top of page
Search

Narasi Perjuangan -- Raisa Zalfa Meutia Abubakar

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 19, 2019
  • 8 min read

Di depan pancaran sinar lilin kecil, dinding yang sering kali bocor karena tetesan air dari atap kosan kecil dan kumuh, dan juga dari sepetak ruangan sempit, aku dibangun. Nama saya Raisa Zalfa Meutia Abubakar, biasa dipanggil Raisa. Saya berasal dari SMA Al-Izhar Pondok Labu. Saya terlahir di pesisir barat pulau Sumatra, tepatnya di Rumah Sakit Gleanagles Medan, salah satu rumah sakit terbesar di kota Medan. Saya terlahir dari sepasang suami dan istri yang bernama Dr. Syafrizal Abubakar SpBS dan Nurul Fitriani Meutia. Tak sampai satu bulan setelah saat saya lahir, keluarga saya harus pindah menuju kota Bandung, karena ayah saya yang harus melanjutkan mimpinya untuk menempuh pendidikan spesialis kedokteran untuk menjadi seorang Spesialis Bedah Saraf di salah satu kampus bergengsi di Jawa Barat.


Saya tumbuh di bangunan kecil di sudut kota Bandung dengan segala hempasan angin dan bantaian derasnya hujan bersama kedua orang tua saya. Di sepetak kamar kos yang penuh akan tumpukan buku Sobotta dan lusuhnya kertas-kertas yang berserakan, aku mulai berkenalan dengan ragamnya dunia. Di kamar itu, dimulailah sebuah kisah hidup tentang seorang pemimpi. Kamar kecil ayah yang berukuran 3 x 3,5 m adalah tempat di mana saya belajar berjalan, menghitung, dan yang paling penting—tempat itu adalah tempat saya mulai melukis pelangi nan indah dalam masa kecil saya yang nyatanya merupakan alasan utama saya memijakkan kaki di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kampus impian saya sejak kecil. Di tengah naungan kota Bandung, di antara warung-warung sederhana, bangunan tua yang gagah, serta bajaj yang melipir di kafe-kafe yang tak pernah kosong, tak pernah saya menyangka untuk bisa berkenalan dengan eloknya lika-liku kehidupan yang bercampur—kemudian tertuang manis dan pahitnya di hadapan saya sejak saya berumur 1 tahun.


Masuk menjelang ke fase Taman Kanak-Kanak, tak seperti anak kecil di Jakarta lainnya, masa kecil saya sebagai anak dari seorang residen dan perantau dari Aceh menjadi beberapa tahun yang cukup berat untuk keluarga saya. Untuk membeli mainan yang bervariasi, pakaian yang modis dan warna-warni ataupun sekadar makanan saja, seorang anak yang masih duduk di bangku TK harus banyak memikirkan risiko yang akan menimpa orang tua saya saat itu—apakah orang tua saya akan dapat makan malam? Apakah jika saya membeli baju lagi, ongkos transportasi ayah saya untuk menuju ke kampusnya akan cukup?

Namun di atas segalanya, saya tetap bisa menemukan kehangatan yang dibangun dengan harmonis oleh kedua orang tua saya di tengah segala keterbatasan yang ada. Tak ada ruangan dengan pendingin ruangan, tak ada pula malam yang diisi dengan televisi yang menyiarkan kebahagiaannya ataupun mainan Barbie baru setiap bulan. Tanpa itu semua, justru masa kecil saya dilukis dengan lukisan yang menjadi tawa peretas dahaga saya yang diciptakan di kota Bunga, yang sampai sekarang memiliki arti yang lebih dari kata berharga. Hingga kini, yang sederhana memang selalu dapat terasa mahal rasanya ketika dilalui bersama orang-orang yang disayang.


