Narasi Perjuangan -- Tazkiya Purwati Ariviani
- FKUI 2019
- Aug 16, 2019
- 8 min read
Bismillahirrahmanirrahim.
Perkenalkan, nama saya Tazkiya Purwati Ariviani. Saya berasal dari MAN Insan Cendekia Serpong. Salah satu sekolah terbaik di Indonesia, katanya. Saya lahir dan dibesarkan selama 15 tahun pertama saya di kota Bandung. Semasa saya kecil, saya tidak pernah bermimpi menjadi dokter. Hobi saya adalah menggambar, maka tak salah apabila saya bermimpi menjadi arsitek atau insinyur. Ditambah rumah saya yang terletak di dekat salah satu kampus teknik terbaik di Indonesia, saya selalu bercita-cita untuk masuk kampus tersebut. Namun apalah yang saya ketahui sebagai seorang anak kecil, mimpi saya pun banyak dan belum terarah keinginannya. Salah satunya juga adalah berkuliah di Eropa.
Semasa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, saya selalu berada di'atas'. Prestasi akademik saya berjejer, mulai dari lomba lomba, hingga menjadi perwakilan sekolah dalam kegiatan akademik. Hingga saat waktunya saya untuk melanjutkan pendidikan saya di bangku SMA. Semua berubah ketika saya masuk ke sekolah baru saya, MAN Insan Cendekia Serpong. MAN Insan Cendekia Serpong tersebut bukan merupakan madrasah biasa, madrasah tersebut merupakan madrasah terbaik di Indonesia. Awal mula saya menjalani hidup disana, saya merasa sangat tidak nyaman. Saya tahu, semua orang disini adalah orang orang terpilih. Tidak hanya pintar dalam akademis, tetapi juga dalam religi. Disanalah pertama kali saya merasa ciut, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Berkali-kali ulangan, nilai-nilai saya sering sekali merah. Remedial bolak-balik, sekalinya tidak remedial, terasa seperti keajaiban. Semasa itu, saya selalu merasa sia-sia untuk berjuang. Mengapa? Tak berjuang pun hasilnya pasti sama. Saya tidak berkembang disini.
Di masa kelas 12, saya mulai berpikir, kalau begini terus, mau bagaimana saya kedepannya? Mau kuliah dimana? Apakah saya pantas berkuliah di kampus yang saya impikan? Saya kemudian berbicara dengan kedua orangtua saya. Mereka menanyakan ketertarikan saya untuk masuk ke dunia kedokteran. Di titik tersebut, saya baru tertarik untuk menjadi dokter. Dalam keluarga saya pun, belum ada yang menjadi dokter, sehingga menjadi salah satu motivasi saya. Keluarga saya butuh saya. Masyarakat Indonesia butuh saya. Saya harus bermanfaat. Dalam benak saya, saya ingin sekali mewujudkan impian mereka. Ditambah lagi, saya menyukai pelajaran Biologi dan hal-hal berkaitan dengan tubuh manusia. Namun setiap melihat teman-teman saya pejuang kedokteran, saya selalu merasa tidak pantas. Saya tahu masuk kedokteran itu sulit. Bahkan, saya saja di sekolah tidak sesukses mereka. Apakah saya pantas untuk masuk kedokteran?
Saya mulai menyusun ulang target dan harapan saya. Tidak hanya menjadi harapan keluarga, saya memiliki beberapa harapan lainnya. Saya ingin menjadi seorang peneliti. Karena kebetulan ibu saya mendalami psikologi klinis, suatu saat nanti saya akan berkolaborasi dengan ibu saya membuat sebuah penelitian di ranah otak dan syaraf. Kami pun bermimpi untuk membuka praktek bersama. Saya ingin menjadi Dokter Saraf dan dapat membantu orang-orang dengan masalah saraf, seperti almarhumah nenek saya salah satunya. Kemudian, saya membuat target untuk masuk ke Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. FK UI merupakan sekolah kedokteran terbaik di Indonesia. Saya pun dapat membayangkan diri saya berada di gedung IMERI melakukan penelitian. Namun pikiran saya sempat tergoyahkan. Memangnya saya siapa? Kok berani-beraninya bermimpi masuk FK UI?
