Narasi Perjuangan - Stella Kristi Triastari
- FKUI 2019
- Aug 19, 2019
- 8 min read
“While the journey seems long and hard at the beginning with perseverance and dedication the rewards at the end last a lifetime.”
― William R. Francis via via Baylor College of Medicine
Setiap orang pasti memiliki passion mereka masing-masing. Beberapa menjadikan passion mereka sebagai hidup mereka, membiarkan hidup berputar di sekitar passion mereka, sementara beberapa justru memilih sebaliknya. Saya berharap bisa menjadi pribadi yang menjadikan passion saya sebagai cara hidup saya dan saya berharap bisa menjadi seorang dokter. Menjadi seorang dokter tentunya membutuhkan banyak pengorbanan dan usaha. Hal ini tidak akan mudah. Akan tetapi, saya merasa bahwa diri saya berhak atas sebuah kesempatan untuk menjalani hidup yang menggugah kebahagiaan. Memasuki perkuliahan, yakni di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah langkah pertama yang saya ambil untuk mencapai cita-cita saya ini.
Halo, semua! Nama saya Stella Kristi Triastari dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia angkatan 2019. Saya adalah lulusan Sekolah Menengah Atas Kolese Gonzaga Jakarta yang berlokasi di Jalan Pejaten Barat.
Kisah saya dimulai sejak saya masih belia. Memiliki keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai dokter membuat saya sudah terpapar pada dunia kedokteran dan kesehatan sejak kecil. Keluarga besar saya, mama, papa, opa, oma, dan kedua kakak saya adalah dokter. Mengunjungi rumah sakit dan klinik kesehatan bukanlah hal yang baru lagi. Saya sering menemani orang tua saya bekerja. Ketika saya menemani mereka, saya melihat berbagai hal yang mereka lakukan. Saya juga mengamati bahwa masih ada banyak sekali masyarakat yang membutuhkan bantuan. Hal ini menanamkan pengetahuan dan ketertarikan saya untuk menjadi seorang dokter.
Hal lain yang menggugah keinginan saya untuk menjadi dokter adalah pengalaman mengikuti bakti sosial di Sumatera. Saya sangat senang mengikuti kegiatan sosial seperti itu dan hal itu membuat saya sadar bahwa saya ingin menjadi dokter. Pengalaman saya mengikuti penelitian di Sumba juga mendorong saya untuk menjadi dokter. Pada waktu itu, mama saya melakukan penelitian Frambusia di sana. Frambusia adalah kelainan yang sudah hilang, tetapi lalu tiba-tiba muncul lagi. Saya memang tidak melakukan kegiatan yang terkait dengan pengobatannya langsung, saya hanya menemani, tetapi hal tersebut sangat membekas bagi diri saya. Apalagi, pada saat itu, salah seorang warga di sana menghampiri saya dan memanggil saya dokter. Dia meminta saya untuk mengobatinya. Padahal, saat itu saya masih duduk di Sekolah Dasar. Saya pun bertekad harus menjadi dokter dan kembali ke sana untuk memperbaiki tingkat kesehatan serta pendidikan di sana.
Akan tetapi, hal ini bukan menjadi alasan utama saya mendaftarkan diri untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Alasan saya memilih Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah karena saya ingin menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan saya rasa mempelajari ilmu kedokteran akan memungkinkan saya untuk melakukan ini, terutama dengan mempelajari ilmu embriologi. Ditambah lagi, memasuki dunia dewasa dan meninggalkan dunia remaja, berbagai pemikiran, refleksi, dan pertanyaan mengenai hidup mulai tumbuh dalam diri saya. Saya mulai mencari arti kebahagiaan, membaca buku tentang ilmu psikologi dan buku pengembangan diri. Benang merah yang saya temukan, bahwa pada akhirnya, hal yang selalu membuat saya bahagia adalah menolong orang lain. Mencari pekerjaan lain yang membuat saya cepat mendapat uang dan menjadi kaya memang juga akan menempatkan diri saya pada posisi yang bisa menolong orang lain. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa bila sumber kebahagiaan itu bisa menjadi sama dengan cara hidup sehari-hari, mengapa harus memilih cara hidup lain?