Entah mengapa, memang selalu ada hal spesial yang dapat saya bawa sampai di detik saya berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dari untaian masa kecil saya yang saya lalui. Namun, sempat ada sebuah fase di mana masa kecil saya yang dihiasi oleh tahap-tahap perkuliahan kedokteran ayah saya, bukannya memancing keingintahuan saya terhadap luasnya ilmu kedokteran, justru membuat saya muak akan dunia medis. Di bayangan saya dulu, dunia medis penuh dengan jadwal yang rumit dan impulsif. Sejak kecil, saya berpikir bahwa orientasi saya terhadap pendidikan kedokteran telah cukup terbuka luas pada saat itu. Tak jarang saya mengikuti ayah saya melakukan kegiatan jaga malam di rumah sakit, ikut visit pasien di Intensive Care Unit, menjalani rangkaian operasi Craniotomy Tumor Removal selama 12 jam, hingga berkenalan langsung dengan pasien-pasien dan mendengar banyak cerita dari ratusan perspektif di berbagai penjuru sudut Indonesia. Seiring waktu berjalan, sewaktu saya duduk di bangku SMP, saya berada di sebuah puncak di mana saya sempat berpikir bahwa segala perjuangan dan jerih payah yang harus dilakukan untuk menjadi seorang dokter tidak akan sebanding dengan hasilnya nanti. Di pandangan saya, menjadi seorang dokter tidak sebanding dengan perjuangannya yang harus mengorbankan waktu bersama keluarga dan teman, bahkan waktu untuk diri sendiri. Sematang mungkin pikiran yang telah saya coba proses, saya selalu kembali ke keputusan saya bahwa ada banyak cara menolong orang lain, tak hanya dari sekadar menjadi seorang dokter.

Nyatanya, saya seolah-olah termakan oleh persepsi saya sendiri yang telah saya ukir sejak Sekolah Dasar. Setir dari kehidupan saya yang penuh lika-liku kebimbangan ini benar-benar terbanting saat saya menginjak kelas 10 di Sekolah Menengah Atas, saat saya sedang mengeyam pendidikan di Jakarta. Pada tahun 2016, setelah mengikuti berbagai rangkaian operasi pengangkatan tumor mikro kraniotomi dalam fase magang selama tiga minggu di Rumah Sakit Umum Tangerang, salah satu peristiwa yang telah menunjukkan kepada saya seberapa pentingnya perawatan kesehatan yang sempurna adalah janji temu seorang pria berumur 92 tahun yang sedang menderita stroke dengan ayah saya pada sebuah malam. Keesokan harinya, saya ikut ayah saya untuk menjenguk pria tersebut di salah satu rotasi klinis di rumah sakit. Anehnya, ayah saya sama sekali tidak menekankan tentang kondisi penyakit yang diderita pasien kepada pihak keluarga. Justru yang ditekankan ayah saya adalah untuk bersama membangun mental sang pasien pasca operasi. “Mental, mental, mental!” Sahut ayah saya kepada sang istri. Hal yang sama juga saya temukan selama saya magang di rumah sakit tersebut, bahwa psikis pasien adalah hal yang justru menjadi sebuah hal fundamental dalam fase pemulihan, maupun pencegahan penyakit. Tak lama setelah beberapa hari itu, ayah memanggil saya ke ruangannya. Malam itu sunyi dan senyap, hanya diisi dengan desas desus angin yang berusaha mengetuk jendela ruang praktek ayah saya. Beliau menjelaskan kepada saya, bahwa hal yang cenderung dicari oleh pasien-- meskipun pengetahuan dan pendidikan seorang dokter tampaknya menjadi hal yang terpenting, adalah kepastian bahwa mereka tidak sendirian. Kepastian bahwa orang-orang yang mereka sayang akan selalu ada untuk mendukung merekalah yang justru menjadi alasan pembangkit semangat mereka. Dengan hal ini sebagai pembuka mata saya terhadap sebuah kenyataan, di mana keberadaannya sering diabaikan, keputusan saya untuk belajar kedokteran mulai berubah dan mengutuh.


