top of page
Search

Narasi Perjuangan - Savana Jacqueline Dooley

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 19, 2019
  • 9 min read

Nama Saya Savana Jacqueline Dooley, biasa dipanggil Savana. Saya berasal dari SMA Negeri 87 Jakarta. Mindset yang telah saya punya sejak kecil adalah bahwa Universitas Indonesia adalah universitas terbaik di Indonesia. Bahkan ketika saya masih TK, saya sering mendengar nama Universitas Indonesia disebut-sebut oleh keluarga saya dan orang-orang lain. Semakin besar, setelah beberapa kali mengunjungi kampus Universitas Indonesia dalam beberapa acara seperti Bedah Kampus Universitas Indonesia, dll, saya semakin cinta dengan Universitas Indonesia dan keinginan saya untuk masuk UI semakin besar.


Menjadi dokter adalah cita-cita yang telah saya miliki sejak kecil. Saya adalah salah satu anak TK yang ketika ditanya oleh guru, “Kamu kalau sudah besar mau jadi apa?” Saya akan menjawab, “Mau jadi dokter.” Saya pun tidak tahu mengapa pada awalnya saya ingin berprofesi sebagai dokter. Saya rasa pada waktu it saya belum tahu betul apa maksudnya untuk menjadi seorang dokter dan itu hanyalah sekadar angan-angan seorang anak kecil. Hingga saat sekitas saya kelas 2 SD, Oma saya terkena stroke yang mengakibatkan sebelah tubuhnya lumpuh. Selama delapan tahun ia menggunakan kursi roda dan membutuhkan bantuan orang lain untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari. Karena juga memiliki diabetes dan darah tinggi, ia diharuskan meminum obat-obatan secara rutin. Mengonsumsi semua obat - obatan ini merusak ginjalnya. Seketika itu penyakitnya ditambah gagal ginjal yang mengharuskannya melakukan hemodialisis dua kali dalam seminggu. Hal ini dilakukannya selama dua tahun sebelum akhirnya di tahun 2018 pada 14 Februari beliau meninggal dunia. Disini saya tersadar bahwa kesehatan adalah hal terpenting dalam hidup. Kesuksesan dan kekayaan seseorang tidak akan berarti tanpa adanya kesehatan fisik. Menjadi dokter bukan hanya tentang menemui pasien, mendiagnosis penyakit, dan memberi resep obat, melainkan dengan menjadi dokter dapat mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik. Sebuah alasan yang terdengar cliche mungkin, tetapi benar adanya. Saya telah menyaksikan langsung bagaimana suatu penyakit dapat mengubah hidup seseorang 180 derajat dan juga memengaruhi orang-orang terdekatnya.


Setelah keinginan saya mantap untuk masuk Fakultas Kedokteran, pikiran selanjutnya adalah memikirkan universitas yang ingin saya tuju. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, sudah menjadi mindset saya sejak kecil bahwa universitas terbaik di Indonesia adalah Universitas Indonesia, yang juga memiliki Fakultas Kedokteran terbaik di Indonesia. Sepertinya bahkan dari SD saya telah berpikir dalam hati bahwa saya ingin masuk FKUI (tetapi pada saat itu hanya pikiran belaka). Padahal pada waktu itu, rasanya kuliah masih jauh sekali dan saya belum mengetahui apa-apa tentang seleksi masuk perguruan tinggi negeri.


Saya bersekolah dasar di SD Pembangunan Jaya yang berlokasi di Bintaro, yang mana dekat dengan rumah saya. Karena tidak ada pikiran untuk masuk ke SMP negeri, saya kembali melanjutkan sekolah di SMP Pembangunan Jaya. Pada saat saya SMP, tujuan akhir saya adalah untuk memiliki nem UN yang tinggi agar bisa masuk ke SMA negeri favorit di Jakarta, karena akan lebih banyak kesempatan dalam undangan/ SNMPTN untuk bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri seperti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya tidak mengerti sistem SMA Negeri dan PTN pada waktu itu, mungkin karena saya terbiasa bersekolah di sekolah swasta sehingga saya jadi buta terhadap aturan-aturan dan saya juga tidak mencari tahu informasi-informasi. Saya kira semua SMA negeri mempunyai peluang yang sama untuk masuk PTN. Sampai pada waktu nilai Ujian Nasional diumumkan nem saya ternyata lumayan tinggi dan saya berhasil mendapatkan peringkat ke-5 di sekolah saya. Tetapi, karena pada waktu itu Kartu Keluarga saya adalah di Tangerang Selatan, peluang saya untuk masuk SMA negeri di Jakarta lebih kecil, karena bagi pemilik KK luar Jakarta hanya diberi kuota lima persen. Saya tidak bisa masuk sekolah-sekolah favorit di Jakarta dan akhirnya saya memilih SMA negeri yang tidak favorit tetapi lumayan dekat dengan rumah saya (hal ini juga dengan pertimbangan bahwa saya kira semua SMA negeri peluangnya masuk PTN sama saja). Sedangkan teman-teman saya yang sebenarnya nemnya lebih rendah daripada saya dapat masuk ke SMA negeri yang favorit di Jakarta karena mereka memindahkan KK-nya dengan cara “nitip KK” entah kepada kerabat atau teman. Namun, pada waktu itu saya tidak berkecil hati karena ibu saya juga berkata bahwa sekolah tidak akan memengaruhi kita. “Berlian di lumpur pun tetap berlian” , itulah yang beliau sering katakan.


