Narasi Perjuangan -- Rafaella Shiene Wijaya
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 9 min read
Halo, semuanya! Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama lengkap saya adalah Rafaella Shiene Wijaya dan biasa dipanggil Ael untuk lebih mudahnya. Saya berasal dari Bekasi, Jawa Barat dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sebelumnya saya mengenyam pendidikan sekolah menengah atas di SMAK PENABUR Harapan Indah, Bekasi.
Pandangan saya terhadap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) sejak kecil adalah suatu angan-angan besar yang harus bisa saya wujudkan di kemudian hari. Saya memandang FK UI sebagai batu loncatan besar menuju cita-cita saya yang tentu tidak mudah untuk dilompati sembarangan orang. Dalam benak saya, fakta bersejarah FK UI sebagai fakultas kedokteran tertua di Indonesia yang telah melahirkan banyak tokoh penting merupakan bukti yang memperkuat pandangan saya bahwa FK UI pasti menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan saya akan menemukan banyak orang hebat di dalamnya.
Motivasi saya yang menguatkan hati saya untuk mendaftar di FK UI adalah ketertarikan saya pada bidang ilmu neurosains dan dunia psikiatri serta keprihatinan saya terhadap kesejahteraan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia. Ditambah lagi, semakin lama kesehatan mental masyarakat Indonesia dan bahkan dunia memiliki kecenderungan untuk terus memburuk dan berkembang menjadi gangguan mental yang lebih serius terutama di tengah keadaan saat ini yang menuntut setiap orang untuk memiliki standar lebih tinggi bagi dirinya sendiri untuk dapat bersaing di tengah dunia digital ini. Selain itu, saya juga melihat kecenderungan terjadinya persekusi pada penderita gangguan mental yang lebih tinggi dibandingkan pada orang kebanyakan sebagai masalah besar yang dimiliki bangsa ini. Saya juga memiliki pengalaman mendampingi orang dengan gangguan mental ringan yang menjadi pasien psikiatri dan merasakan bahwa penyakit mental masih merupakan topik yang tabu dibicarakan kebanyakan orang, bahkan kepada keluarga pasien tersebut sendiri.
Hal-hal tersebut di atas merupakan motivasi terkuat saya untuk masuk dan menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai jalan masuk saya menuju dunia psikiatri yang saya minati dan mewujudkan cita-cita besar saya, yaitu mengubah wajah dunia psikiatri di Indonesia menjadi lebih manusiawi dan modern. Saya berpendapat bahwa dengan memiliki gelar dokter, terutama dokter lulusan FK UI, dapat membukakan jalan yang lebih luas bagi saya untuk berkontribusi di dunia kesehatan Indonesia. Selain memenuhi fungsi kuratif dan rehabilitatif, saya berharap setelah lulus dari FK UI, saya juga dapat menjadi dokter berkualitas yang turut mengupayakan aspek yang lebih luas, yaitu aspek promotif dan preventif lewat media kreatif.
Motivasi saya lainnya untuk dapat berkuliah di FK UI adalah ketertarikan saya untuk menggeluti dunia organisasi dan bahkan turut bergerak dalam dunia advokasi di tahun-tahun ke depan setelah lulus dari FK UI. Saya mengamati bahwa lingkungan kemahasiswaan dan organisasi di UI cukup mendukung minat saya dan banyaknya badan kemahasiswaan yang mewadahi minat bakat mahasiswa di FK UI menghapus stigma negatif bahwa mahasiswa fakultas kedokteran hanya bisa belajar saja dan tidak punya kehidupan lain. Menurut saya, fasilitas badan kemahasiswaan yang mewadahi dan mengasah minat serta bakat mahasiswa selain kemampuan akademisnya saja merupakan nilai tambah bagi FK UI dan merupakan kemewahan tersendiri bagi mahasiswa kedokteran untuk dapat berkembang dan berprestasi di bidang lain selain medis.
