pilihan jurusan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tiba, aku yang telah hopeless terhadap prospekku untuk berkuliah di jurusan impianku, FK UI, kembali memasukkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Universitas Brawijaya sebagai pilihanku, dengan berharap akan adanya suatu keajaiban sehingga aku bisa diterima di salah satu dari keduanya.
Karena sejak awal aku telah merasa bahwa nilai kedua UTBK-ku tak akan cukup bagus, aku memutuskan untuk mendaftar ke seleksi jalur mandiri yang diadakan oleh Universitas Indonesia, yaitu SIMAK UI. Untuk memaksimalkan kesempatan, selain mendaftar di SIMAK Reguler, aku juga mendaftarkan di SIMAK Kelas Khusus Internasional (KKI), serta ujian mandiri lainnya, yakni Seleksi Masuk (SELMA) Unibraw dan Ujian Mandiri (UM) Universitas Diponegoro, dengan memilih fakultas kedokteran di semua universitas tersebut.
Oh ya, bagaimana dengan hasil SBMPTN-ku? Seperti yang kukira, aku gagal lagi. Tetapi, ada perbedaan antara kegagalanku kali ini dan yang sebelum-sebelumnya. Kali ini, aku tak merasa sesedih ketika gagal di SNMPTN. Aku hanya menganggapnya seperti layaknya suatu kegagalan biasa, dan kembali berfokus untuk belajar untuk SIMAK UI dan ujian mandiri lainnya.
Sebelum mengikuti SIMAK UI Reguler di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2019, aku terlebih dahulu harus mengikuti SIMAK UI KKI di Depok pada tanggal 14 Juli dan naik pesawat hari itu juga ke Malang untuk SELMA Unibraw di keesokan harinya. Perjalanan tersebut sangatlah menguras tenaga fisik dan mentalku hingga ke batas maksimal. Selain itu, sebelum SIMAK UI Reguler aku juga harus mengikuti UM UNDIP di Jakarta pula pada 20 Juli. Ketika hari ujian SIMAK Reguler tiba, aku berhasil mengerjakannya dengan cukup lancar, meskipun ada beberapa soal yang aku sama sekali tak paham, serta yang menurutku kala itu paling fatal, aku lupa menulis judul untuk esai yang telah kubuat.
Lantas, bagaimana hasil dari semua ujian mandiri tersebut? Singkatnya, aku gagal lulus SELMA Unibraw dan UM UNDIP. Meskipun aku sebelumnya merasa telah terbiasa dengan penolakan-penolakan oleh berbagai perguruan tinggi, kedua kegagalan tersebut tetap membuatku sangat sedih dan kecewa. Tetapi, ketika aku ditolak oleh kedua universitas tersebut, Universitas Indonesia tampaknya masih ingin memberikanku harapan.
Aku berhasil lulus ujian tulis SIMAK KKI dan diundang untuk mengikuti tes selanjutnya, yaitu tes psikometri dan wawancara. Hal ini merupakan kejutan yang sangat menyenangkan bagiku, karena akhirnya, akhirnya, aku berhasil lulus dalam sebuah ujian. Akupun mengikuti tes psikometri dan wawancara dengan lancar, sepenuhnya berharap untuk diterima di Fakultas Kedokteran Kelas Khusus Internasional Universitas Indonesia. Aku tak menaruh banyak harapan di SIMAK Reguler, karena banyaknya blunder yang kualami dalam mengerjakannya.
Semua berubah pada 31 Juli 2019. Aku yang sudah pesimis merasa enggan untuk membuka pengumuman SIMAK Reguler. Pikirku, sangat tak mungkin aku diterima dengan banyaknya kesalahan yang aku buat ketika mengerjakan dan lebih baik aku fokus untuk berharap ke SIMAK KKI. Karena itulah, ketika ayahku menelponku untuk memberitahu bahwa aku diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui SIMAK Reguler, aku tak mampu berkata apa-apa. Berbagai emosi meliputi diriku secara sekaligus; kaget, gembira, tak percaya, terharu semuanya bercampur aduk di dalam benakku. Aku hanya mampu menunjukkan laman pengumuman kepada ibuku, yang kemudian menangis terharu.
Hingga saat ini, aku masih sedikit tak percaya bahwa aku berhasil diterima di jurusan dan universitas yang telah kuimpikan sejak bertahun-tahun ini. Akhirnya, semua perjuangan dan cobaan yang aku lalui terbayarkan pula. Tetapi, ini juga berarti bahwa perjalananku menjadi seorang dokter baru saja dimulai. Harapanku, dengan diterimanya aku di FK UI, aku dapat mewujudkan impianku sejak kecil untuk menjadi seorang dokter yang bermanfaat dan dapat berperan positif dalam peningkatan kualitas kesehatan negara baik dimulai dari diriku sendiri, keluarga, teman-teman seangkatan, hingga masyarakat secara luas.
Meskipun perjalananku baru saja dimulai, bukan berarti aku tak memiliki visi untuk masa depanku nantinya. Sebaliknya, aku berencana untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi mahasiswa dan pribadi yang berprestasi serta membanggakan bagi keluarga, fakultas, dan juga Universitas Indonesia. Aku juga berharap agar nantinya bisa lulus dengan predikat cum laude dan menjadi seorang dokter yang handal di bidangnya dan dapat berperan dalam peningkatan kualitas kesehatan di negeri ini.
Jadi, dari narasi singkat tentang kegagalan-kegagalan dan akhirnya keberhasilanku menggapai FK UI ini, pesan yang ingin aku sampaikan kepada kalian yang masih gigih berjuang untuk diterima adalah jangan pernah menyerah, gunakan kegagalan sebagai landasan kalian untuk mencapai kesuksesan, karena kegagalan bukanlah suatu ajang untuk bersedih, melainkan suatu ajang untuk introspeksi dan memperbaharui diri kita menjadi versi yang jauh lebih siap dan mampu untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan.
Kegagalan itu bagaikan obat. Memang, rasanya pahit, tapi pada akhirnya kita akan merasa lebih baik karenanya.
Comments