Transisi dari sekolah swasta ke negeri lumayan sulit bagi saya. Lingkungan dan cara bergaul yang sangat berbeda sempat membuat saya ­culture shock. Setelah lebih dari sembilan tahun berada di lingkungan pertemanan yang itu-itu saja, saya harus step out of my bubble dan menyicipi rasa dunia lain, tetapi saya tidak membiarkan hal ini mengganggu kegiatan akademis saya. Saya tetap fokus belajar karena sejak awal saya masuk SMA , saya bertekad keras untuk dapat diterima di Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia melalui jalur SNMPTN. Setelah beberapa lama bersekolah, saya mengetahui bahwa adanya “jejak” alumni sangatlah penting untuk jalur undangan dan ternyata di sekolah saya tidak ada yang pernah diterima sebelumnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun begitu, saya tetap semangat dalam meningkatkan nilai rapor saya karena saya ingin menjadi yang pertama diterima melalui SNMPTN di FKUI. Namun semakin lama, semakin saya menyadari bahwa seberapa tinggi pun nilai rapor saya, peluang saya tetaplah sangat kecil untuk diterima melalui SNMPTN. Oleh karena itu, pada awal kelas 12 saya memutuskan untuk mengikuti bimbel di Fatmawati untuk persiapan SBMPTN meski rumah saya jauh dari bimbel tersebut. Di sana saya bertemu teman baru yang cocok dengan saya dan juga mendapat banyak materi pembelajaran yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Lebih banyak ilmu yang saya dapat satu jam di tempat les dibanding satu hari di sekolah. Saya melakukan bimbel saya dengan serius dan konsisten dua sampai tiga kali seminggu meskipun harus sampai rumah malam hari, itupun masih ada tugas sekolah yang menunggu. Sehingga biasanya saya tidur larut malam untuk mengerjakan tugas, meng-review pelajaran di tempat les, juga mengerjakan tugas dari tempat les. Meskipun lelah, tetapi karena saya melakukannya bersama-sama dengan teman saya di tempat les dan bersenang-senang bersama mereka , saya tetap menikmati prosesnya.


Dukungan dan kata-kata semangat yang sering diucapkan oleh keluarga, teman dekat, guru saya juga merupakan hal yang membuat saya dapat tetap positif bahwa saya bisa. Meskipun begitu, tidak sedikit juga orang-orang di sekitar saya yang “meremehkan” saya. Terutama beberapa guru di sekolah saya yang sepertinya masih mempunyai pemikiran yang sempit dan tidak berani mengambil risiko atau hanya mencari aman. Sehingga pada saat pemilihan SNMPTN, saya disarankan untuk memilih Fakultas Kedokteran di universitas lain yang saya tidak sukai, tetapi menurut mereka lebih “aman”.


Pada saat itu, saya merasa jika tidak diterima di undangan, saya telah mempersiapkan SBMPTN di tempat les saya dengan baik dan juga masih ada waktu beberapa bulan lagi untuk belajar. Jadi, saya hanya memilih satu yaitu jurusan Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Sampai pada waktu pengumuman saya dinyatakan tidak diterima, saya tidak merasa kecewa karena saya telah mempersiapkan mental untuk “kalah”.


Setelah itu, pada masa-masa sekolah sebelum Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sering terdengar kata-kata di sekolah seperti bahwa kita lebih baik menurunkan standar kita saja dan tidak terpaku pada gengsi. Hal yang terpenting adalah dapat masuk Perguruan Tinggi Negeri, meskipun pada jurusan yang tidak kita minati. Saya kesal mendengarnya, menurut saya prinsip seperti itu sangatlah salah. Seperti mengajari anak untuk tidak bermimpi tinggi, padahal mimpi itu gratis. Seharusnya justru anak-anak dianjurkan untuk mempunyai tujuan dan keinginan yang bagus dan sesuai diri mereka, bukan malah dianjurkan untuk settle for less.