Pemikiran dan pendapat saya ini banyak mendapat pengaruh dari pendidikan saya selama SMA. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, saya berasal dari SMA Kolese Gonzaga. Izinkan saya untuk sedikit menjelaskan tentang sekolah saya. Sekolah saya ini dijiwai beberapa nilai utama yang kami singkat dengan 4C, yakni Competence, Conscience, Compassion, dan Commitment. Di samping itu, kami juga menjunjung nilai Simplicity dan Honesty. Untuk menjelaskan nilai-nilai ini tidak mudah dan akan membuat fokus tulisan saya ini pada kehidupan SMA dan bukan pada perjuangan kuliah, jadi saya hanya akan menjelaskan sekilas saja. Intisarinya, nilai Competence berarti memiliki daya juang, kompetensi dalam melakukan sesuatu. Conscience adalah hati nurani, melakukan hal yang benar walaupun ada risiko yang menanti. Compassion adalah rasa belas kasih, berbela rasa yang terejawantahkan dalam saling membantu. Sementara Commitment adalah hal yang menyatukan ketiga hal di atas dan memastikan hal-hal tersebut tetap dilakukan, yakni janji untuk melakukannya. Honesty atau kejujuran adalah keharmonisan, keselarasan, dan kesamaan antara kata-kata, ucapan, tindakan, dan pikiran. Tidak ada kontradiksi dalam ketiga hal tersebut. Nilai terakhir, simplicity adalah kesederhanaan, sikap ugahari, menggunakan apa yang perlu. Keenam nilai ini menjadi nilai yang tertanam dalam diri saya untuk selalu saya pegang. Bagi saya, menjadi dokter adalah sarana yang sangat pas untuk menjalankan nilai-nilai ini. Menjadi seorang dokter, saya rasa adalah pekerjaan yang sangat terkait dengan kemanusiaan dan kehidupan dan dengan demikian sangat terkait dengan nilai-nilai ini.
Saya tahu bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memiliki keketatan tinggi. Menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memang sangat sulit. Tapi, menurut saya, hal ini layak untuk diperjuangkan sebab kualitas pendidikan yang dimiliki Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebanding, yakni juga tinggi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah fakultas tertua di Indonesia dan maka dari itu memiliki waktu yang jauh lebih panjang juga untuk berkembang.
Usaha pertama saya dalam mengejar mimpi saya ini adalah dengan mengikuti Open House FKUI. Saya mengikuti Open House dua kali, yakni pada tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2017, saya hanya mengikuti kegiatan tur dan seminarnya, sementara pada tahun 2018, saya mengikuti tur intrakampus, seminar, dan juga simulasi tes. Melihat kampus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sangat memotivasi saya. Ditambah lagi, kakak pembimbing kelompok saya sangat ramah dan baik. Mereka juga sangat informatif. Hal ini adalah langkah pertama saya untuk menjadi siswa kedokteran dan lebih tau tentang dunia kedokteran.
Perjalanan saya, bukannya tanpa tantangan. Tantangan terbesar justru berasal dari keluarga saya. Disaat berbagai orang tua berbondong-bondong mendorong anaknya menjadi dokter, keluarga saya sebaliknya. Opa, oma, mama, papa, kedua kakak, serta pasangan mereka semuanya berprofesi sebagai dokter dan mereka tahu betul tantangan dan kesulitan apa yang dihadapi para dokter. Hal inilah yang membuat papa dan kakak-kakak menyarankan saya dengan kuat untuk tidak menjadi dokter. Mereka menyerahkan keputusan akhir dan pilihan pada diri saya, tapi kalau berada di posisi saya, mereka akan mengejar bidang lain. Akan tetapi, menilik berbagai pertimbangan dan dengan didorong berbagai motivasi di atas, saya memilih untuk tetap melanjutkan cita-cita saya. Apalagi, justru dengan tantangan ini saya sudah mengetahui kondisi riil yang akan saya hadapi, segala baik buruk, serta kesulitan yang akan hadir nantinya. Jadi, “penolakan” keluarga saya ini justru membantu saya dalam menghadapi dunia perkuliahan. “Penolakan” ini memberikan saya petunjuk akan apa yang mungkin saya hadapi nantinya sehingga harapan saya tidak tinggi dan saya bisa mempersiapkan diri untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Bersekolah di sekolah swasta, sempat memadamkan semangat saya untuk mendaftar ke perguruan negeri ini. Bukanlah sebuah hal baru, bahwa rata-rata siswa yang diterima di SNMPTN berasal dari SMA negeri. Apalagi, jarang sekali ada siswa dari SMA saya yang tembus ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Biasanya, hanya ada satu atau bahkan tidak sama sekali siswa per angkatan yang masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan hal ini sangat jarang. Ditambah lagi, belum pernah ada siswa dari SMA saya yang diterima di FKUI lewat jalur SNMPTN. Berbagai pertimbangan ini sempat membuat saya ingin mendaftar jurusan lain, atau fakultas kedokteran dengan keketatan lebih rendah. Akan tetapi, saya lalu merasa tidak ada salahnya mencoba. Kalau semua perilaku kita hanya didasarkan pada pencapaian perilaku dan pencapaian pendahulu kita, kita hanya bisa mencapai maksimal sejauh pendahulu kita, atau bahkan lebih sedikit. Pencapaian dan jalan hidup pendahulu kita tidak mencerminkan pencapaian kita.
