top of page
Search

Narasi Perjuangan -- Shafira Husna

  • Writer: FKUI 2019
    FKUI 2019
  • Aug 19, 2019
  • 9 min read

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ciao, gaeszsz!

Nama saya Shafira Husna, biasa dipanggil Sepi dari MAN Insan Cendekia Serpong


Sejak dulu, saya selalu menganggap Fakultas Kedokteran UI adalah fakultas kedokteran yang paling sulit untuk ditembus di Indonesia. Orang-orang yang berstatus sebagai mahasiswa FKUI adalah orang-orang terajin, terpintar, terambisius, terhoki, dan lain-lain. Mereka yang lulus dari FKUI pun merupakan bagian dari orang-orang yang hebat yang memiliki dampak besar, khususnya dalam bidang kesehatan, bagi lingkungannya maupun bagi Indonesia.


Motivasi saya masuk FKUI adalah keinginan kakek dan nenek saya untuk memiliki minimal satu cucu yang berprofesi sebagai dokter. Selain itu, salah seorang tante saya yang menurut saya sangat pintar dan memiliki kemampuan untuk kuliah di FKUI pada masanya ditolak FKUI dan diterima FK PTN lain. Saya penasaran mengapa FKUI sangat sulit untuk ditembus, sekali pun oleh orang yang menurut saya sangat pintar dan mampu untuk lulus. Saya pun menyemangati diri saya setiap hari bahwa jika memang rezeki saya, saya bisa berkuliah di FKUI walaupun saya yakin bahwa saya perlu berkorban lebih banyak, dalam berbagai hal, dibandingkan orang lain.


Untuk masuk FKUI, banyak sekali cerita yang harus saya lewati. Di mulai sejak SMP, saya harus benar-benar memilih SMA yang cocok dengan saya dan kira-kira dapat memfasilitasi saya untuk belajar dan masuk ke FKUI. Saya bimbang dalam memilih untuk bersekolah di SMA negeri yang dapat dimasuki dengan NEM UN atau MA negeri yang butuh tes khusus untuk masuk. Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengambil MAN Insan Cendekia Serpong. MAN Insan Cendekia Serpong adalah sebuah Madrasah Aliyah Negeri (setara SMAN) di daerah Serpong yang cukup terkenal dalam skala nasional akan prestasi para murid dan gurunya. Saya memilih MAN Insan Cendekia Serpong karena saya rasa MAN Insan Cendekia Serpong sangat sesuai untuk saya dalam mengusahakan keinginan saya, yaitu berkuliah di FKUI. Selain itu, saya juga ingin mencoba sekolah asrama, saya merasa butuh lingkungan yang sangat kondusif untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan akademik dan kebutuhan kerohanian, dan saya alhamdulillah lulus tesnya.

Di sana saya harus belajar dan berjuang untuk bisa mendapat peringkat paralel atas sehingga dapat kuota SNMPTN. Saya harus memaksakan diri saya untuk belajar, meskipun memang sangat “malesin”. Saya harus meningkatkan kembali nilai saya yang sempat anjlok karena rasa malas yang menguasai saya, Lagi pula, saya harus selalu ingat bahwa lingkungan saya dipenuhi oleh manusia-manusia bercita-cita tinggi dengan kemampuan belajar dan memahami sangat baik. Alhamdulillah pada akhirnya saya dapat kuota SNMPTN. Namun begitu, kemudian muncul rintangan lain, yaitu kebimbangan dalam memilih pilihan jurusan di SNMPTN. Saya harus memutuskan, "mau FK-nya atau UI-nya". Ada beberapa FK di universitas lain yang menarik perhatian saya karena lebih memungkinkan untuk lulus dengan nilai yang saya miliki. Meski begitu, saya memutuskan untuk memilih "FKUI-nya". Saya mencoba menutup mata dan melupakan fakta bahwa dari sekolah saya belum ada lagi yang diterima oleh UI melalui jalur SNMPTN. Saya pun hanya memilih 1 pilihan, karena dari 2 pilihan harus memilih 1 pilihan di universitas pada provinsi tempat sekolah berasal. Jadi, iya. Saya hanya memilih FKUI untuk SNMPTN 2018 saya. Berusaha? Sudah. Memilih? Sudah. Oke, berarti saya hanya perlu meminta kepada Allah Yang Mahakuasa untuk hasil yang terbaik menurut-Nya.

