top of page
Search

NARASI PERJUANGAN -- MUHAMMAD IRHAM AL HAFIZH

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 18, 2019
  • 8 min read

Nama saya Muhammad Irham Al Hafizh. Sebelumnya, saya bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Jakarta, di daerah Bukit Duri, Jakarta Selatan. Saat ini, saya adalah Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2019. Inilah cerita perjuangan saya untuk mencapai gelar tersebut.


Ketika mendengar kata “FKUI”, yang terpikirkan oleh saya adalah “wah, keren banget,” “pasti bangga banget kuliah di sana,” “gedung FKUI itu kan gedung yang paling bagus di UI,” dan berbagai ungkapan kagum lainnya. Namun, tidak bisa saya pungkiri, ungkapan kekaguman tersebut senantiasa disertai oleh ungkapan ketidakpercayadirian. “Ah, mana mungkin saya bisa kuliah di sana,” “belajar biologi di SMA saja sudah terseret-seret, apalagi belajar ilmu kedokteran di FKUI?” “Wah, kalau kuliah di sana, ekspektasi orang-orang kepada saya pasti tinggi.” Begitu yang saya pikirkan dahulu. Intinya, sejak dulu, saya selalu memandang FKUI sebagai fakultas dan kampus yang paling ternama di Indonesia. FKUI adalah puncak utama prestasi bagi sebagian besar orang-orang Indonesia.


