NARASI PERJUANGAN - - RUGA AYU AINAYA RAESA
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 9 min read
Ruga Ayu Ainaya Raesa, FKUI 2019. Sedari dulu tidak pernah dikenal sebagai sosok akademisi, jarang menjadi jajaran anak emas guru dan terlalu banyak terikat labelling yang disematkan akibat kelakuan yang petakilan. Itulah aku seorang penakluk kedokteran yang akan segera menceritakan kisah pertempurannya. Akan kuceritakan dari awal dan kutarik kesimpulan diakhir, kita mulai.
Okei, kita ulangi perkenalannya agar lebih luwes! Nama lengkapku Ruga Ayu Ainaya Raesa. Biasa dipanggil dengan Naya saja. Si bungsu dari dua bersaudara, dan tentunya kesayangan Bapak Abduh Ras dan Ibu Sri Endang. Ayahku berprofesi TNI, Ibuku adalah dulu berkerja di perusahaan swasta dan mengundurkan diri untuk mengurus aku dan abangku. Aku merasa beruntung menjadi anak seorang tentara, walaupun berat, berpindah-pindah mengikuti penugasan ayahku memuka mataku dan membuatku sadar akan nyatanya isu sosial di pelosok-pelosok negeri. Aku juga beruntung memiliki ibu yang lebih kuat daripada Hercules, lebih inspiratif daripada Najwa Shihab dan lebih bijak daripada Dumbledore.
Mimpi menjadi dokter tidaklah awam di keluarga besarku. Kakek Ruga (dari ayah) adalah seorang petani rangkap guru dan kepala desa. Beliau memastikan seluruh lima belas anaknya bisa pergi kuliah karena beliau tau betapa pentingnya pendidikan. Berkat pendirian tersebut tentu banyak dari sepupu, saudara, paman serta tanteku yang berhasil sekolah dan sekarang berprofesi dokter. Tapi untuk keluarga intiku? Tidak! Naya bercita-cita jadi dokter itu bagaikan petir di siang bolong. Pernah sekali saat umurku empat tahun aku nyeletoh “Mau jadi kasir”, ayahku yang kebingungan menjawab “Bisa lebih tinggi lagi gak dek?”, aku membalas “Mau jadi kasssiiiiirrrrrr”. Bukannya mimpiku yang kutinggikan malah suaraku yang kutingkatkan seoktaf. Pernah juga kusebut kontraktor alat berat, desainer, publicist, nahkoda dan seribu profesi konyol lainnya. Entahlah, kurasa aku masih kesulitan menemukan cita-citaku bila aku belum menemukan jati diri dan tujuan hidupku. Secara singkat, tidak pernah ada yang menduga aku akan berakhir belajar di Rumpun Ilmu Kesehatan.
Selama aku tumbuh besar, aku berpindah dari Solo, Batujajar, Serang, Kalimantan Timur hingga pelosok ujung Indonesia. Ayah kerap mengajakku untuk mengikuti ekspedisinya selama tidak berbahaya dan beresiko. Kegiatannya seperti membangun jembatan, mengajar di sekolah dasar bahkan membangun unit kesehatan kecil seperti posyandu. Aku ingat, masih jelas di kenangan, saat itu aku kelas dua SD ikut ayahku ke desa di bawah gunung. Aku menyaksikan banyak anak seumuran ku, dengan kondisi antara kering kerontang atau dibiarkan kesakitan karena kurangnya akses medis. Dan disitulah aku sadar bahwa tujuan hidupku adalah melayani dan membantu orang lain. Hingga sekarang prinsip itu masih aku pegang.
