NARASI PERJUANGAN - - THEODORUS TUAHTA SYALOM
- FKUI 2019
- Aug 18, 2019
- 8 min read
Halo semua, perkenalkan, nama saya Theodorus Tuahta Syalom, atau akrab disapa "Tuah". Saya berasal dari SMA Negeri 8 Jakarta, sekolah yang berlokasi di daerah Bukitduri, Tebet, Jakarta Selatan. Tulisan ini akan menceritakan garis besar perjalanan saya menuju Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya berasal dari keluarga yang sama sekali tidak ada latar belakang medisnya. Ayah saya adalah sarjana di bidang manajemen dan ibu saya adalah sarjana di bidang pertanian. Waktu saya kecil, saya tidak pernah membayangkan menjadi seorang tenaga medis, baik dokter, dokter gigi, perawat, dan sebagainya. Saya justru merasa sangat ketakutan mendengar rumah sakit dan segala isinya. Saya juga tidak tertarik & tidak terpilih menjadi dokter kecil saat SD. Intinya, saya pada saat itu sangat tidak tertarik dengan profesi yang berkaitan dengan medis.
Sebenarnya saya dari kecil tidak terlalu tahu profesi apa yang ingin saya geluti saat saya dewasa nanti. Inilah kenapa saya selalu bingung ingin memakai pakaian apa setiap Kartini atau Career Day saat SD dan SMP. Terkadang hanya pakai kemeja putih atau kemeja kotak-kotak. Saya sadar bahwa saya kurang suka terkurung dalam label profesi tertentu. Yang saya tahu, saya sangat suka mengajar. Dalam benak saya, kalau disuruh memilih, mungkin guru adalah profesi yang cukup saya minati.
Saya masuk SMA bersamaan dengan kakak saya masuk universitas. Kakak saya memilih untuk menjadi pionir tenaga medis di keluarga, yaitu menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Memang kalau dilihat dari dulu, kakak saya sangat passionate dengan hal-hal berbau medis. Ia pun dulu aktif menjadi dokter kecil saat sekolah dasar. Kembali lagi kepada saya, saya jadi bingung. Saya mau jadi apa ya?
Hampir tidak ada profesi yang menarik bagi saya, kecuali guru. Menurut saya, profesi guru adalah profesi yang terus menerus diperbaharui oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Selain itu, profesi guru merupakan sebuah pekerjaan yang mulia, seimbang dari sudut pandang sosial, dan tentunya bermanfaat dalam mencerdaskan dan memajukan generasi penerus bangsa di masa mendatang. Hanya saja, stigma yang diberikan masyarakat kepada seorang guru cenderung bersifat merendahkan. Gaji kecil, kurang memiliki prestise dibanding profesi – profesi lain, sebut saja dokter. Benar – benar pahlawan tanpa tanda jasa. Orang tua dan keluarga besar saya jelas sangat tidak setuju dengan cita – cita saya menjadi seorang guru. Saya pun pada saat itu memilih untuk tidak ambil pusing, sebab saya juga tidak terlalu peduli terhadap profesi dan target masa depan pada saat itu. Prinsip saya adalah tidak ambil pusing terhadap target – target dan cita – cita di masa depan.
Memasuki lingkungan baru di sekolah menengah atas, saya melihat banyak orang yang sudah menentukan cita - cita dari awal. Saat pelajaran bimbingan konseling di kelas 10, guru saya bertanya pada setiap siswa / siswi mengenai profesi impian di masa depan. Hampir semua anak menjawab "dokter". Ketika giliran saya, spontan saya juga ikut menjawab "dokter" meskipun sebenarnya saya baru kepikiran saat itu. Entah apa yang membuat saya tiba-tiba tertarik, tapi sejak saat itu saya mencoba memastikan diri saya untuk teguh pendirian menjadi seorang dokter.