Di titik itu saya merefleksikan diri. Saya mulai memikirkan apa yang selama ini selalu membuat saya gagal. Rupanya, saya harus mengubah mindset saya. Mindset inilah yang selama ini membentuk batasan. Fixed Mindset, dimana saya selalu berpikir, “Ah, saya pasti tidak bisa, untuk apa berjuang, ujung-ujungnya sama kok.”, ujungnya pasrah. Hampir tiga tahun lamanya mindset buruk tersebut terpasang di otak saya hanya karena melihat orang-orang yang lebih keren daripada saya. Saya mulai membuang segala keterbatasan saya. Kedokteran, kenapa tidak? Ujar saya dalam hati.
Saya mulai mengamati teman-teman saya, mereka sudah jauh melejit. Semester akhir, topik hangat perkuliahan mulai terdengar dimana-mana. Teman-teman saya, yang merupakan ‘jajaran atas’ sudah mulai menyiapkan pilihan untuk SNMPTN mereka. Sementara saya, mana mungkin. Dari awal masuk saja, saya paham SNMPTN pasti bukan untuk saya. Jujur, saya sangat sedih karena bahkan untuk kuotanya saja, saya memang dari awal tidak dimungkinkan untuk masuk kuota SNMPTN. Saya harus menyiapkan diri untuk berjuang di jalur SBMPTN, menguatkan seluruh target saya.
April, sebulan sebelum UTBK (Ujian sebelum SBMPTN), saya memutuskan untuk izin belajar diluar lingkungan sekolah, karena sekolah saya merupakan asrama, saya izin untuk tidak mengikuti persiapan UTBK dari sekolah. Menurut saya, saya butuh sedikit perubahan lingkungan agar bisa perlahan mengubah mindset saya. Saya membeli beberapa buku persiapan SBMPTN, mengerjakannya di rumah, dan berusaha memahami segala materi yang saya sebelumnya kurang pahami konsepnya. Beberapa try-out yang saya kerjakan masih kurang memuaskan, padahal hari sudah mendekati UTBK.
Saya mulai memutar otak kembali. UTBK sebentar lagi dan saya merasa belum berjuang sepenuhnya. Istilahnya, saya belum sampai titik darah penghabisan, dan saya belum puas berjuang. Kemudian, saya mulai melirik jadwal-jadwal ujian mandiri. Saya tercerahkan ketika melihat SIMAK UI yang terlaksana pada akhir bulan Juli. Saya yakin, ini jalan saya. Ujar saya dalam hati. Saya terus belajar, meski UTBK sudah lewat, karena kini target saya adalah FKUI melalui jalur SIMAK. Saya mendaftar ke SIMAK Reguler tanggal 21 Juli dan SIMAK Kelas Internasional tanggal 14 Juli.
FKUI Kelas Khusus Internasional ini sangat menarik bagi saya. Program ke luar negeri double-degree ini lah yang merupakan titik menariknya karena dari dulu saya ingin sekali berkuliah di Eropa, terutama di Inggris, dan apabila saya diterima di jalur ini, kesempatan itu terbuka lebih lebar. Saya pun merencanakan untuk memilih University of Newcastle Upon Tyne karena saya memiliki ketertarikan untuk berkecimpung di dunia penelitian.
Beberapa hari setelah UTBK, saya mendapatkan nilai UTBK. Saya tidak kaget, ini memang sesuai dengan perjuangan saya, yang belum maksimal. Untuk mendaftar fakultas kedokteran pun, nampaknya belum memenuhi. Saya merasa bimbang. Dengan mengantongi nilai UTBK seadanya, saya berkonsultasi kepada kedua orangtua lagi. Saya merasa tidak pantas masuk ke fakultas kedokteran. Orangtua saya melepas segala pilihan kepada saya. Mengingat impian masa kecil, saya berniat untuk kembali mendaftar ke ITB, bila akhirnya tidak mendapat FKUI, karena setidaknya salah satu dari impian masa kecil saya terwujud. Saya berjanji akan tetap memperjuangkan FKUI di jalur mandiri. Saya pun mendaftarkan SBMPTN saya ke FTSL ITB (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan).
Seraya menanti pengumuman SBMPTN, saya mengisi waktu gelisah dengan terus belajar. Mengapa waktu gelisah? Saya sudah lulus SMA namun belum dapat kuliah. Nilai UTBK saya pun belum disebut aman untuk memposisikan saya berkuliah. Tekanan ini yang membuat saya kuat terus belajar, walau masa SBMPTN telah lewat habis. Gambar gedung FKUI Salemba terpampang di meja belajar untuk menguatkan diri tiap saya merasa lelah. Saya kerap kali menonton video-video sumpah dokter ketika saya butuh motivasi. Padahal, pada waktu yang sama, teman-teman saya tengah berlibur bersama. Mereka mengajak saya ikut namun apa daya, saya masih harus berjuang.