Menginjak tahun ke-2 saya bersekolah di Sekolah Menengah Atas, angkatan kami dihadapkan oleh rangkaian proses penulisan Karya Ilmiah. Di program ini, kami dituntut untuk menyusun tulisan ilmiah dengan topik yang harus kami susun dan konsultasikan kepada pembimbing akademis kami layaknya menulis skripsi di proses perkuliahan. Tak hanya itu, kami juga diharuskan untuk melakukan penelitian lapangan di sebuah desa yang tak dekat jaraknya dari sekolah kami. Sekarang, desa itu menjadi salah satu tempat paling bersejarah bagi hidup saya. Dengan memegang teguh keyakinan dan kepercayaan diri saya pada topik yang saya pilih, pagi itu, kami seangkatan melakukan penelitian ilmiah di Desa Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Teringat jelas judul karya ilmiah saya, ‘Analisis Dampak Tekanan Darah Diurnal Sebagai Faktor Pemicu Stroke pada Warga di Desa Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat’, saking seringnya mengulang kembali kata-kata tersebut seiring mencari sampel untuk bahan data penelitian. Saya bertekad untuk membuat sebuah proyek klinik kecil, di mana warga sekitar dapat datang dan melakukan mini medical checkup dengan gratis, sekaligus mendapatkan informasi-informasi penting mengenai basis kesehatan. Memasuki hari ke-2 penelitian, tak mudah rintangan yang harus saya lewati untuk dapat mendapatkan 100 sampel tekanan darah diurnal dan nokturnal dari warga sebuah desa yang mayoritas masih awam akan adanya penyakit darah tinggi. Dimulai dari mencari segala cara untuk dapat bernegosiasi dengan warga, menjelaskan dengan sangat rinci tentang cara kerja sphygmomanometer, mengajak ngobrol sekaligus mendengarkan berbagai keluh kesah ibu-ibu di pasar tentang harga tomat yang memuncak, hingga diminta bercerita tentang kehidupan personal saya sebagai seorang ‘dokter’. Memang dari awal penelitian, ada sebuah hal yang membuat fokus saya tak dapat berpaling. Hal tersebut merupakan sebuah fakta bahwa setiap setelah ada warga yang berkunjung untuk berobat atau sekadar curhat tentang masalah apapun yang sedang mereka hadapi, tak peduli selelah apa saya hari itu—rasa terima kasih dan senyuman dari warga adalah hal yang membuat semangat saya seribu kali lebih melunjak dibandingkan rasa penat dan bosan yang ada. Heran, saya tak pernah tahu bagaimana hawa bahagia dari wajah seorang anak yang mengenakan seragam SD kumalnya seiring ia melontarkan kata “Makasih ya, Kak! Tanpa kakak aku sakit mulu deh, hehe”, dapat mengubah hampir seluruh perspektif saya dalam tingginya rasa apresiasi yang dijunjung tinggi dalam dunia kedokteran. Setelah menyelam dalam dunia kesehatan, meski hanya kurang 9 bulan penelitian, tekad saya telah bulat. Saya bertekad untuk rela berkecimpung di wilayah medis di Indonesia untuk membantu memajukan sistem kesehatan negara ini menjadi jauh lebih baik lagi. Saya bertekad untuk rela membantu warga tanah air untuk lebih paham mengenai hal-hal yang berbau kesehatan, baik fisik maupun mental. Saya bertekad untuk diterima di salah satu kampus terkemuka dan unggul di nusantara, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya bertekad untuk menjadi seorang dokter.

Sejak menerima tamparan dari realita akan tekad dan mimpi yang saya miliki, usaha yang saya lakukan sangat meningkat. Mulai dari belajar hingga larut pukul 3 pagi dan tak mau berhenti sebelum azan subuh berkumandang, mencari referensi atau sumber belajar dari segala lingkungan pertemanan, dan lainnya. Memasuki fase kelas 3 SMA, jiwa dan raga saya seakan-akan didedikasikan untuk dapat mewujudkan segala mimpi. Bagi saya, menjadi seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bukan main harganya. Tak hanya bangga pula, dengan mengenyam ilmu di kota metropolitan, Universitas Indonesia menawarkan kita berbagai akses networking ke bagian dunia belahan manapun. Dapat dipastikan, kampus impian saya akan membawa saya untuk bertemu dengan orang dan bahkan juga seantero dunia, secara Universitas Indonesia merupakan salah satu universitas yang diakui dalam skala internasional. Semakin banyak kita bergaul dengan orang dari berbagai penjuru dunia, maka pengetahuan dan daya berpikir kita juga akan semakin bertambah banyak dan berkembang. Dengan wawasan yang luas, kita tentunya tidak akan menjadi katak dalam tempurung lagi yang hanya tahu tentang daerah tempatnya sendiri, melainkan paham akan cara menjadi warga dunia. Dengan pengalaman yang saya dan teman-teman akan dapati di bangku kuliah, kami akan lebih mampu menganalisa, mengeneralisasikan, serta menyimpulkan fenomena yang ada di tempat kerja maupun lingkungan tempat tinggal saya. Pada akhirnya, hal ini akan membantu saya dan teman-teman memahami sebuah paradoks mengenai makna riil dari sepatah kata bertuliskan ‘kehidupan’.