Sebelum pengumuman saya kembali dikuatkan oleh umi dan keluarga saya, bahwa apa pun hasil yang keluar pada SNMPTN 2018 itu pasti hasilnya yang terbaik untuk saya menurut-Nya. Saya pun sudah mencoba mengikhlaskan dan memasrahkan diri, juga lebih sadar diri untuk mendapat SNMPTN UI, khususnya FKUI pasti sulit sekali. Meski begitu, sudah dikuatkan dan menguatkan hati, saya tetap merasakan sedih karena hasil yang keluar. “Ok gapapa, mungkin belum jadi yang terbaik buat gue,” pikir saya saat pengumuman SNMPTN 2018, 17 April 2018. Tidak ingin lebur dengan kesedihan, saya memilih untuk memfokuskan diri pada SBMPTN 2018 dan SIMAK UI 2018 yang sudah saya daftar sebelumnya. Tentu saya memilih FKUI di pilihan 1 SBMPTN 2018. Namun di SIMAK paralel, karena tidak ada pilihan FKUI, saya memilih jurusan biologi di pilihan pertama.

Hari Selasa, 8 Mei 2018 alias hari pelaksanaan SBMPTN datang. Saya mengerjakan dengan rasa grogi berlebih. Yap, salah satu kebiasaan buruk saya saat menghadapi hal-hal penting. Saya bahkan diare semalam sebelumnya di hotel tempat saya menginap (saya menginap bersama keluarga saya karena tempat SBMPTN saya jauh dari rumah). Saya diantar abi saya, beliau mengingatkan saya untuk tetap berusaha tenang. Namun, apa daya, saya tetap merasa panik, gugup, dan grogi. Saya bolak-balik ke kamar mandi sebelum ujian dimulai. Saya merasa ada sesuatu yang mungkin dapat menghambat pengerjaan ujian saya nanti. Saya merasa tidak nyaman mengerjakan soal-soal SBMPTN. Saya merasa hal-hal kecil berubah menjadi hal-hal besar yang mengganggu, mulai dari kelas yang gerah, meja yang tidak rata, dan ketakutan saya akan ketidaktelitian saya. Saya merasa soal-soalnya susah, tetapi tetap saya kerjakan penuh.

Lima hari setelahnya, saya menjalani tes SIMAK UI. Saya merasa soal SIMAK relatif sangat mudah untuk dikerjakan. Namun setelah saya renungkan kembali, mungkin perasaan itu ada bukan karena soalnya benar-benar mudah, tetapi karena saya sudah menyelesaikan soal SBMPTN yang adalah sumber ketakutan terbesar saya. Meski mudah, saya yakin sekali tidak akan lulus UI melalui SIMAK UI karena biasanya saya mendapat nilai jelek ataupun gagal apabila soalnya relatif mudah untuk saya kerjakan. Berlawanan dengan SIMAK, saya pede akan diterima pada salah satu pilihan saya di SBMPTN, karena biasanya saya akan lulus jika soalnya terasa sangat sulit dan buntu untuk dikerjakan.

Setelahnya, 3 Juli 2018 diumumkan hasil SBMPTN. Alhamdulillah, saya belum lulus. Iya, alhamdulillah karena saya sadar bahwa mungkin belum rezeki saya, tetapi tetap saja saya menangis. Sedih, sedih sekali…. Sedih rasanya tidak diterima oleh dua jalur masuk utama untuk kuliah di PTN. Pada titik ini, saya masih berharap dapat berkuliah di FK. Saya masih berharap mendapat FK pada pengumuman mandiri UNS dan UPNVJ. Saya juga sudah memesan tiket untuk ke Yogyakarta demi mengikuti UTUL UGM dengan pilihan FK. Saya juga sudah mempertimbangkan untuk mendaftar beberapa ujian mandiri kedokteran universitas negeri yang lain. Meski begitu, saya mencoba realistis dan berharap juga untuk diterima PTN mana pun jurusan apa pun. Saya sudah mendaftar UTM IPB dan mencoba membuat daftar universitas swasta yang sekiranya ingin saya masuki. Selain itu, tentu saya juga masih berharap di SIMAK UI. Saya tidak ingin menambah kesedihan orang tua saya. Alhamdulillah Allah Mahabaik, tiga hari setelah pengumuman SBMPTN, diumumkan hasil SIMAK UI dan saya dinyatakan lulus di Biologi UI. Saya merasa sangat bahagia, begitu pun orang tua saya. Iya, saya dinyatakan tidak diterima mandiri UNS dan UPNVJ, tidak jadi ikut UTUL UGM dan UTM IPB, dan tidak jadi mendaftar beberapa mandiri lain. Saya memilih untuk berkuliah di Biologi UI.