Memutuskan untuk menjadi seorang dokter, saya berencana untuk dapat melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran terbaik dan tertua di Indonesia, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Pandangan saya terhadap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) adalah fakultas kedokteran terbaik, yang telah banyak meluluskan dokter-dokter yang berkualitas, berintegritas, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, sama seperti salah satu kalimat dalam lirik lagu Genderang Universitas Indonesia, saya percaya bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terletak di ibu kota negara adalah pusat ilmu budaya bangsa. Oleh karena itu, saya memantapkan diri untuk berjuang menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Melihat bahwa untuk menjadi seorang dokter dibutuhkan perjuangan & ketekunan, saya memutuskan untuk bekerja lebih serius. Saya berusaha untuk belajar dengan tekun sejak masih kelas sepuluh, meski tidak mudah karena jarak antara sekolah dengan rumah saya cukup jauh, hampir 20 kilometer dengan jalur lalu lintas yang padat. Ada sisi positifnya, yaitu saya jadi lebih mengenal wilayah Jakarta, khususnya Tebet, Manggarai, Pasar Minggu, Pancoran, Senen, bahkan Gambir (wilayah kantor orang tua tempat saya beristirahat sejenak setelah pulang sekolah). Saya sering sampai di rumah pukul 7 atau bahkan 8 malam, padahal saya tidak ikut les apapun saat itu. Ditambah lagi dengan materi ulangan yang sulit dan sifatnya luas. Tidak jarang saya menangis karena merasa letih dan tidak mampu. Curhat ke teman – teman terdekat, makan bersama, belajar bersama, menangis bersama terkadang. Alhasil, saya melewati kelas 10 dengan baik, meski cukup jauh bila dibandingkan dengan nilai saat di tingkat sekolah menengah pertama.
Jenjang demi jenjang saya lewati dengan tekun. Di kelas 11, saya tetap melanjutkan pola belajar yang sudah baik, dan mencoba meningkatkan efisiensi belajar saya. Nilai – nilai ulangan ada yang meningkat, tidak sedikit yang menurun. Meski begitu, hari – hari di kelas 11 tetap saya coba jalani dengan pikiran positif dan ceria. Saya mencoba untuk mengurangi kecemasan saya terhadap hal apapun. Dapat dikatakan bahwa masa – masa di kelas 11 adalah masa yang membahagiakan, meski harus tetap fokus pada target – target akademis yang memang menjadi komitmen saya.
Ketika berada di kelas dua belas, awalnya saya sangat tertekan. Saya tidak memiliki banyak teman yang cukup dekat di kelas. Suasana kelas juga terkadang kurang kondusif untuk belajar. Saya juga terkadang merasa pelajaran ada yang semakin sulit. Semangat saya juga sedang ada di ambang batasnya. Saya seperti mulai letih dan jenuh dalam melanjutkan perjuangan menuju mimpi saya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun begitu, saya tetap mencoba untuk bangkit ketika gagal, tertawa ketika usai menangis, dan fokus pada apa yang menjadi tujuan dan harapan saya. Ujian demi ujian saya lalui dengan perasaan campur aduk, banyak yang memenuhi target, namun tidak sedikit pula yang membuat saya menangis sambil menelepon bercerita kepada teman saya. Alhasil, semester lima dapat saya lalui dengan-dapat dikatakan-cukup baik.
Pada penghujung masa kelas 12, saya dihadapkan pada pilihan jurusan. Hal yang sebenarnya saya tidak terlalu suka membahasnya. Hal ini karena saya juga tidak tahu akan pilihan saya, dan merasa belum siap untuk menentukan pilihan apapun. Sejujurnya, saya agak ragu memilih FKUI pada saat itu, padahal hampir 2 tahun saya memasang logo FKUI di berbagai benda kepunyaan saya, seperti wallpaper laptop, binder, buku tulis, dan lain-lain. Hal ini karena saya merasa bahwa sebenarnya, saya belum memiliki motivasi kuat untuk menjadi seorang dokter. Terlepas dari itu, saya juga sangat menggemari pelajaran berbasis matematika, yang tentunya tidak menjadi materi pokok jurusan kedokteran. Ditambah lagi, saya mulai menyadari bahwa saya tidak terlalu tertarik belajar biologi selama ini. Hampir dapat dikatakan bahwa saya memaksa diri saya untuk menyukai biologi, agar lebih menjiwai minat saya menjadi seorang dokter.