Selama SMP aku pernah sekali aku menyatakan keinginanku menjadi dokter, melihat betapa terpelajarnya saudara-saudaraku saat kumpul di arisan keluarga membuatku merasa terinspirasi. Bukan hanya tentang terpelajar dari ilmu dokternya, tapi juga bertapa terasahnya pemikiran dan pandangan saudara-saudaraku. Tapi mimpi itu runtuh karena aku tidak yakin dengan kemampuanku. Aku mempertanyakan kesanggupanku menyelesaikan studi yang lama dan tidak mudah. Lalu kembalilah diriku kepada kelabilan. Niatku menjadi dokter masih tersimpan di hati kecilku, dikubur jauh-jauh. Sembari mencari jati diri dan keyakinanku, kucalonkan diriku menjadi ketua OSIS, dari pengalaman satu periode bertugas aku mendapatkan dorongan hati untuk menjadi seorang pemimpin, orang yang membawa perubahan dan meningkatkan kesejahteraan.
Waktuku mulai habis dan tinggal tiga tahun untuk menentukan masa depanku. Setidaknya kelas dua SMA aku harus sudah punya kemana aku akan membawa perahuku berlabuh. Aku tahu ini bukan perihal kecil dan harus kupikirkan matang-matang agar aku tidak menjalani suatu pekerjaan hanya dengan setengah hati.
Saat SMA aku mendapat kesepatan emas lagi, menimba ilmu di SMA Taruna Nusantara di
Magelang yang grade-nya termasuk paling top di Indonesia. Aku belajar banyak dari tiga tahunku disana. Aku juga banyak menemukan inspirasi-inspirasi dari pemikir muda, kawan-kawanku yang penuh dengan ide cemerlag. Kelas satu SMA aku sudah membulatkan tekadku untuk memilih jurusan Hubungan Internasional, karena aku merasa itu adalah pilhan yang aman berhubungan aku berkecimpung di dunia lomba debat dan memahami satu dua hal tentang worlds politics. Selain itu, aku merasa bahwa HI jauh lebih mudah daripada kedokteran dan aku memilih suatu yang ‘gampang’. Dengan setengah hati kusampaikan arah tujuanku bila ada yang bertanya, menyimpan dalam-dalam mimpi kecilku.
Beranjak kelas dua SMA, aku mendapat sebuah musibah. Kejadian ini menghancurkanku dan menguras mental dan kepercayaan diriku. Kisah pendeknya, aku merasa ini teguran bahwa aku harus lebih fokus dengan urusan akademikku. Akhirnya, aku meluangkan lebih banyak waktu untuk berpikir matang tentang keputusan yang akan mempengaruhi seluruh hidupku.
Muncul lagi keinginan untuk menjadi dokter, tapi apabila aku nyatakan, tidak sedikit orang yang merespos dengan raut ragu. Nah, bilamana galau kronis melanda, bertanyalah hanya pada seorang ibu. Berulang kali membicarakan hal yang sama, dilema yang sama, tapi berkat dukungan beliau kubulatkan tekad bahwa Fakultas Kedokteran akan mejadi pelabuhanku.
Setelah perang batin bertahun-tahun, hatiku baru berbuah keputusan mantap diawal kelas tiga SMA, disinilah baru perjuanganku yang sebenarnya mulai dan percayalah rasanya pontang panting seperti kapal pecah. Mengingatnya saja gigiku jadi ngilu. Kalau usap-usap kepala masih ada bekas bagian yang pitak karena terlalu stress belajar. Bukan perjalanan mudah untuk semua pelaut yang ingin berlabuh di pelabuhan Kedokteran, apalagi untuk aku yang terlalu sering bercanda saat SMA.
Juli. Aku tau aku ingin menjadi dokter tapi tidak pernah terlintas sekalipun di benakku bahwa aku akan mendapat sarjananya dari Universitas Indonesia. Aku bisa bermimpi tapi tak bisa berharap. I mean come on, Fakultas Kedokteran memiliki peminat paling tinggi se-Indonesia belum lagi di Universitas Indonesia, universitas nomor satu di negeri ini. Aku siapa?
September. Aku mulai mencari alternatif dari angan-anganku. Aku rela telusuri daerah luar pulau Jawa demi mencari pendidikan dokter. Lagi pula emas tetap emas kan dimanapun.