Tanggal 9 Juli, waktunya pengumuman SBMPTN. Jam 3 sore, teman-teman saya sudah mulai ramai membuka pengumuman. Saya pun menguatkan hati untuk membuka pengumuman SBMPTN. Saya tidak begitu banyak berharap karena target saya masih FKUI melalui SIMAK. Setelah saya membuka, saya tidak menyangka, saya diterima di FTSL ITB. Saya begitu tercengang. Alhamdulillah. Dititik itu, saya amat bahagia. Nyaris terlupa target utama saya. Euphoria diterima begitu besar hingga beberapa hari kedepan, saya amat terlena dengan tujuan utama saya.
Hari H SIMAK UI KKI, mulailah serangkaian perjuangan terakhir saya. Saya pergi ke UI untuk mengerjakan tes tertulis. Waktunya cukup singkat, sebelum jam 10, saya telah selesai. Beberapa hari kemudian, saya mendapat e-mail bahwa saya perlu datang ke UI lagi untuk menjalani MMPI dan interview. Saya terkejut, ini pertanda saya setengah lulus. Saya bersyukur, pintu menuju FKUI semakin dekat.
Tanggal 22, saya langsung meluncur ke Jakarta untuk menjalani tes MMPI di FK UI Salemba. Disana lah kesekian kali nya saya merasa ciut kembali. Saya dapat melihat secara langsung pesaing-pesaing saya. Dari apa yang saya lihat, mereka terlihat lebih kompeten dibanding saya. Dua hari selanjutnya, saya menjalani Interview. Interview jauh lebih menegangkan dibandingkan MMPI, karena MMPI hanyalah tes kepribadian biasa. Interview disini adalah Mini Multiple Interview (MMI) yang baru saya ketahui sistemnya. Saya sangat ingin lolos, tetapi saya tidak berharap banyak. Saya tetap melakukan yang terbaik. Saya pasrahkan semua hasilnya kepada Allah.
Setelah semuanya usai, saya kembali ke Bandung dan sedikit menenangkan diri. Semua usaha telah saya lakukan. Mulai SBMPTN, SIMAK Reguler, dan SIMAK KKI. Sebenarnya, FTSL ITB pun sudah ditangan saya. Tanggal 2 Agustus nanti, saya akan melakukan daftar ulang di ITB, sementara pengumuman SIMAK KKI tanggal 5 Agustus. Saya tahu, saya pasti akan dilema berat apabila saya diterima di FKUI KKI. Namun saya percaya, bila saya diloloskan, berarti saya telah dimudahkan dan inilah jalan saya.
Mendekati tanggal 2 Agustus, saya pun pergi ke ITB untuk melaksanakan daftar ulang. Setelah daftar ulang, saya sempat merasakan 2 hari kegiatan pengukuhan mahasiswa baru dan seminar di ITB. Disana, saya hampir sepenuhnya memasrahkan FKUI yang nampaknya sudah mustahil bagi saya. Saya pun telah menerima dan menikmati ITB sebagai masa depan saya.
Tiba tanggal 5 Agusutus, pukul 14.00, di tengah kehadiran saya di suatu seminar bagi mahasiswa baru di ITB, saya berusaha memberanikan diri membuka pengumuman SIMAK. Saya pikir, ah mana mungkin. SIMAK Reguler saja, saya belum menembus pada pilihan pertama. Tapi rupanya takdir berkata lain. Alhamdulillah, saya diterima di FKUI KKI. Saya langsung menghubungi keluarga saya. Sampai saya dirumah, saya mengalami diskusi berat dengan Ibu saya. Waktu itu, saya masih ingin melanjutkan di ITB. Ibu saya sendiri jauh lebih mendukung saya untuk melanjutkan di FKUI ini. Saya sampai menangis karena bingung. Padahal, keduanya merupakan pilihan yang kontras bedanya. Esoknya, Ibu saya mengajak saya untuk pergi ke Depok untuk setidaknya berpikir kembali sebelum saya benar-benar memutuskan lanjut di ITB.