Akhirnya, saya memasukkan FKUI sebagai pilihan pertama SNMPTN saya. Risiko yang saya ambil tidak berhenti di situ. Saya tidak memasukkan pilihan kedua apapun. Bukan karena saya yakin bahwa saya akan diterima, karena sejujurnya saya sangat pesimis. Tetapi, karena saya berpendapat bahwa an oops is better than an if. Diri saya berhak atas kemungkinan pencapaian yang tetap terbuka dan tidak mendaftarkan diri akan menutup kemungkinan saya untuk diterima. Untuk persiapan SNMPTN sendiri, tidak ada hal yang khusus sebab saya baru mengetahui tentang jalur-jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri pada akhir kelas 11 ketika dijelaskan oleh guru BK saya, jadi saya tidak mempersiapkan SNMPTN dari awal. Untuk mendaftar, yang saya lakukan hanya memilih sertifikat yang lebih menjanjikan, mengecek nilai yang dimasukkan pada tengah malam dan secara berulang kali karena server SNMPTN sulit diakses dan tidak bisa dibuka-buka, serta tidak henti-hentinya berdoa. Doa ini saya rasa yang membuat saya diterima.
Detik-detik sebelum pengumuman saya habiskan dengan teman-teman saya. Hari itu adalah hari libur sekolah, tetapi kami pergi melayat pada pagi harinya dan lalu kami memutuskan untuk membuka pengumuman bersama pada siang harinya. Rasanya, waktu berjalan sangat lama, ingin cepat-cepat usai untuk membuka pengumuman, tetapi justru ketika waktu pengumuman tiba, saya ragu untuk masuk laman pengumuman. Perlahan-lahan jemari saya mengetikkan nomor pendaftaran dan password, kemudian sayapun mengeklik pengumuman tersebut... dan hasilnya merah.
“Maaf, nomor pendaftaran anda tidak ditemukan.”
Hati saya langsung lega. Belum ditolak, pikir saya. Segera saya mengecek ulang nomor pendaftaran dan ternyata nomor saya sudah benar. Mungkin server SNMPTN sedang penuh saja. Saya mengeklik lagi untuk kedua lagi, dan puji Tuhan, warna hijau terpampang di layar. Saya lolos dan diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya sangat senang dan langsung menangis. Saya berhasil menjadi siswa pertama dari SMA saya yang lolos SNMPTN FKUI. Bukan hal itu yang membanggakan, tapi bahwa fakta hal ini membuka kesempatan bagi adik kelas saya untuk lebih mudah masuk ke FKUI. Bahwa, hal ini bisa saja mempermudah adik kelas saya dalam mengejar cita-citanya. Orang tua saya juga menangis dan semua teman-teman, keluarga, dan guru saya ikut senang. Saya benar-benar tidak menyangka bisa lolos SNMPTN.