Saat saya kecil, ketika ditanya “apa cita-cita kamu?” Saya akan selalu menjawab “dokter!” Tapi saya rasa, jawaban itu hanyalah jawaban anak kecil yang masih berpikir sempit. Saat kecil, orang tua saya selalu berkata kepada saya bahwa apapun pekerjaan yang akan saya lakukan di masa depan, niatkanlah untuk membantu orang lain, bukan untuk memperoleh uang yang banyak. Saya juga ingat, ketika di sekolah dasar, siswa kelas enam diminta untuk merencanakan di sekolah apa mereka ingin melanjutkan studinya. Sebenarnya hal itu dilakukan karena kami sedang belajar membuat curriculum vitae (CV) di pelajaran Bahasa Indonesia. Saya yang tidak memiliki rencana apa-apa hanya bisa menuliskan sekolah-sekolah terbaik di Jakarta. Saya menulis SMP Negeri 115 Jakarta, SMA Negeri 8 Jakarta, dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Akhirnya, saya diminta untuk membacakan CV saya. Teman-teman dan guru saya pun mengaminkan rencana dadakan saya. Kemudian di Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya ingat bahwa pada suatu hari, semua siswa diminta untuk memakai baju atau kostum sesuai dengan cita-cita masing-masing. Saat kelas tujuh, saya memakai jas laboratorium yang melambangkan bahwa saya ingin menjadi dokter. Kemudian pada kelas delapan, saya memakai setelan jas yang melambangkan bahwa saya ingin menjadi pengusaha muda. Sangat terlihat bahwa saya belum memiliki cita-cita yang jelas. Lalu, singkat cerita, ketika di SMA, saya kerap merasa minder dan tidak percaya diri karena teman-teman saya lebih pintar dan berprestasi daripada saya serta teman-teman saya memiliki cita-cita yang jelas dan konkret. Sedangkan, saya tidak bisa menentukan cita-cita saya sendiri. Saya benar-benar kebingungan tentang cita-cita saya. Saya bingung dalam menentukan jalan hidup saya. Saya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya dan tidak pernah mengira bahwa hal ini akan seserius itu saat ini. Saat ditanya oleh orang-orang “mau kuliah di mana?” saya hanya bisa menjawab dengan ungkapan “belum tahu” atau “mohon doakan yang terbaik.” Terkadang saya juga menjawab asal “teknik pangan” atau “teknik industri” atau “kesehatan masyarakat.” Hasil tes minat bakat saya pun berbeda-beda. Ada yang menyarankan manajemen perhotelan, ada pula yang menyatakan bahwa IQ saya di bawah rata-rata dan menyarankan D3 gizi. Dalam kebingungan saya, orang tua saya selalu menekankan kepada saya bahwa saya boleh kuliah di mana saja dan di jurusan apa saja. Namun, mereka juga menekankan kepada saya bahwa saya adalah anak yang cerdas dan memiliki potensi untuk berkuliah di tempat yang terbaik, selama saya mau berusaha. Orang tua saya sangatlah berharap bahwa saya bisa berjuang untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Semester enam pun tiba, semester paling sibuk di sekolah menengah atas. Kala itu, saya senang sekali bisa mendapat jatah Seleksi Nilai Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri dengan menggunakan nilai rapor semester satu sampai semester enam. Di SNMPTN, saya memilih program studi Ilmu Gizi Universitas Indonesia dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Rekayasa Institut Teknologi Bandung (SITH-R ITB). Sebenarnya, saya belum terlalu yakin dengan pilihan saya. Tapi karena untuk memanfaatkan kesempatan, saya memilih kedua pilihan tersebut. Saya memilih ilmu gizi karena saya sangat tertarik dengan ilmu tersebut dan saya berpikir bahwa ilmu tersebut tidak terlalu sulit untuk dipelajari. Selain itu, saya juga bisa menolong orang lain apabila mempelajari ilmu gizi. Saya memilih SITH-R ITB karena saya sangat tertarik dengan menjadi peneliti rekayasa hayati. Saya merasa meneliti dan merekayasa makhluk hidup adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Saya merasa optimis dapat diterima di salah satu pilihan saya karena nilai saya yang cukup bagus dan rendahnya peminat pilihan tersebut di sekolah saya (hanya saya yang memilih kedua pilihan tersebut). Singkat cerita, waktu pengumuman SNMPTN pun tiba. Saat itu hari Senin pukul 05.30 dan saya masih tertidur. Kemudian ayah saya masuk ke kamar dan tiba-tiba membangunkan saya, menunjukkan laman hasil seleksi, dan berkata “tetap semangat ya, nak. Masih ada kesempatan selanjutnya.” Saya yang masih setengah sadar mengiyakan dan tidak terlalu memikirkannya. Di sekolah, ramai teman-teman saling bertanya tentang hasil SNMPTN. Mendengar bahwa saya tidak diterima, teman-teman saya kaget. Mendengar bahwa teman-teman saya diterima di pilihan masing-masing lambat laun membuat saya iri dan sedih. Saya berpikir “kenapa saya bisa tidak diterima? Bukankah nilai saya bagus dan saingan saya di pilihan saya sangat sedikit?” Saya sangat sedih dan kecewa. Kemudian, keseriusan saya dalam belajar semakin bertambah. Lalu, tibalah saatnya pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), sebuah sistem tes dan seleksi untuk menyortir siswa ke kampus-kampus negeri sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan mereka. Di SBMPTN ini, saya kembali menjadi ragu mengenai program studi apa yang sebaiknya saya pilih. Saya yang belum tahu ingin mendaftar ke kampus mana, hanya dapat berpasrah dan menyiapkan yang terbaik untuk mengerjakan mata ujian Tes Potensi Skolastik (TPS). Dengar-dengar, mata ujian TPS menyumbang bobot terbesar ke nilai akhir keseluruhan tes. Singkat waktu, nilai ujian pun diumumkan dan masa pendaftaran seleksi pun dibuka. Karena bingung, saya pun selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan petunjuk. Beberapa hari sebelum masa pendaftaran ditutup, saya mulai merasakan kemantapan. Saya merasa bahwa apa yang dikatakan orang tua saya adalah benar. Saya merasa bahwa saya bisa melanjutkan studi saya di tempat yang terbaik apabila saya mau berusaha. Saya merasa bahwa saya dapat membawa rasa bangga di keluarga saya karena apabila saya lulus di FKUI, maka saya akan menjadi dokter pertama di keluarga saya. Saya merasa bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang tidak pernah mati, dinamis atau senantiasa berkembang, dan saya juga ingin senantiasa berkembang. Saya merasa bahwa dokter adalah profesi yang cocok bagi saya karena dokter adalah profesi yang paling mudah membantu orang. Saya merasa bahwa dokter adalah profesi yang mulia dan saya ingin menjadi orang yang mulia. “Go big or go home,” pikir saya. Kemudian, saya memantapkan pilihan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Mungkin, usaha yang saya lakukan untuk bisa diterima di FKUI cukup berbeda dari usaha orang lain, mengingat kondisi saya pada paragraf sebelumnya. Usaha yang saya lakukan adalah melatih kemampuan skolastik saya dengan cara memperbanyak mengerjakan soal latihan. Saya mengerjakan berbagai soal, seperti soal Tes Potensi Akademik, soal Graduate Management Admission Test (GMAT), soal Graduate Record Examination (GRE), dan soal Scholastic Aptitude Test (SAT). Saya juga memperbanyak soal bahasa Indonesia mengenai ejaan. Selain itu, saya juga berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya berusaha mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan lebih baik. Saya berusaha melakukan amalan-amalan tambahan. Saya selalu berdoa untuk bisa diterima agar saya bisa membahagiakan orang tua saya. Saya selalu berdoa bahwa apabila saya diterima, saya menginginkan hati yang bersyukur dan tidak congkak, serta apabila tidak diterima, saya menginginkan hati yang lapang dan tetap semangat.