Oktober. Bulan yang kutunggu sudah tiba, akhirnya bisa terbang ke Jakarta dan menghadiri FKUI Open House. Bukan kali pertama aku menapakkan kaki di gedung RIK, sebelumnya pernah aku pernah ikut lomba yang diadakan disana. Dihitung baru sekali dua kali aku berkunjung kesana tapi rasanya sudah seperti rumah. Aku sangat suka atmosfirnya. Atmosfir orang-orang intelek. Selain itu, aku juga bertemu pengunjung lainnya, atau bisa dibilang sainganku. Rasanya? Intimidasi tingkat tinggi. Aku dikelilingi orang yang sudah begitu yakin menyusun strateginya untuk masuk ke FKUI. Tapi karena kompetisi ini aku jadi tertarik dan memberanikan diri untuk mecoba SIMAK tahun depan.
Desember. Aku sangat aktif mencari tau tentang jalur masuk ke FK KKI, salah satunya melalui Talent Scouting, berharap menjadi satu-satunya cara aku bisa masuk. Besar harapanku masuk lewat TS agar tidak perlu menjadi pelaut yang terombang-ambing melewati lautan untuk besandar di pelabuhan. Mengikuti pesan dari kakak kelasku, aku harus secara matang mempersiapkan komponen yang dibutuhkan seperti TOEFL/IELTS. Dari jauh-jauh hari aku pinjam buku exercise dan mempelajarinya. Aku sangat mengingkan FK KKI dan demi itu aku rela mengambil kedua sertifikasi, jadi bila ada satu yang nilainya kurang, aku masih ada satu lagi.
Januari. Berbagai macam universitas dan akademi datang berkunjung untuk memaparkan kampusnya serta mengundang kami jadi bagian dari mereka. Beberapa ada yang mengesankan, beberapa ada yang terkesan sombong tapi tidak ada yang semenarik UI. Dari pemaparan yang sangat informatif dan rendah hati makin memantapkanku masuk UI.
Februari. Bulan-bulan penuh ketegangan. Bulan yang bertepatan dengan waktu kami mengirim aplikasi atau lamaran kepada tambatan hati (univertias impian) melalui SNMPTN. Menjadi salah satu yang mendapatkan kuota SNM, aku kirimkan surat cintaku kepada UI. Dan untuk TS? Sedihnya aku tidak bisa mengirim surat cinta. Walaupun semua sudah siap, di menit terakhir aku tersenggol jatuh karena ada salah satu temanku yang memutuskan untuk mencoba TS. Kecewa sekali rencana utamaku yang sudah kupersiapkan sekian lama, harus digagalkan oleh orang lain. Kecewa tapi aku bangkit lagi.
Maret. Penguman SNMPTN, rasanya lebih sakit dari putus cinta. Aku kecewa, lagi kedua kalinya. Rasanya mimpi semakin jauh, apa mungkin alam tidak setuju? Apa mungkin aku tidak pantas belajar menjadi dokter?. Realita memukulku sangat kencang, aku harus berjuang lagi. Melalui SBMPTN malawan ratusan ribu pesaing lainnya. Tidak sekali aku ingin mengganti tujuan pelabuhanku, ombak ragu berulang kali menerjang perahuku. Rasanya mau jatuh ke laut, mau sedih saja. Sedih tapi aku bangkit lagi.
April. Dengan semangat yang sudah mulai pulih, tidur jam dua belas malam menjadi favoritku. Bersama beberapa orang teman, salah duanya sekarang menjadi FHUI19, kami belajar ditemani radio. Bila radio sudah memutarkan lagu Indonesia Raya dan waktu siaran malam sudah habis, itulah pertanda kami harus istirahat. Selama beberapa bulan aku hanya mengalami dua hal; antara terlelap tidur karena kelelahan atau kesuliatan tidur karena aku merasa belum cukup siap untuk ujian lainnnya. Lelah tapi aku bangkit lagi.