Meskipun sempat diterka kebingungan dan opsi-opsi jurusan lainnya, saya memutuskan untuk tetap mendaftarkan diri di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur SNMPTN, dengan pandangan bahwa Universitas Indonesia adalah universitas terbaik yang banyak menghasilkan dokter-dokter berkualitas, dan tentunya saya tidak mau mengubah tekad saya, meskipun saya juga tidak tahu apakah saya sungguh mampu dan tertarik untuk menjadi seorang dokter pada saat itu. Saya pun memutuskan untuk tidak membuat plan B. Saya berpikir apapun jalannya, saya tetap akan berdasar pada tekad yang telah saya perjuangkan selama ini. Ibaratnya, benar atau salah, paling tidak saya berani untuk mengambil sebuah keputusan bagi diri saya sendiri.
Setelah proses pendaftaran SNMPTN selesai, saya memutuskan untuk kembali belajar persiapan SBMPTN di sebuah tempat bimbingan belajar. Saya juga menjalani berbagai tryout, ujian praktik, dan Ujian Sekolah Berbasis Nasional atau yang biasa disingkat USBN. Pada hari terakhir USBN tanggal 21 Maret, ada berita bahwa pengumuman SNMPTN dimajukan menjadi tanggal 22 Maret, yaitu satu hari setelah USBN usai. Saya pun mencoba tenang di tengah kecemasan. Keesokan harinya, tanggal 22 Maret, jadwal pengumuman SNMPTN menjadi agak rancu. Beberapa teman saya sejak pukul 05.30 pagi sudah ada yang bertanya "Wah, dapet gak?" Beberapa lainnya sudah mulai mengirimkan screenshot berwarna hijau maupun merah yang membuat perasaan saya semakin berdebar. Jujur, saya sangat kaget, sedih, dan takut mendengar beberapa teman saya yang memiliki nilai maupun prestasi akademik yang sangat baik dinyatakan tidak lulus SNMPTN 2019. Ekspresi orang – orang di sekolah beraneka ragam. Ada yang terpuruk sedih, ada yang tertawa lega, ada yang terharu, juga ada yang biasa-biasa saja. Saya baru memberanikan diri membuka hasil pengumuman pada pagi menjelang siang hari, dibantu oleh teman saya, sebab di website SNMPTN sebenarnya tertulis bahwa hasil SNMPTN 2019 akan diumumkan pukul 12.00 siang WIB. Gugup, takut, sekaligus berharap adalah tiga kata yang menggambarkan perasaan saya ketika hendak mengakses laman pengumuman SNMPTN 2019. Puji Tuhan, dengan perasaan dan jari-jari yang masih gemetar, saya melihat kotak hijau yang memberikan ucapan Selamat. Saya dinyatakan lulus SNMPTN 2019 di prodi Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Saya langsung memberikan kabar kepada ibu saya melalui WhatsApp, kemudian ayah saya, kakak saya, nenek saya, wali kelas bimbingan belajar, dan tentunya guru biologi bimbingan belajar saya yang siap sedia memberikan materi tambahan dan latihan soal ketika ada ujian. Saya sangat senang dan tentunya bersyukur dapat memberikan kabar gembira kepada keluarga. Selamat, mantap, Puji Tuhan, sukses selalu, adalah ucapan yang pada hari itu telah membuat saya semakin menyadari bahwa banyak hal dalam hidup ini yang dapat saya syukuri.