Sebelum pengumuman seleksi tanggal 9 Juli 2019, saya merasa khawatir dan gugup. Memang nekat sekali saya. Kabar tentang pilihan saya tersebar ke mana-mana. Kabar tersebut tersebar ke telinga keluarga besar, rekan, guru-guru, dan lain-lain. Saya juga merasa takut diremehkan karena nilai saya tak seberapa, tapi berani memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di pilihan pertama. “Ya sudah, persiapkan belajar untuk SIMAK ya, nak” ujar ayah. Saya mengiyakan. Tapi, ada sedikit harapan saya bahwa saya akan diterima berkat nilai Tes Potensi Skolastik saya. Pukul 15.00 pun tiba. Jujur, saya merasa cukup tertekan. Maka dari itu, saya melaksanakan salat asar terlebih dahulu untuk menenangkan diri. Setelah salat, saya kembali membaca doa, lalu menekan tombol lihat pengumuman. Saya terkejut, bangga, terharu, dan sedih. Campur aduk rasanya. Saya terkejut, karena saya kira saya tidak akan diterima. Bangga, tentunya karena saya dapat mencapai sebuah prestasi yang berharga. Saya terharu ketika melihat ibu saya menangis karena senang. Saya pun turut menangis. Sedih, ketika mengetahui bahwa teman-teman seperjuangan saya di sekolah menengah atas tidak dapat melanjutkan studinya di FKUI bersama saya. Saya merasa bersalah. Mereka, teman-teman saya, yang sudah berjuang dengan cita-cita yang jelas sejak awal SMA tidak diterima, sedangkan saya yang baru berjuang di akhir semester dapat diterima. Saya menyalahkan diri sendiri. Kemudian saya berpikir, “hei, bukankah ini takdir Tuhan? Kalau kamu menyalahkan dirimu, bukankah artinya kamu menyalahkan takdir Tuhan?” Karena itu, saya mulai bersyukur kembali dan berusaha menjadi teman yang menghibur dan menghangatkan bagi teman-teman saya yang belum berhasil mencapai cita-citanya.

Diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah sebuah kebanggaan sekaligus sebuah tanggung jawab besar. Saya menaruh harapan pada diri saya sendiri bahwa saya dapat berjuang dan bertahan dalam belajar di FKUI, dengan bantuan teman-teman dan kakak-kakak tingkat tentunya. Selain itu, saya berharap bahwa saya dapat mengembangkan pribadi saya dengan cara menyadari bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang harus senantiasa dikaji dan berkembang. Untuk keluarga saya, saya berharap mereka bisa menjadi tempat yang nyaman untuk saya beristirahat ketika lelah. Saya harap mereka bisa menjadi kehangatan yang menerpa dikala dingin melanda hati saya. Saya harap mereka selalu mendukung saya sampai akhir perjuangan saya di bidang kedokteran. Untuk masyarakat, saya berharap bahwa mereka dapat lebih yakin dalam mempercayai dokter sebagai tenaga kesehatan yang berpendidikan sehingga kasus-kasus malpraktik akibat ulah “dukun kesehatan” dan orang-orang tak bertanggung jawab lain dapat diminimalkan. Saya harap, masyarakat dapat menganggap dokternya sebagai rekan dan bukan sebagai seseorang yang harus ditakuti. Bagi teman-teman FKUI 2019, saya harap mereka dan saya dapat bahu-membahu saling membantu ketika kesusahan, walau dengan bantuan sekecil apapun. Mulai dari saling sapa, menanyakan kabar, tersenyum, hingga belajar bersama.