Saya mencoba menerima fakta bahwa alhamdulillah saya diterima di UI meskipun bukan FK yang merupakan tujuan utama saya. Saya juga kembali merenungi apa yang kira-kira menyebabkan saya belum diterima FK mana pun. Saya kembali kepada kesimpulan mungkin saya kurang belajar yang ikhlas. Selama ini belajar hanya untuk masuk FKUI, bukan sebagai salah satu bentuk beribadah kepada Allah Swt. Saya pun berkaca bahwa sebelum-sebelumnya saya selalu dikuasai rasa sombong dan tinggi hati, merasa pasti bisa dan “masa gabisa”. Dan terakhir, saya kembali diingatkan oleh umi saya bahwa semua hal juga bergantung tentang rezeki yang sudah Allah gariskan untuk setiap makhluk-Nya. Tidak peduli bagaimana kerasnya seseorang berusaha, jika memang sesuatu itu tidak ditakdirkan untuknya maka selamanya pun tidak akan menjadi miliknya.

Selama berkuliah kuliah di biologi, saya pikir saya merasakan 3 fase yang berbeda. Fase pertama yang saya rasakan adalah “Fase denial”. Usaha saya untuk ikhlas dan menerima belum membuahkan hasil sempurna. Saya terkadang masih merasakan perasaan dan pikiran “Kok gue masuk biologi ya. Gapernah kepikiran….”. Namun begitu, saya tetap menjalani perkuliahan dengan perasaan baik. Kemudian ternyata waktu berjalan cepat dan saya memasuki fase kedua, yaitu fase nyaman dan sudah lupa ingin pindah. Saya mengikuti beberapa kepanitiaan. Saya fokus pada mata kuliah-mata kuliah yang mayoritas saya senangi. Saya juga mendapat teman dekat yang sangat baik dan mengajak saya menuju arah yang lebih baik. Saya pun dikelilingi banyak orang baik, termasuk kakak asuh saya, yang selalu dapat saya jadikan inspirasi dalam hidup saya. Saya juga mulai menjadi pengajar sukarela di sebuah bimbel non-profit dan menjadi pengajar di bimbel dekat rumah saya. Rasanya menyenangkan. Saya sudah menemukan pace dan rutinitas yang saya nikmati. Saya juga menemukan kegemaran baru yang lumayan menyalurkan pengetahuan saya yang sebelumnya saya anggap “tidak berguna”. Intinya, saya menemukan banyak hal baru yang mengagumkan. Iya, saya nyaman dan tidak ingin pindah. Saya mengutarakan hal tersebut kepada umi saya. Beliau bilang, “jangan terlalu mudah memutuskan sesuatu, khususnya saat sedang merasa bahagia. Coba pikirkan kembali”.

Saya kembali berpikir dan merenung, kemudian sampai pada keputusan saya akan tetap mengikuti SBMPTN 2019 terlepas saya ingin ataupun tidak. Iya, itu adalah awal mula fase ketiga. Fase saya penasaran apakah akan ditolak lagi atau tidak. Sampai saat saya menulis ini, masih terbayang rasa sakitnya saya ditolak tahun lalu. Saya didaftarkan program intensif untuk SBMPTN pada sebuah bimbel, karena umi saya bilang, harus memaksimalkan usaha meski kita mungkin sudah tidak terlalu banyak berharap. Sayangnya, jadwal kelas saya dan jadwal bimbel seringkali bentrok. Saya pun hanya beberapa kali datang bimbel. Pada akhirnya, saya mencoba memaksimalkan latihan soal yang diberikan, dan rasionalisasi nilai UTBK yang disediakan. Untuk belajar lainnya, saya diuntungkan karena saya mengajar dan beberapa mata kuliah di tahun pertama saya kuliah cukup sesuai untuk SBMPTN.