Ada jangka waktu di mana sekolah telah libur tetapi saya memiliki kelas bimbel setiap hari. Saya jalani semuanya dari mulai kelas hingga kelas tambahan. Sampai pada waktu UTBK pertama yang saya lakukan di Jakarta, saya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Begitu pula pada UTBK kedua yang saya lakukan di Bandung. Alhasil, pada pemilihan SBMPTN, kali ini saya yang cari “aman”. Saya memilih Fakultas Kedokteran di universitas lain yang katanya memiliki passing grade lebih rendah daripada Universitas Indonesia. Tetapi beberapa hari setelah itu saya mengetahui bahwa ternyata peminat SBMPTN terbanyak pada tahun ini adalah pada 2 universitas yang saya pilih tersebut. Jadi sepertinya pemikiran bahwa pilihan saya aman adalah salah.


Sembari menunggu pengumuman, saya pergi ke beberapa kota seperti Bali, Surabaya untuk mengikuti ujian mandiri. Juga tanggal 6 dan 7 Juli saya mengikuti ujian masuk kedokteran internasional sebuah universitas di Yogyakarta. Pada tanggal 9 Juli, yaitu hari pengumuman hasil SBMPTN, saya membukanya bersama ibu saya. Ternyata hasilnya : tidak lolos. Sedih dan kecewa saya rasakan. Saya telah menaruh harapan yang besar pada SBMPTN. Saya khawatir memikirkan apakah saya bisa kuliah tahun ini. Satu hari besoknya saya gunakan untuk beristirahat, untuk meluapkan semua kesedihan sebelum saya bisa ikhlas dan lanjut belajar untuk ujian mandiri yang lain. Di malam tanggal 10, saya membuka pengumuman ujian mandiri suatu universitas di Surabaya yang lagi-lagi hasilnya tidak lolos. Meskipun begitu, kali ini saya tidak terlalu kecewa. Saya tidak terlalu mengharapkan untuk lolos disitu karena uang pangkal yang saya tuliskan relatif kecil. Pada tanggal 12, adalah pengumuman hasil ujian internasional yang telah saya ikuti pada tanggal 6 dan 7. Itulah pertama kali saya mendapatkan kabar baik, bahwa saya diterima. Senang dan lega tentu rasanya. Saya telah membayangkan bagaimana jika saya tidak dapat kuliah, akankah saya membuat ibu saya sedih, akankah saya bisa semangat kembali untuk belajar SBMPTN untuk mencoba lagi tahun depan. Namun pada hari itu, kekhawatiran saya hilang. Akhirnya saya mendapatkan kuliah, di jurusan yang saya mau yaitu kedokteran, meskipun saya tidak pernah membayangkan ingin berkuliah disitu, karena tujuan saya dari dulu adalah di Universitas Indonesia.


Tiket kereta, pesawat dan hotel yang sudah dipesan untuk mengikuti ujian-ujian mandiri lagi di beberapa kota pun dihanguskan. Saya ingin memanfaatkan waktu dirumah saja dan belajar maksimal untuk mengikuti ujian SIMAK Universitas Indonesia. Pada minggu-minggu tersebut saya jarang masuk kelas bimbel karena sepertinya semua materi sudah dibahas dan seringkali hanya mengulang saja. Saya memilih untuk belajar di rumah karena di saat itu saya menyadari bahwa saya lebih suka belajar sendiri dalam mengulang materi dan latihan soal, juga perjalanan dari rumah ke tempat bimbel saya memakan waktu yang lama. Saya mengeprint soal-soal SIMAK tahun-tahun sebelumnya dan mempelajarinya. Biasanya saya lakukan sampai malam hingga saya sudah cukup mengantuk.


Pada hari-H ujian SIMAK, saya merasa tenang dan rileks. Saya mengerjakan soal tanpa beban karena saya tahu setidaknya saya sudah mempunyai “cadangan”. Beberapa hari setelah ujian SIMAK, saya pergi ke Yogyakarta untuk mencari kos-kosan sembari mempersiapkan hal-hal untuk orientasi mahasiswa di universitas tersebut. Berlembar-lembar tugas telah saya selesaikan, saya sudah mulai berkenalan dengan beberapa teman dan kakak tingkat, saya juga sudah menemukan kos-kosan yang cocok dengan saya. Saya sudah mulai nyaman dengan lingkungan Yogyakarta dan mulai mencintai universitas tersebut setelah mengerjakan tugas-tugasnya. Perlahan-lahan saya mulai menyatu dengan universitas tersebut. Saya berdoa, apabila memang takdir saya di sini, saya akan dinyatakan tidak lolos di SIMAK UI, tetapi apabila takdir saya di UI, saya akan diterima di SIMAK UI.