Awal perjuangan dan perjalanan saya untuk dapat masuk ke FK UI sebenarnya telah dimulai semenjak lama. Saya selalu bercita-cita untuk dapat meraih hal-hal yang dianggap mustahil bagi sebagian orang dan bekerja keras untuk hal itu. Ketertarikan saya berawal jauh ketika saya masih duduk di sekolah dasar. Saya selalu merasa bahwa pelajaran hafalan di sekolah dapat membuat saya lebih menonjol dibanding pelajaran-pelajaran hitungan di sekolah. Di situlah saya mulai tertarik mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan alam, terutama biologi, dibanding pelajaran lain yang tidak terlalu saya dalami. Melihat hal itu, ibu saya menyarankan saya untuk menjadi dokter saja ketika besar nanti, suatu cita-cita umum bagi anak kecil kebanyakan. Padahal, saat itu saya masih bercita-cita jadi astronot dan berkarier di NASA yang lama-lama menghilang dan berganti jadi memiliki karier di dunia militer walaupun tidak angkat senjata. Cita-cita semasa kecil yang mudah berganti-ganti ini cukup umum dialami kebanyakan orang, termasuk saya. Namun, di antara banyaknya cita-cita tersebut satu profesi tetap saya pegang dan lamat-lamat saya kumandangkan dalam hati meskipun jarang saya ungkapkan pada orang-orang, yaitu menjadi dokter, dan harus dokter lulusan UI karena saya tidak ingin membebani orangtua yang membiayai.
Memasuki dunia sekolah menengah pertama, saya mulai menggeluti biologi secara lebih komprehensif dan mendalam. Saya mulai dipilih menjadi representasi sekolah untuk mengikuti pelatihan Olimpiade Sains Nasional (OSN) dengan cabang ilmu biologi dan berhasil lolos hingga tahap provinsi. Saya menyadari bahwa saya lebih meminati cabang ilmu anatomi dan fisiologi tubuh manusia dibanding cabang ilmu lainnya seperti fisiologi hewan dan tumbuhan. Semenjak saat itu, saya menjadi lebih yakin untuk menekuni dunia kesehatan saat kuliah nanti. Namun, keraguan dan ketidakyakinan untuk bisa menggapai cita-cita tersebut sering datang dan pergi, terutama ketika masa-masa penentuan, yaitu tingkat sekolah menengah atas atau SMA.
Ketika waktu untuk memilih peminatan antara peminatan matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA) atau peminatan sosial dan humaniora (SOSHUM) ketika SMA, saya sempat bimbang sejenak karena saya amat menyukai pelajaran hafalan dan telah mulai mengembangkan minat di bidang sosial dan politik. Beruntung, kebimbangan itu tidak berlangsung lama. Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya akhirnya tetap memilih peminatan MIPA demi memperjuangkan cita-cita menjadi dokter meskipun cukup berat karena harus mengorbankan minat saya pada dunia sosial dan politik untuk sementara dan karena saya tidak terlalu menyukai pelajaran matematika dan fisika. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menghadiahkan saya posisi sebagai juara umum II program peminatan MIPA pada kelas 11. Saya pun menyadari bahwa pilihan peminatan ini bukanlah pilihan yang salah karena saya masih dapat mengembangkan jiwa sosial saya melalui berbagai organisasi seperti organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan mengepalai beberapa kepanitiaan besar di tingkat sekolah. Pada tahun-tahun di SMA, saya kembali menggeluti dunia OSN dengan mengikuti beberapa pelatihan. Namun, karena fokus saya telah terbagi dengan pelajaran akademik di sekolah, organisasi, dan lomba-lomba akademik lainnya, saya hanya menjadikan ajang pelatihan-pelatihan tersebut sebagai tambahan ilmu untuk saya. Puncaknya, pada tahun terakhir saya di SMA, yaitu kelas 3 SMA, saya dan beberapa teman saya mulai menggeluti dunia mikrobiologi dengan mengikuti Lomba Mikrobiologi Nasional di Bandung. Saya dan tim saya berhasil meraih posisi final pada tingkat 7 besar nasional untuk ide aplikasi mikrobiologi paling inovatif.
Saya menghabiskan waktu saya selama SMA untuk benar-benar mengeksplorasi diri dan kemampuan saya. Selain pada bidang akademis, saya juga mulai mengembangkan minat pada bidang seni dan olahraga. Saya mulai terjun dalam dunia teatrikal dengan bergabung bersama ekstrakurikuler teater sekolah dan mulai menggarap skrip drama musikal serta tergabung dalam tim futsal putri di sekolah. Minat saya terhadap isu sosial dan politik saya salurkan dalam lomba-lomba debat Bahasa Indonesia dan pidato Bahasa Inggris. Saya mengeksplorasi diri saya sepuasnya selama masa SMA, yang membuat saya menyadari potensi maksimal diri saya. Eksplorasi besar-besaran yang saya lakukan tersebut tidak hanya berdampak positif pada diri saya, namun juga membuat saya sedikit kesulitan untuk memilih jurusan kuliah tujuan setelah lulus dari SMA. Setelah melalui berbagai pertimbangan yang cukup berat pula, saya memutuskan bahwa dunia kesehatan merupakan pilihan logis yang cocok untuk orang seperti saya yang memiliki kemampuan di bidang MIPA dan minat pada bidang SOSHUM karena rumpun ilmu kesehatan bisa dibilang adalah ‘rumpun penerapan MIPA yang paling SOSHUM’. Kebimbangan dalam memilih jurusan kuliah ini juga bukan tanpa alasan, mempertahankan jurusan kedokteran pada perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Indonesia sebagai pilihan utama adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena risikonya yang besar. Jurusan yang tidak pernah sepi peminat dan diidam-idamkan banyak orang ini butuh orang-orang yang mau mati-matian memperjuangkannya dan punya jiwa besar untuk siap mengalami penolakan karena keketatan penerimaannya yang luar biasa. Latar belakang keluarga saya yang bukan merupakan keluarga dokter dan minimnya jumlah anggota alumni sekolah SMA saya yang menempuh pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri membuat saya harus berjuang ekstra hanya untuk mendapatkan informasi dan tips masuk serta realita dunia perkuliahan jurusan kedokteran di PTN. Namun, saya tetap menguatkan hati untuk memilih jurusan kedokteran sebagai pilihan prioritas saya dengan dukungan orangtua.