Malam hari setelah seharian saya sengelilingi kampus UI, saya sudah menjernihkan pikiran. Saya sadar, di saat itu, euphoria diterima di ITB begitu besar, ditambah banyak teman saya yang melanjutkan disana, sehingga banyak faktor tidak relevan yang membuat saya bersikeras melanjutkan disana. Padahal, saya pun belum memiliki rencana sematang saya memasuki FK UI bila saya melanjutkan di FTSL ITB. Saya juga mengingat kembali masa perjuangan saya agar bisa masuk kesini, dan itu tidak mudah. Saya pun berdoa, semoga esok hari, hati saya dibulatkan pada satu pilihan. Saya tidur dengan hati yang netral kepada kedua pilihan. Dan benar saja, ketika saya tidur saya bermimpi diberikan petunjuk untuk melanjutkan FKUI. Pagi harinya, saya bangun dan membulatkan tekad, saya akan melangkahkan kaki saya di FKUI, dan kini saya menjadi satu dari keluarga FKUI 2019. Alhamdulillah.
Saya pun menguatkan beberapa rencana saya kedepannya. Tahun pertama, saya sebagai mahasiswa FK UI akan menempuh pendidikan di UI dan mengusahakan IPK saya diatas 3,30. Saya juga akan mengembangkan diri dalam UKM yang saya sukai. Sebisa mungkin, saya juga akan selalu memberi berkontribusi sekecil apapun untuk teman-teman angkatan saya, FKUI 2019. Pada tahun ke-3, dimana saya akan menjalankan studi ke luar negeri, saya akan memilih untuk pergi ke University of Newcastle Upon Tyne. Pengalaman kuliah di Eropa ini lah yang merupakan impian saya sejak kecil, saya harap kedepannya saya akan mewujudkannya. Disana, saya tidak hanya akan kuliah, namun saya juga akan memaksimalkan kesempatan saya menambah pengalaman, mulai dari hidup di negara orang, bekerja sampingan untuk menambah penghasilan, hingga menambah jaringan teman-teman baru dari belahan dunia yang berbeda. Saya akan membawa semua ilmu dan pengalaman saya untuk dibagikan di Indonesia.
10 Tahun dari sekarang, saya sudah akan memiliki gelar dr. saya akan menjalani program spesialis Neurologi. Impian saya memilih spesialisasi ini karena terinspirasi dari Ibu saya yang seringkali melakukan penelitian terhadap otak. Saya harap suatu saat akan berkolaborasi dengan Ibu saya mendalami ilmu saraf dan otak. Kemudian, 20 tahun dari sekarang, saya akan telah menjadi seorang Dokter Spesialis Neurologi. Saya bekerja di rumah sakit, dapat membantu orang-orang yang membutuhkan saya. Saya akan memaksimalkan kemampuan saya untuk membantu orang-orang, berkontribusi dalam memajukan taraf kesehatan Indonesia. Pada saat itu saya pun telah membuat beberapa jurnal penelitian yang bermanfat dan sehingga dapat memajukan kesehatan masyarakat Indonesia.
Begitulah, perjuangan saya menempuh FKUI. Banyak sekali hikmah yang saya dapatkan dan saya pesankan untuk para pejuang FKUI selanjutnya. Salah satu hikmah yang paling mengena bagi saya adalah bahwa sesungguhnya diri kita lebih dari yang kita ketahui. Seperti kisah di bangku SMA yang saya selalu berpikir, “Ya, gini-gini ajalah, diperjuangkan pun tidak mungkin.”, dan berusaha keluar dari mindset tersebut. Semua batasan hanya muncul dari diri kita sendiri. Kita harus memiliki Growth Mindset, sebuah mindset yang membuat kita selalu berpikir, bahwa bila suatu hal nampaknya sulit, sesungguhnya kita bisa perjuangkan. Berusahalah untuk keluar dari Fixed Mindset kita, yang terlalu membatasi diri sendiri dengan mindset diri sendiri.
Selanjutnya, jangan pernah putus asa. Terdengar klise, tapi benar adanya. Dalam berjuang, ingatlah selalu tujuan awal mengapa kita harus berjuang. Itulah yang membuat kita terus tetap teguh walaupun lelah. Atur jadwal belajar seefektif mungkin, bukan sepadat mungkin. Pasang motivasi didepan mata, agar setiap lelah, teringat kembali apa yang harus kita perjuangkan. Sesungguhnya semua perjuangan itu tidak ada sepeser pun yang sia-sia. Bila belum terwujud, jawabannya mungkin tidak saat ini. Bisa jadi kita mendapatkannya nanti, atau bisa juga kita mendapatkan yang jauh lebih baik.
“Today is your opportunity to build the tomorrow you want.”
コメント