Setelah menerjang segala rintangan yang hampir setiap hari tersuguhkan di depan mata, tibalah hari di mana angkatan 2019 mau tak mau harus menerima dengan ikhlas kenyataan yang ada. Di bulan Maret hari ke-24 sebelum tepat pukul 1 siang, seluruh rasa gugup rasanya memuncak, menggemuruh, serta mendegam-degam di lubuk jiwa. Merupakan sebuah hujan di tengah kemarau panjang rasanya ketika memencet tombol log-in di situs pengumuman Talent Scouting dan langsung melihat kata ‘Congratulations!’. Segala rasa lapang, haru, dan sentosa teraduk menjadi satu, kemudian hanya bisa dikemukakan dengan pelukan penuh kebahagiaan yang saya berikan kepada orang tua saya. Perjalanan baru ini baru saja dimulai. Besar rasa bahagia yang diciptakan oleh sebuah hari di bulan Maret, yang merupakan buah dari kerja keras selama bertahun-tahun menempuh pendidikan dan mencari jati diri yang sebenarnya.


Dengan penuh rasa syukur dan harapan untuk menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk sesama, saya memutuskan untuk melangkah bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memiliki harapan memang tak memiliki batas dan pengecualian. Namun, untuk sekarang, saya berharap untuk menjadi seorang insan yang dapat membawa lebih banyak manfaat untuk diri sendiri dan orang lain, serta membuat bangga orang tua dengan menempuh perkuliahan dengan giat. Setahun ke depan, saya berencana untuk berkenalan dengan akrab dengan dunia medis serta beradaptasi dengan gencarnya perkuliahan. Dengan melakukan hal-hal itu, saya akan dapat melanjutkan rencana saya memasuki ke tahun ke-3 perkuliahan, di mana saya berniat untuk mendapatkan gelar ganda (Masters degree) di University of Newcastle, Inggris, di mana murid didiknya akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian medis selama satu tahun. Untuk 10 tahun ke depan, saya berencana untuk telah melanjutkan program spesialisasi kedokteran saya di bidang Bedah Saraf. Sedangkan, untuk 20 tahun ke depan, saya bercita-cita untuk dapat mulai mendirikan rumah sakit untuk warga Indonesia sembari melanjutkan pendidikan S3 di University of Oxford, Inggris. Selain itu, mimpi yang saya idamkan sejak kecil adalah untuk membangun sebuah institusi pendidikan yang menekankan dengan betul problematika edukasi yang pantas diterima serta menerapkan pentingnya isu kesehatan fisik dan mental kepada warga Indonesia. Tentunya, saya akan sangat menyarankan para adik kelas yang ingin menempuh pendidikan selanjutnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk terus berjuang, karena sesungguhnya, pada akhir hari, tidak ada ilmu dan energi yang akan sia-sia, jika kita menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat untuk sesama.


The best way to find yourself, is to lose yourself in the service of others” adalah sebuah kata-kata mutiara dari Mahatma Gandhi, seorang pemimpin spiritual serta politikus dari India, yang saya telah pegang sejak hari di mana saya menemukan tekad saya untuk menjadi seorang dokter. Dengan penuh harap untuk angkatan 2019 agar menjadi sebuah angkatan yang solid dan akan selalu mau untuk merangkul satu sama lain dengan hangat, di jenjang PSAF inilah kami dapat berbaur dengan ratusan corak latar belakang yang ada, sembari mengukir cita dan kisah klasik yang akan kita bawa sampai tua nanti. Sampai jumpa di panggung yang lebih besar, angkatan 2019.

 
 
 

Recent Posts

See All
Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara...

 
 
 

Commenti


© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page