Dengan keyakinan yang besar bahwa saya harus berhasil masuk jurusan kedokteran di salah satu PTN ternama di Indonesia, saya mulai mengikuti bimbingan belajar masuk PTN di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Meskipun hanya seminggu sekali, jarak antara rumah dan tempat bimbingan belajar yang cukup jauh dan perjalanan yang harus ditempuh setiap hari Minggu mulai pukul 05.45 pagi merupakan tantangan tersendiri. Belum lagi jadwal sekolah yang mulai memberlakukan 6 hari sekolah menambah kesibukan di masa kelas 12 saya yang sepertinya dilalui tanpa hari libur. Namun, itulah perjuangan semacam itulah yang harus dilakukan demi menggapai cita-cita. Pelajaran kelas 12 yang semakin berat juga membuat saya harus curi-curi waktu di sekolah untuk berlatih mengerjakan soal-soal SBMPTN. Perjalanan menuju diterimanya saya di FK UI juga tidak mulus-mulus saja. Saya harus mengalami banyak sekali penolakan dalam perjalanannya. Dimulai ketika jalur SNMPTN dibuka, saya sampai tidak berani untuk memilih FK UI sebagai pilihan saya di SNMPTN. Tentu bukan karena FK UI tidak bagus, tetapi karena saya menyadari bahwa sekolah saya merupakan sekolah swasta di luar rayon Jakarta yang belum lama berdiri dan belum memiliki banyak alumni di FK UI. Saya pun memilih jurusan kedokteran di 2 PTN ternama lainnya di Jogja dan Bandung, namun harus mengalami penolakan dari kedua perguruan tinggi tersebut meskipun nilai rata-rata saya merupakan yang tertinggi bagi peminat jurusan kedokteran.
Namun, saya tidak menyerah meskipun berbagai penolakan datang yang sepertinya ingin mengatakan pada saya bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk saya masuk jurusan kedokteran. Mulai dari ditolak SNMPTN, 2 kali ditolak masuk program internasional kedokteran di sebuah PTN di Jogja, gagal di tahap wawancara SIMAK KKI UI, hingga puncaknya ditolak SBMPTN pilihan pertama di FK UI dan pilihan kedua di fakultas kedokteran lainnya di Malang. Pada tahun 2018, saya berhasil masuk program studi Ilmu Gizi FKM UI lewat pilihan ketiga SBMPTN. Tentunya hal ini menjadi pergumulan batin tersendiri untuk saya meskipun ada sedikit rasa bangga bisa menjadi bagian dari Universitas Indonesia yang awalnya hanya mimpi belaka. Namun, saya tidak pernah menyesali pernah masuk FKM UI dan menjadi bagian di dalamnya karena di sanalah awal perjuangan saya masuk FK UI benar-benar dimulai.
Saya bahkan dapat menyebut Universitas Indonesia sebagai bimbingan belajar terbaik untuk saya karena selain menyediakan ilmu, juga memberikan saya motivasi untuk berkontribusi lebih pada dunia kesehatan Indonesia, dengan jalur menjadi dokter salah satunya. Saya bertemu banyak dokter hebat yang menjadi pengajar di kelas-kelas yang saya ambil di program studi Ilmu Gizi dan terinspirasi oleh seorang dokter lulusan pendidikan doktor UI untuk mengejar karir di WHO nantinya. Meskipun saat itu saya sudah mulai menumbuhkan minat pada bidang dietetika, saya menyadari bahwa saya bisa berbuat lebih banyak dengan menjadi dokter. Di tahun 2019, rasa penasaran untuk dapat masuk ke FK UI kembali muncul dengan sistem SBMPTN yang sudah lebih baru. Namun, kali ini perjuangannya terasa lebih berat walaupun pertaruhannya tidak sebesar dulu. Saya tidak memiliki sumber daya berupa bimbingan belajar lagi dan hanya bisa mempersiapkan SBMPTN melalui bimbingan belajar gratis di internet dan membuka kembali tryout-tryout tahun lalu yang sudah mulai berdebu. Saya juga masih harus menyeimbangkan antara persiapan SBMPTN dalam waktu singkat dengan kuliah dan organisasi di tingkat BEM UI. Perjuangan juga terasa lebih berat karena dilalui sendirian sebagai mahasiswa pindah jurusan.