Pada tanggal 31 Juli ketika pengumuman sudah bisa diakses, saya takut. Setengah dari diri saya ingin diterima di Universitas Indonesia karena memang inilah impian saya dari dulu. Univesitas yang menjadi motivasi belajar saya selama ini, yang logonya saya cantumkan di kamar saya, dan juga pastinya yang beribu-ribu orang inginkan, tetapi gagal. Namun, setengah diri saya yang lain tidak ingin meninggalkan Yogyakarta dan seisinya, saya telah jatuh cinta. Pada kotanya, pada universitasnya, pada orang-orangnya, dan pada budayanya.

Lalu ketika saya membuka pengumuman dan melihat tulisan “Selamat, Anda dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia,” saya kaget. Saking kagetnya sampai kata pertama yang keluar dari mulut saya adalah “Hah.” Saya tidak menyangka. Keinginan saya tercapai. Saya diterima di UI! Sekarang, saya tinggal memilih. Orang-orang yang mengenal saya sejak dulu tentu akan mengatakan bahwa sudah sangat jelas UI-lah yang harus saya pilih.


Seorang saya beberapa bulan yang lalu juga tanpa perlu berpikir sudah pasti langsung memilih Universitas Indonesia. Namun sekarang keadaannya sudah sedikit berbeda. Saya sangat bingung. Saya bengong saja di tempat tidur hotel waktu itu.


Setelah bertanya ke beberapa orang, memikirkan lagi tentang kedepannya dengan mencari informasi, juga dengan anjuran ibu saya untuk memilih Universitas Indonesia karena lebih dekat dengan rumah. Saya memutuskan untuk memilih Universitas Indonesia. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Fakultas Kedokteran UI adalah yang terbaik di Indonesia. Itulah salah satu pertimbangan besar saya untuk memilih Universitas Indonesia.


Saya harap dengan memilih FKUI dapat menjadi tempat pembelajaran yang baik untuk saya baik secara akademis maupun sosial. Saya akan belajar dengan giat agar bisa menjadi yang terbaik dan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di sini. Diterima di FKUI merupakan sebuah amanah dari Allah SWT yang berarti Ia yakin saya bisa menyelesaikan studi dengan baik disini dan bahwa inilah yang terbaik untuk saya. Saya ingin dapat meraih prestasi-prestasi yang dapat membuat keluarga saya bangga. Harapan saya, saya bisa mendapat beasiswa untuk S1 dan juga untuk nanti S2 untuk memperingan beban orangtua saya.


Saya ingin dapat menemukan kenyamanan diantara teman-teman FKUI angkatan 2019, menemukan pundak untuk bersandar ketika sedang ada masalah –yang pastinya akan ada nanti—dan juga sebaliknya, ingin dapat menjadi teman yang dapat diandalkan oleh teman-teman angkatan. Saya ingin FKUI angkatan 2019 bukan sekadar menjadi teman belajar, tetapi juga keluarga besar yang saling bersatu dan kompak. Juga jujur, berkomitmen, dan dapat dipercaya, sesuai dengan kata INTEGRITAS yang merupakan jargon angkatan 2019.


Satu tahun lagi, seharusnya saya sudah terbiasa dengan cara belajar di FKUI, sudah mengenal gedung RIK, daerah-daerah di UI dan sistem transportasi dengan baik, agar tidak tersasar, salah menaiki bis kuning, dan bingung-bingung lagi . Selain itu sudah mendapatkan teman dekat yang bisa belajar bersama, dan sudah mengenal semua FKUI angkatan 2019. Tiga tahun lagi saya harap saya telah mendapatkan prestasi pada perlombaan baik itu tingkat universitas, nasional ataupun internasional. Saya juga berharap disaat itu saya telah mendapatkan beasiswa. Semoga angkatan FKUI 2019 pada saat itu telah benar-benar kompak dan mengenal sifat-sifat satu sama lain. Lima tahun lagi berarti sudah dekat dengan kelulusan dan saya ingin pada saat itu saya sudah siap, siap untuk menghadapi koas dan ujian-ujian yang akan saya hadapi nantinya. Sepuluh tahun kedepan, saya harap saya , telah lulus summa cum laude dari FKUI dan setelah itu menjalani studi S2 di luar negeri dengan beasiswa. Dua puluh tahun kedepan saya harap saya telah menjadi seorang istri dan ibu yang sukser ,yang bekerja dan mencintai pekerjaannya.


Bagi kalian yang ingin masuk FKUI, pesan saya adalah: berusahalah dengan cara belajar dan berdoa dengan giat, karena memang hanya itu caranya dan sesungguhnya apapun hal bisa terjadi atas izin Yang Mahakuasa. Beranilah bermimpi, jangan biarkan orang lain membuat kalian merasa rendah diri, carilah lingkungan positif untuk belajar dan yang terpenting adalah menjaga diri kalian untuk tetap semangat. “Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha”

 
 
 

Recent Posts

See All
Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara...

 
 
 

Comments


© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page