Pendaftaran UTBK gelombang pertama dibuka, saya mendaftar dibantu oleh kakak saya. Saya sempat tidak ingin daftar, dan mengulur waktu untuk mendaftar. Kemudian saya sadar bahwa saya tetap harus mencoba karena saya pernah berjuang untuk mimpi saya. Pikir saya, “masa gue dengan mudahnya ngelepasin mimpi yang udah gue perjuangin selama ini?”. Pada hari UTBK berlangsung, saya tidak merasakan grogi parah, berbeda dengan yang saya rasakan tahun lalu. Mungkin karena umi saya sering mengingatkan, “kamu udah dapet PTN dengan jurusan yang nyaman buat kamu. Nothing to lose.” Alhamdulillah saya mendapat lokasi UTBK dekat rumah, mungkin hal itu juga yang sangat membantu mengurangi rasa grogi saya. Saya mengerjakan UTBK sebisanya, soal yang saya tidak tahu jawabannya tetap saya kerjakan. Iya, kebiasaan saya untuk mengerjakan sampai selesai meski tidak yakin dan tidak tahu jawaban benar yang pasti. Saya tidak tahu akan lulus atau tidak. Saya tidak ingin banyak berharap ataupun terlalu percaya diri. Saya tidak ikut UTBK gelombang kedua, lupa mendaftar. Iya, sejak insiden lupa mendaftar itu rasa percaya diri saya untuk lulus semakin berkurang. Saya pun semakin yakin bahwa Allah mungkin memang telah menakdirkan saya lulus dari biologi UI kelak.

Pengumuman nilai UTBK, nilai saya menurut saya cukup bagus. Saya ikut beberapa rasionalisasi gratis daring, rasionalisasi bimbel yang saya ikuti, menanyakan teman saya yang ikut rasionalisasi di bimbel berbeda, dan menanyakan pengalaman teman-teman saya yang sudah lulus melalui jalur SBMPTN tahun lalu. Sayangnya, mayoritas mengatakan saya tidak akan lulus SBMPTN 2019 ini jika memilih FKUI. Saya panik dan bimbang. Iya, saya paham bahwa seharusnya saya merasa nothing to lose, tetapi tetap saja saya tidak ingin mengulang rasa sakit yang dihasilkan dari penolakan SBMPTN lagi….. Saya memikirkan alternatif teraman agar lulus, yaitu mendaftar FK selain FKUI. Namun begitu, semua keluarga saya tetap mendukung saya masuk FKUI. “Tidak apa, nothing to lose,” kata mereka. Saya mulai keukeuh ingin cari aman, saya semakin takut untuk merasakan kesedihan yang sama. Saya mulai membuat daftar FK dengan passing grade lebih rendah yang mungkin masih dibolehkan oleh umi saya. Saya menangis dan sedih, karena ya tadi, saya tidak ingin ditolak lagi… Mungkin terdengar berlebihan, tetapi memang begitu adanya.

Hari pendaftaran SBMPTN tiba, saya memilih FKUI. Saya berharap setidaknya dapat pilihan kedua, karena pilihan satu sudah saya korbankan untuk permintaan keluarga saya. Iya, saya mencoba ikhlas di sini. Umi mengingatkan konsep rezeki tadi. Tidak akan menjadi milik saya selamanya jika memang tidak ditakdirkan untuk saya. Saya sudah merasa cukup pasrah dan menerima. Namun, suatu hari setelah saya mendaftar SBMPTN, ada berita bahwa banyak FK PTN yang hampir tidak mungkin untuk menerima peserta SBMPTN yang memilihnya di pilihan kedua. Saya lemas dan sudah yakin tidak akan lulus SBMPTN lagi. Namun begitu saya masih berdoa meminta hasil terbaik yang melapangkan hati saya dan membawa kebaikan bagi semua makhluk-Nya. Umi pun pada akhirnya menanyakan apakah saya siap jika ditolak lagi, sambil mengingatkan konsep rezeki sebelumnya. Saya menjawab, “iya gapapa di bio juga udah nyaman”, dengan hati tetap terluka hahaha.