Namun, perjuangan itu terbayar ketika membuka laman pengumuman SBMPTN dan penantian itu akhirnya datang. Sebelum membuka pengumuman, saya masih ragu apakah kali ini akan sama seperti penolakan-penolakan sebelumnya karena saya tidak memiliki sumber daya untuk membandingkan nilai UTBK saya dengan pendaftar lainnya. Saya hanya bisa berdoa bahwa apapun yang tertera pada laman pengumuman akan menjadi pilihan Tuhan yang terbaik bagi saya. Setelah dipaksa ibu untuk membuka laman pengumuman yang awalnya enggan saya lakukan, saya teramat kaget dan sekaligus bersyukur melihat ucapan selamat yang terpampang dengan jelas bahwa saya akhirnya berhasil menjadi mahasiswa kedokteran setelah penantian panjang selama setahun yang harus cukup senang dengan hanya berkuliah di gedung yang sama dengan mahasiswa kedokteran.
Harapan saya setelah masuk di FK UI ini adalah saya dapat menemukan versi terbaik diri saya yang dapat membanggakan keluarga dan berguna bagi masyarakat. Saya berharap bahwa segala upaya yang saya lakukan di FK UI bukan semata-mata untuk mencari nama untuk saya sendiri melainkan untuk kembali berkontribusi bagi masyarakat dengan terlibat dalam berbagai proyek sosial. Bagi almamater dan teman-teman sejawat FK UI terutama FK UI 2019, saya mengharapkan bahwa kontribusi saya dapat cukup membawa nama angkatan dan almamater menjadi besar dan bukan menjadikan nama saya besar karena almamater. Bagi bangsa dan negara, saya berharap bahwa perubahan besar-besaran menuju Indonesia yang lebih baik dan terintegrasi dari aspek kesehatan dapat saya capai dengan dukungan berbagai profesional multidisiplin.
Rencana saya dalam satu tahun pertama di FK UI yaitu mengeksplorasi diri saya lebih lagi dan menemukan wadah yang cocok di FK UI untuk mengembangkan diri saya lebih lagi. Dalam 3 tahun ke depan, saya akan memasuki tingkat akhir program sarjana dan mulai mengerjakan tugas akhir. Saya memiliki rencana untuk meningkatkan minat riset dengan benar-benar memilih topik tugas akhir yang menjadi minat saya sehingga penelitian yang dilakukan tidak sia-sia dan dapat menjadi referensi studi dan bahkan dapat dimuat pada jurnal medis internasional. Dalam lima tahun mendatang, saya akan melewati koas dan meraih gelar profesi dokter. Dalam tujuh tahun, saya berencana akan mengambil spesialisasi untuk meraih gelar Sp.KJ. Lalu, dalam sepuluh tahun mendatang, saya berencana akan mengambil S2 Kesehatan Masyarakat atau Hukum Kedokteran. Dalam 20 tahun mendatang, saya berharap bahwa saya telah menjadi dokter sekaligus pelayan masyarakat yang berintegritas dan berguna bagi banyak orang.
Pesan saya bagi yang ingin masuk FK UI saya ambil dari kata-kata yang biasa diucap petinggi Universitas Indonesia : “FK UI bukanlah segalanya, tetapi segalanya bisa dimulai dari FK UI”. Gagal itu hal yang biasa dalam meraih cita-cita, yang terpenting adalah tetap meniatkan hati dengan sungguh-sungguh pada tujuan dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Setelah itu, tetap pacu diri sendiri dengan bekerja keras sesulit apapun kondisinya. Tetap berkomitmen pada apapun yang sedang dilakukan sekarang dan jangan sia-siakan waktu yang ada. Terakhir, yang bisa saya sampaikan adalah untuk menguatkan hati dalam memilih pilihan hidup dan selebihnya jangan khawatir akan hari esok, tetapi bekerja keraslah seperti hari ini adalah hari terakhirmu di dunia. Tetap semangat!
Commentaires