Mei. Dengan usainya UN, aku kembali ke Jakarta dan melanjutkan les bimbelku disini. Aku tau aku bukan siapa-siapa, aku tidak jenius tapi aku pekerja keras. Aku harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapatkan setengah yang mereka punya. Aku bersyukur mempunyai orang tua yang sangat suppoertif. Selama di Jakarta mereka mengijinkanku ikut dua bimbel berbeda dan menyediakan transportasi sennyaman mungkin agar perjuanganku terasa lebih mudah. Sulit tapi aku bangkit lagi.
Juni. Bulan Juni masih sama. Tapi beda. Rutinitasnya sama, berangkat subuh kembali maghrib, Senin bimbel A selasa bimbel B. Tapi lelahnya beda. Aku pernah ikut kegiatan sekolah, berjalan dua puluh kilo membawa ransel belasan kilo dengan matahari yang rasanya hanya sejengkal di atas kepala. Kali ini lelahnya melebihi itu, aku lelah secara mental, fisik dan emosional. Badanku lemas, kadang sampainya dirumah aku langsung lompat ke kasur. Mental? Berulang kali aku harus mengingatkan diriku dan mengusir raguku, setidaknya kalau gagal, aku gagal mengejar pilihan terbaik bukan kedua atau ketiga. Emosi? Rasanya aku hanya ingin hari itu berakhir dan mulai lagi esok, batas sabarku sudah mulai samar-samar. Tapi, satu acara membakar sedikit api semangatku, yaitu Open House KKI. Acaranya di gedung FKUI Salemba, itu juga bukan pertama kali aku mengunjungi Auditorium Imeri. Kamu harus coba rasanya melewati gedung lama bagian depan, melewati poster-poster Museum Imeri sambil membaca sejarah STOVIA terdahulu. Aku semangat lagi, melihat tujuan pelabuhan ku bukan lah suatu destinasi yang mudah. Ragu tapi aku bangkit lagi.
Juli. Bulan dimana rasanya tulangku akan rontok. Setiap akhir pekan aku ada di kota yang berbeda untuk tes di PTN yang berbeda. Jakarta, Jogja, Semarang ,dan Surabaya aku kunjungi dalam waktu satu bulan. Mau pingsan? sangat tapi aku jalanin sedikit berbahagia, setidaknya bisa jalan-jalan dan mengusir kesuntukkanku. Menghadapi SIMAK regular sebagai ombak terakhir, aku menjalaninya dengan penuh sungguh-sungguh. Aku buka dengan doa menyampaikan mimpiku kepada Tuhan dan kututup dengan doa lagi yang menyatakan “dimanapun perahuku berlabuh, maka itu pelabuhan yang terbia untukku”. Kukerjakan semampuku dengan jujur hingga titik dimana kepalaku pusing. Aku tau dan sadar bahwa ini adalah kesempatan terkahirku untuk bisa mejadi keluarga FKUI. Jenuh tapi aku bangkit lagi.
Agustus. Lima menit lewat tengah malam, aku sedang mengetik salah satu tugas esai PSAF, rangkaian dari kegiatan orientasi mahasiswa baru. Disnilah aku sekarang, diberikan kehormatan untuk menajadi bagian dari salah satu departemen pendidikan paling prestis se-Indoneisa. Lebih baik lagi, menjadi bagian dari salah satu keluarga yang diisikan oleh great minds yang berpipkiran terdepan tapi tidak individualis. Melainkan, belajar untuk menjadi seorang yang mengabdi, melayani dan membantu orang lain, belajar untuk mejadi dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sekian garis waktu perjalananku di laut yang penuh ombak. Ombaknya banyak yang tinggi, besar dan ganas. Hampir semua menggelamkan perahuku.