Tiba hari pengumuman SBMPTN, saya sedang membuat SIM. Tepat jam 3 sore, saya langsung membuka pengumuman melalui salah satu mirrorlink, tidak melalui link pengumuman utama yang dapat dipastikan dipadati peladennya oleh para peserta SBMPTN. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Rasanya sinyal gawai saya tiba-tiba menjadi jelek. Saya beristighfar berulang kali, memohon ampunan karena saya terlalu berharap untuk diterima, melupakan bahwa seharusnya saya ikhlas untuk apapun hasil yang akan saya dapatkan. Kemudian perlahan web-nya terbuka. Saya memasukkan nomor pendaftaran yang sudah saya hafalkan di luar kepala dan juga tanggal lahir saya. Saya menemukan kata Pendidikan Dokter. Iya, tapi saya masih bingung, saya refresh ulang berkali-kali, saya benar-benar tidak percaya. IYA, ALHAMDULILLAH SAYA DITERIMA. Saya menangis, tidak peduli banyak mata menatap saya. Saya menelepon umi saya dan karena saya menangis, umi saya kira saya tidak diterima. Umi saya mencoba menenangkan saya dan menguatkan saya agar mengikhlaskan. Akhirnya saya mematikan telepon dan memberi tahu lewat chat. Saya juga memberitahukan kakak saya. Abi saya langsung menelepon saya. Saya juga memberitahu beberapa teman dekat saya. Saya merasa perjuangan saya terbayarkan, meski saya sadar ada perjuangan baru yang lebih dahsyat menunggu untuk saya jalani.


Saya berharap saya dan teman-teman FKUI 2019 dapat mulai menjalani perkuliahan dengan baik dan lulus bersama, dengan tetap memegang teguh integritas kami yang juga merupakan identitas kami. Meski saya yakin mungkin susah untuk mencapainya, perlu banyak jatuh bangun, dan butuh banyak pengorbanan. Saya juga ingin setiap orang mulai untuk semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan senantiasa memintakan sehat untuk diri sendiri maupun orang lain, karena praktisi kesehatan tidak akan bisa membantu menyembuhkan tanpa ada kuasa Allah dan kesadaran dari diri setiap orangnya bahwa sehat itu penting.


Setahun ke depan saya ingin mendaftar dan aktif di beberapa kepanitiaan di FKUI. Tiga tahun ke depan saya ingin lulus dengan IP tidak mengecewakan. Lima tahun ke depan saya ingin menjalani co-ass dengan baik dan menjalani internship yang menyenangkan. Sepuluh tahun ke depan saya ingin menjadi bagian dari pemajuan taraf kesehatan rakyat Indonesia bersama teman-teman sejawat saya. Dua puluh tahun ke depan saya harap saya sudah memiliki rumah sakit gratis yang dapat diakses oleh seluruh rakyat Indonesia.


Untuk setiap orang yang ingin masuk FKUI, saya berpesan untuk selalu ikhlas sebelum melaksanakan sesuatu, khususnya dalam belajar. Rezeki tidak akan tertukar. Rezeki milikmu tetap akan menjadi milikmu, rezeki bukan milikmu tidak akan pernah menjadi milikmu. Banyaklah meminta kepada Sang Maha Pengatur Rezeki. Sadari hikmah yang terkandung dalam sesuatu. Mungkin hikmahnya tidak langsung terlihat, bersabarlah.


Kata Mutiara yang selalu saya suka adalah “Strive to be happy” milik Max Ehrmann, karena saya percaya Allah sudah menggariskan kebahagiaan untuk setiap makhluk-Nya. Namun kita, tetap harus berjuang untuk mendapatkannya.


Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 
 
 

Recent Posts

See All
Narasi Perjuangan - Mucica Safitri

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Hallo semua, dalam tulisan ini saya ingin menceritakan banyak hal dan kisah menarik secara...

 
 
 

Comentarios


© 2019 by FKUI 2019. Proudly created with Wix.com

bottom of page