Beberapa teman ada yang memberikan selamat kepada saya, juga banyak yang memohon doa dan dukungan untuk berjuang di jalur lainnya. Jujur, saya sangat mengapresiasi ucapan selamat tersebut, dan turut mendoakan dan mendukung teman – teman saya yang masih harus berjuang dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), SIMAK UI, dan jalur – jalur penerimaan lainnya pada saat tersebut.
Seperti yang selalu saya dengar, diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia adalah sebuah kebanggaan. Namun, menjadi dokter lulusan FKUI yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat adalah hal yang jauh lebih membanggakan, dan yang paling penting, lebih mulia. Saya sadar bahwa tidak baik berlarut – larut dalam euforia dan rasa bangga berlebihan, apalagi jika sampai mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab saya, yang tentunya akan semakin besar. Menjadi mahasiswa yang semakin matang dalam berpikir, juga sekaligus menjadi seorang calon dokter yang diharapkan mampu menjadi tenaga – tenaga kesehatan yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan keseriusan yang konsisten, motivasi yang terjaga, dan tentunya semangat yang melandasi perjalanan saya menapaki lika – liku menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Harapan saya ke depan adalah terus bekerja giat dan tekun menimba ilmu demi menjadi dokter yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Untuk 1 tahun kedepan, saya berharap mampu beradaptasi dengan sistem dan lingkungan perkuliahan. Saya juga berharap dapat menjalani kehidupan perkuliahan dengan baik secara akademis maupun nonakademis.
Saya sadar bahwa menjadi seorang pelayan kesehatan yang bermanfaat, saya tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu, saya juga ingin belajar bersosialisasi dan bergaul akrab dengan teman – teman, baik sesama mahasiswa FKUI maupun antarfakultas. Tiga sampai empat tahun ke depan, saya berharap dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan lulus dengan predikat Cumlaude. Sepuluh tahun kedepan, saya berharap mampu melanjutkan pendidikan dokter spesialis sesuai dengan minat & kemampuan saya nanti. Sekitar dua puluh tahun ke depan, kalau Tuhan izinkan, saya berniat menekuni minat mengajar saya dengan kelak menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjadi dokter sekaligus pengajar yang berkualitas dan bermanfaat dalam melayani & mencerdaskan bangsa.
Pesan bagi adik-adik yang nantinya ingin berkuliah di FKUI, tips dari saya untuk menjalani berbagai macam seleksi adalah tenang, berusaha seoptimal mungkin, jangan terlalu lelah, dan jangan menyiksa diri. Nikmati prosesnya, berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mohon dukungan dari orang sekitar, orang tua, dan teman-teman. Jangan merasa terintimidasi ketika proses kalian berbeda atau tertinggal dari teman – teman di sekitar kalian. Tetap fokus pada tujuan dan berpikirlah positif.
Mengakhiri tulisan kali ini, saya ingin menekankan bahwa hidup adalah sekumpulan perjuangan yang mau tidak mau harus dilalui. Diterimanya saya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tentu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, doa dan dukungan, dan tentunya stamina. Namun, saya sadar bahwa perjuangan masih akan terus berlanjut. Perjalanan masih panjang, masih banyak perjuangan yang harus dilakukan. Menjadi manusia yang memiliki integritas, berkualitas, serta berguna bagi masyarakat dan orang – orang di sekitarnya adalah paling tidak tiga hal yang saya harapkan mampu terwujud dalam diri saya selama proses perjuangan ke depan.
Akhir kata, saya ingin menyisipkan suatu pesan. Berusahalah untuk selalu mencintai perjuangan, sebab buah dari ketekunan itu bukanlah hasil, tetapi kecintaan terhadap proses berjuang itu sendiri. Ketika kita berhasil mencintai proses berjuang, maka perjuangan kita akan terasa lebih ringan dan menyenangkan. Dan perjuangan tidak akan berhenti selama kita masih dikaruniai napas di dunia ini. Teruslah berjuang dan nikmati prosesnya.
Comments