Saya tahu, bahwa perjalanan saya di fakultas ini masih panjang dan tidak akan mudah. Depresi dan demotivasi sangat mungkin untuk saya alami. Untuk itu, saya berharap bahwa hal ini bisa saya hadapi dan saya bisa disumpah sebagai dokter lulusan FKUI. Untuk itu, saya berharap bahwa orang-orang di sekitar saya, terutama keluarga bersedia untuk selalu hadir dan mendampingi saya. Saya, aktor utama, takkan bisa menghasilkan sebuah pertunjukan yang baik tanpa dukungan sound, lighting, dan berbagai pemeran pendukung. Saya sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di fakultas ini dan saya berharap motivasi tersebut bisa menguatkan saya sampai akhir. Saya juga berharap bahwa saya tidak akan pernah jauh dari Tuhan dan selalu berada dalam bimbingannya. Saya berharap bahwa saya bisa mengembangkan diri saya dan berani mengambil kesempatan selama berkuliah di FKUI bahkan sampai menjadi dokter. Semoga, teman-teman angkatan FKUI 2019 saya bisa melakukan hal yang sama dan kami bisa lulus tepat waktu bersama, yang reguler 5,5 tahun lagi, dan KKI satu tahun setelahnya. Saya berharap bahwa saya akan mampu menghadapi segala tantangan, baik akademis, mental, intrinsik, serta ekstrinsik, termasuk dalam menghadapi kebijakan-kebijakan baru dalam dunia perkuliahan kedokteran dan dunia kedokteran sendiri, serta dalam menghadapi tenaga medis lainnya, juga dalam menghadapi karakter pasien yang berbeda-beda.
Bagi masyarakat, semoga masyarakat terbantu dengan kehadiran kami dan semoga masyarakat semakin cerdas dan kritis terhadap tren kesehatan, isu, atau mitos tertentu. Saya juga berharap masyarakat Indonesia bisa semakin menghargai keberadaan, pengetahuan, dan penilaian dokter. Semoga kami benar-benar bisa menjadi dokter yang tulus mengabdi bagi kepentingan masyarakat.
Harapan saya bagi keluarga saya adalah semoga keluarga saya terus mendukung saya dan saling mendorong untuk sama-sama belajar. Sementara itu, saya juga berharap bahwa pemerintah bisa menciptakan kebijakan-kebijakan yang mempermudah dan mendukung kehadiran dokter, dimulai dari perkuliahan, misalnya tentang pemilihan internship, gaji internship dan lain-lain.
Rencana saya, untuk tahun pertama, saya ingin beradaptasi dan mulai aktif dalam ukm di fkui. Ada beberapa ukm yang menarik bagi saya, dan saya akan melihat yang mana yang sebaiknya saya ambil dengan tetap bisa membagi waktu. Saya juga ingin lebih mengenal dan dekat dengan angkatan saya.
Setelah tiga tahun memulai kuliah, saya ingin banyak menulis jurnal dan sastra, mengembangkan minat musik dan seni saya, dan juga menyelesaikan skripsi. Lima tahun sejak hari ini, saya berharap bisa lulus UKMMPD dan segera mengambil sumpah dokter. Lalu, saya ingin melanjutkan internship ke daerah. Sepuluh tahun lagi, saya berharap bahwa saya sudah selesai atau sudah berada pada tahun akhir spesialisasi atau master, serta sudah mengabdikan diri di daerah kecil di Indonesia. Dua puluh tahun lagi, semoga saya sudah menjadi sub spesialis/ profesor, menyumbang banyak jurnal atau penelitian bagi kemajuan kesehatan Indonesia, dan berada di posisi dimana saya bisa mengambil kebijakan yang bisa membantu orang banyak.
Perjuangan masuk FKUI memang tidak mudah. Terlebih lagi, permasalahan bertahan di dalamnya adalah permasalahan yang jauh lebih berbeda dan lebih kompleks. Akan tetapi, saya selalu percaya bahwa dunia kita sangat ditentukan oleh persepsi kita. Selama kita memaknai tantangan dan penderitaan sebagai hal buruk, maka cerita kita hanya berhenti di situ. Tapi, bila kita mengubahnya menjadi kekuatan, kita akan berkembang menjadi jauh lebih baik. Para pejuang, jangan menyerah dalam menghadapi segala tantangan. Walaupun kalian merasa kalian tidak cukup baik, tapi nyatanya kebaikan itu ditentukan oleh persepsi dan bagaimana kalian memaknainya. Life isn’t about holding good cards, it’s about playing those you hold, well -anonymous.
Semoga berjumpa di kampus perjuangan.
Salam integritas!
"Walaupun kalian merasa kalian tidak cukup baik, tapi nyatanya kebaikan itu ditentukan oleh persepsi dan bagaimana kalian memaknainya"
Pernyataan itu terus menghantui pikiran saya. Apa yang kamu maksud dengan kebaikan ditentukan oleh persepsi? Dan bagaimana jika aku memang(secara logikaku) tidak cukup baik?