Saya memiliki impian dan rencana yang akan saya lakukan selama berada di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan setelah lulus dari tempat tersebut. Pada satu tahun pertama, saya ingin mengikuti beberapa kepanitiaan fakultas, mencari lebih banyak teman, membentuk kelompok belajar, dan mungkin bergabung dengan Center for Indonesian Medical Students’ Activities Universitas Indonesia (CIMSA UI). Saya juga tertarik untuk mulai mempelajari bahasa isyarat karena menurut saya, belum banyak orang terutama dokter yang bisa berbahasa isyarat. Kemudian pada tiga tahun pertama, saya berencana untuk mencari berbagai kesempatan pertukaran pelajar ke luar negeri dan mengikutinya apabila memang berkesempatan. Dalam 10 tahun, saya berencana untuk lulus dengan predikat cum laude, menjalani koasistensi dengan sabar, lulus ujian kedokteran, lalu bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta sembari mengenyam pendidikan di tingkat selanjutnya. Jujur, saya belum bisa memastikan keinginan saya, apakah saya ingin menjadi dokter peneliti atau menjadi dokter spesialis. Apabila saya berkeinginan menjadi dokter spesialis, saya tertarik dengan spesialis gizi klinik atau spesialis anak. Dalam 20 tahun, saya berencana untuk lulus pendidikan spesialis atau pendidikan S2. Kemudian apabila saya menjadi dokter peneliti, saya ingin bekerja di lembaga kesehatan nasional maupun internasional, seperti di Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).


Itulah cerita perjuangan saya untuk bisa diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, rencana-rencana saya selama belajar di dalamnya, dan impian-impian saya ke depannya. Saya ingin berpesan kepada teman-teman yang ingin melanjutkan studinya di FKUI. Pertama-tama, sebaiknya teman-teman meninjau berbagai keuntungan dan konsekuensi apabila belajar di FKUI. Jangan segan untuk bertanya dan berkonsultasi kepada guru bimbingan konseling, orang tua, maupun orang-orang yang sudah diterima di FKUI pada tahun-tahun sebelumnya. Kemudian, latihlah diri teman-teman untuk menjadi pribadi yang gigih dan ulet serta ingin senantiasa belajar untuk berkembang. Hal ini dikarenakan belajar di FKUI merupakan proses yang sangat panjang dan melelahkan. Ilmu kedokteran juga merupakan ilmu yang senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman, sehingga seorang dokter tidak bisa dan tidak boleh berhenti belajar. Ketiga, tentunya, belajar dengan sungguh-sungguh, terutama untuk lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Carilah informasi-informasi terbaru mengenai proses seleksi masuk perguruan tinggi serta kiat-kiat agar dapat lolos. Teman-teman dapat melakukan hal ini dengan bantuan kakak-kakak kelas dan guru bimbingan konseling. Terakhir dan yang terpenting, janganlah berputus asa apabila belum berhasil di kesempatan pertama. Semua orang memiliki porsi waktunya masing-masing sesuai dengan takdir, sehingga janganlah membandingkan kecepatan mencapai cita-cita seseorang dengan orang lain. Ada orang yang bisa langsung diterima di perkuliahan saat pertama kali mencoba, ada yang harus melewati berbagai proses seleksi, ada yang harus menunggu sampai kesempatan selanjutnya, dan lain-lain. Apabila belajar di FKUI merupakan cita-cita teman-teman yang amat teman-teman impikan, maka kejarlah cita-cita tersebut meski harus menunggu satu atau dua tahun. Namun, bagi saya, belajar ilmu kedokteran di tempat manapun tidak masalah, karena yang menentukan kompeten atau tidaknya seorang dokter, pada akhirnya, adalah karakter dokter itu sendiri.


“Waktu adalah segalanya. Apabila sesuatu memang ditujukan untukmu, maka hal itu akan datang pada waktu yang tepat dan dengan alasan yang tepat.”

 
 
 

Recent Posts

See All
Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara...

 
 
 

תגובות


© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page