Kesimpulannya, Itu adalah singkat dari usahaku, masih banyak rasa juang yang tidak bisa aku lisankan. Aku berjuang sedemikian keras karena aku tau dan sadar bahwa padanganku terhadap FKUI adalah Fakultas Kedokteran terbaik se-Indonesia. Fakultas pertama yang diprakarsai di Indonesia. Fakultas yang meluluskan banyak pemikir hebat yang tidak hanya menggunakan otaknya untuk diri sendiri tapi menggunakannya untuk mencetuskan ide cemerlang yang memajukan Indonesia. FKUI bukan hanya sekedar prestisnya,namun tentang kualitasnya serta alumni-alumni yang dicetak, penuh dengan kesiapan softskill, sifat sosial-empati yang tinggi, etika dokter, dan pastinya pengetahuan akademik yang terjamin mutunya.
Aku termotivasi masuk FKUI karena banyak hal. Kakekku sudah memberi panutan betapa petingnya pendidikan dan banyak sanak saudara yang berprofesi dokter tapi belum pernah ada yang lulus dari UI. Aku ingin jadi yang pertama. Aku selalu diajarkan menjadi seorang anak yang tinggi rasa kepeduliannya yang membentuk visi dan tujuan hidupku untuk membantu dan melayani orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua, aku harus memiliki pendidikan terbaik dari kampus terbaik. Aku memilih FKUI. Menjadi bagian FKUI juga membuka pintu ke berbagai macam kesempatan serta akses ilmu yang tidak ada ujungnya.
Besar harapanku agar aku menjadi insan yang berguna bagi bangsa, bisa membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalu bidang kesehatan sekecil apapun itu. Tapi semua harus dimulai dari hal kecil. Semoga dari menjadi bagian FKUI19, aku bisa tetap mempertahankan rasa juangku, mengasah rasa ingin tahu dan belajar, memupukkan rasa empatiku. Aku ingin lebih baik dari diriku yang kemari dan seperti itu untuk selamanya. Untuk orang tuaku, aku harap pencapaianku membanggakan mereka berdua walaupun tidak cukup untuk membayar semua yang telah mereka korbankan untukku. Aku juga berharap selama pendidikan ataupun setelah lulus, angkatan FKUI19 bisa tetap menjaga ‘integritas’ dan saling mengasah antar teman sejawat.
Satu tahun ini aku berencana untuk beradaptasi terhadap dunia kedokteran karena aku yakin dengan fondasi yang bagus, entah itu kebiasaan, sifat dan disiplin, semua rencana kedepan akan berjalan lebih mudah. Aku juga akan menggali lagi potensi-potensi lain yang masih bisa kukembagkan dari kesempatan yang akan datang. Tiga tahun kedepan aku harap aku lulus sidang skripsiku dengan lancar. Aku harap penelitian dan tulisanku dapat membantu orang yang sedang mencari solusi sebuah permasalahan. Sepuluh tahun kedepan, semoga rencana-rencanaku terlaksanakan. Aku bisa mengambil spesialisasi dokter bedah penyakit dalam dan magister bidang ilmu biomedik. Dan untuk dua puluh tahun kedepan, semoga kerja kerasku terbayarkan, aku dapat akhirnya dapat melayani masyarakat dengan ilmu yang sudah kudapatkan.
Aku pribadi belajar banyak dari pejuanganku. Pesanku bagi semua pejuang kedokteran adalah bulatkan tekadmu dan mantapkan hatimu. Perjalanan tidak akan pernah mudah, dimanapun tujuanmu, jangan meragukan kemampuanmu dan jangan cari alternatif lain karena kamu takut berada di luar zona nyamanmu. Jatuh 4 kali bangkit 5 kali. Jatuh 5 kali bangkit 6 kali. Kelilingi diri sendiri dengan lingkungan yang mensupport serta jangan pernah lupa untuk berdoa dan meminta restu orang tua. Yang paling terkhir, visi jelas dan kerja keras.
“Hardwork beat talents when talents don’t work hard”
Comments